35

1.9K 43 0
                                    

"Asem sekali," ucap Yudanta saat mencoba buah Jamblang yang baru dia beli. Untung saja penjual buahnya masih ada, mungkin kalau tidak ada mereka harus mencari lebih jauh lagi.

"Rasanya segar. Coba satu lagi." Dara menyuapkan satu buah Jamblang pada Yudanta yang menggeleng tidak mau.

"Tidak mau. Lebih baik makan anggur saja daripada itu. Rasanya asem sekali." Yudanta bergidik mengingat rasa Jamblang. Padahal ada yang manis, yang Yudanta makan pas yang asem.

Mereka menikmati buah Jamblang di dalam mobil. Yudanta merasa senang bisa menuruti apa yang menjadi kemauan Dara. Dia sudah mulai membuka hatinya, kecelakaan itu membuatnya sadar jika apa yang Dara lakukan salah.

"Kita mau ke mana, sayang?" tanya Dara saat Yudanta tidak putar balik, tapi malah pergi lebih jauh. Memang tidak terlalu jauh, tapi dia ingin menikmati malam sambil berjalan-jalan dengan Dara. Jarang mereka seperti ini. Yudanta hanya mengurungnya di rumah saja.

"Tidak ke mana-mana hanya ingin mengajakmu berjalan-jalan dengan mobil. Apa kau tidak trauma setelah kecelakaan itu?" tanya Yudanta.

"Tidak. Hanya saja aku terbayang saat tubuhmu penuh darah, itu yang kadang membuatku takut." Tidak mungkin jika tidak trauma, walau Yudanta mengendari dengan jago, tetap saja dia membuat mobil mereka kecelakaan dengan sengaja.

"Maaf aku bukan pria yang romantis, memberimu bunga atau mengajakmu ke tempat yang indah. Aku malah membuatmu takut dan memberimu rasa sakit. Tapi, percayalah jika aku tulus padamu." Yudanta menatap Dara sekilas. Wanita di sampingnya itu memegang paha Yudanta yang duduk dan fokus dengan kemudi.

Yudanta mengulurkan tangannya dengan segera Dara menggenggam tangannya. "Begini rasanya di cintai. Sejak kepergian orang tuaku. Aku tidak merasakan apa itu kasih sayang. Kak Juan yang dulu perhatian padaku menjadi kasar padaku sekarang. Bahkan hampir membunuhku saat apa yang dia mau tidak aku turuti. Namun, aku beruntung karena itu bisa dipertemukan dirimu. Terima kasih sudah menjadi pelindungku, walau aku terus memberimu masalah. Luka yang sekarang kau rasakan juga karena keegoisan diriku. Maafkan aku," tutur Dara yang terus menatap pria baik seperti Yudanta. Mungkin orang lain bilang dirinya pria