33

2K 43 0
                                    

"Sayang--" Dara mengguncang tubuh Yudanta yang sedang tidur perlahan. Pria yang tidur di sampingnya itu begitu lelap dalam tidurnya.

"Sayang," panggil Dara lagi saat Yudanta tidak menyauti.

"Hmm--" gumam Yudanta lirih, dia belum membuka matanya.

"Perutku terasa sakit," keluh Dara. Dia mencengkram selimut yang dia gunakan saat menjelaskannya.

Seketika Yudanta bangun dan melihat wajah Dara yang tampak pucat dengan keringat dingin membasahi wajahnya.

"Apa yang sakit?" tanya Yudanta yang benar-benar terbangun.

"Perutku rasanya sakit sekali." Jam masih menunjukkan pukul 3 pagi saat Dara membangunkan Yudanta.

"Aku tidak bisa menggendongmu di depan. Naiklah ke punggungku, kita ke rumah sakit," pinta Yudanta. Dia mengambilkan jaket untuk Dara dan memakaikannya. Begitu juga dirinya, tak lupa ponsel dan dompet yang dia masukan jaketnya.

Segera Dara mengapai punggung Yudanta dan membawa Dara turun dari kamarnya. Dia tidak peduli kakinya yang masih sakit. Masih terlalu pagi untuk meminta tolong pada Kale ataupun Brian. Dia dengan kepanikannya membawa Dara masuk ke mobil. Akan memakan waktu saat menunggu mereka datang.

"Sayang ...," rintih Dara karena perutnya terasa kram.

"Tahan sebentar." Yudanta duduk di bangku kemudi, melupakan kakinya yang sakit, dia mengendari mobilnya sendiri membawa Dara ke rumah sakit.

"Tuan muda mau ke mana?" tanya penjaga rumah.

"Perut Dara sakit, aku akan ke rumah sakit. Buka gerbangnya," pinta Yudanta.

Setelah gerbang rumahnya terbuka, dia melajukan mobil menuju ke rumah sakit terdekat. Dara tak hentinya mengeluhkan rasa sakitnya, membuat Yudanta semakin khawatir dengan kondisinya.

"Sayang, sakit--" teriak Dara.

"Kita hampir sampai. Tahan sebentar." Yudanta masuk ke area rumah sakit dan berhenti di depan ruang UGD, dia membunyikan klakson dan tak lama perawat segera keluar.

Yudanta keluar dan membuka pintu untuk Dara yang masih merintih kesakitan. "Dia mengeluhkan sakit di bagian perutnya. Dia sedang hamil," jelas Yudanta pada petugas medis.

Dara dibaringkan ke brankar rumah sakit dan di bawa masuk ke ruang UGD dengan Yudanta mengikutinya masuk. Dara segera mendapatkan penanganan dari dari petuga medis.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Yudanta.

"Mengalami perdarahan di masa kehamilan itu berbahaya, apalagi saat sang ibu merasa tertekan. Apa pasien sempat jatuh atau terbentur?" Dokter sedang menjelaskan kondisi Dara yang mengalami perdarahan.

"Tidak sama sekali, Dok."

"Apa sang Ibu sedang tertekan. Saya harap jangan memberikan tekanan padanya, karena kandungannya masih sangat lemah." Mungkin ini karena rasa takut akan tekanan yang Kakek Yudanta. Dia sempat bicara merasa takut dan khawatir akan ancaman yanga kakeknya berikan, tapi dia mengatakannya pada Yudanta.

Dara hanya tak ingin memberi beban untuk Yudanta lagi. Dia cukup pusing dengan kakeknya, tidak mau Dara semakin menekannya.

"Lalu bagaimana kondisi janinnya?" tanya Yudanta. Dia berharap semuanya baik-baik saja.

"Saya harap calon bayinya bisa bertahan. Saya sudah memberikan obat penguat kandungan untuk istri Anda, sekarang beliau sedang terlelap karena efek obat. Anda bisa menemaninya. Saya harap dia bisa istirahat total sampai perdarahannya bisa berhenti," jelas Dokter itu.

Walau kondisi Dara sudah stabil, tapi kondisi kehamilannya tidak. Entah kenapa masalah selalu datang padahal masalah yang lain belum ada penyelesaiannya.

Yudanta menatap wanita pujaannya itu sedang terlelap. Dia begitu panik saat Dara mengeluhkan sakit di perutnya. Sejenak dia merasa tenang, tapi kakinya terasa sakit karena dia memaksakannya. Setidaknya kondisi Dara sudah stabil.

"Bisa minta tolong. Kakiku terasa sangat sakit," keluh Yudanta. Dia pun mendapatkan perawatan karena kakinya yang sakit.

Dia menjelaskan tentang kondisinya, bahkan dia tak memperdulikan rasa sakit saat membawa Dara ke rumah sakit seorang diri. Ayah yang siaga, itu yang tersemat dalam diri Yudanta, tak peduli apa yang dia rasakan, fokusnya keselamatan Dara.

***

Brian dan Kale bersamaan mengeleng kepala saat melihat Yudanta ataupun Dara terbaring di rumah sakit tanpa mereka tau, ataupun Yudanta memberitahu. Bagaimana dia ingat memberi kabar, jika kakinya terasa sakit. Tak lama Anggun juga masuk menghampiri mereka. Dia duduk di samping Dara yang terbaring.

Yudanta berusaha untuk duduk. Rasa sakit di kakinya sedikit berkurang, setidaknya tidak sesakit tadi, itu pikirnya.

"Kau ingin menguji nyali? Padahal baru semalam kau bilang istrimu ingin Sop Buah, tapi kalian malah tidur di sini. Tidak habis pikir aku dengan kalian," tutur Brian yang duduk di samping Yudanta yang menghadap Dara yang masih terlelap.

"Aku bahkan tidak membayangkan menghubungi siapapun saat melihatnya kesakitan. Dia mengalami perdarahan, kata dokter karena tertekan," jelas Yudanta.

"Dia merasa khawatir tentang ancaman kakekmu itu. Dia takut jika hal gila lain kakekmu lakukan padanya ataupun dirimu," ujar Anggun.

"Lalu aku harus bagaimana, aku sudah berusaha untuk membuatnya nyaman. Tapi--" Yudanta menghentikan ucapannya saat melihat Dara yang akan membuka mata. Dia melepaskan infus yang ada di lengannya dan duduk lebih dekat dengannya. Tidak membiarkan Dara semakin khawatir.

"Kau sudah bangun. Apa terasa sakit, Sayang?" Yudanta dengan lembut mengusap rambut Dara.

"Tidak. Apa dia tidak apa-apa?" tanya Dara sambil mengusap perutnya.

"Tenanglah, calon bayi kita baik-baik saja. Kau harus tenang. Semua akan berjalan baik. Tidak akan ada yang mengganggumu ataupun diriku. Aku harap kau tidak terus tertekan dengan apa yang terjadi. Fokus dengan kehamilanmu saja, saat kau lemah, dia juga akan lemah. Bukankah kau ingin dia tumbuh di sini?" Yudanta meletakkan tangannya di atas tangan Dara yang memegang perutnya.

"Tidak perlu menangis. Aku tau kau kuat." Yudanta menyeka air mata Dara dan mencium keningnya lama.

Setelah merasa lebih enakan, Yudanta meminta untuk membawa pulang Dara pulang. Tidak akan aman jika dia di rumah sakit saat anak buah kakeknya masih mengincar Dara.

"Aku mau kau menjaga kondisimu. Jangan pikirkan apa yang akan terjadi nanti. Bantu aku dengan menjaga calon bayi kita. Aku mohon," tutur Yudanta saat perjalanan pulang.

"Iya, sayang. Maafkan aku," jawab Dara.

"Tidak apa-apa. Oh ya, apa kau masih ingin Sop Buah? Mau beli Sop Buah?" tanya Yudanta.

"Boleh."

"Kale, kita cari Sop Buah dulu sebelum pulang," pinta Yudanta pada Kale yang mengemudikan mobil. Tanpa menjawab Kale hanya mengangguk kepala.

"Kale, apa kau masih marah pada Dara? Sikapmu berbeda dengannya setelah kecelakaan itu. Apa kau membentaknya juga?" Dara menarik lengan jaket Yudanta, syarat jika tidak perlu meneruskan ucapannya.

"Memangnya aku harus bagaimana? Bukankah aku memang seperti ini, malas untuk bicara kalau tidak penting," sahut Kale.

"Apa itu artinya aku tidak penting? Apa aku menyusahkan Kak Kale?" Dara sudah dengan mode manjanya. Dia memasang wajah sedih mendengar jawab Kale.

"Kau tau, Ibu hamil ini sedang sensitif. Tidak bisakah kau bicara lebih hangat padanya!" Tegas Yudanta.

"Tidak mau. Aku mau menjadi diriku sendiri. Lagian apa salahnya aku marah pada orang keras kepala," ucap Kale.

"Kalau begitu Kak Kale masih marah? Maafkan aku. Aku--" Dara memang dekat dengan Kale, dekat yang berbeda. Karena ke Brian tidak seperti itu.

"Kale!!" Bukannya peduli, Kale malah tersenyum jahil.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang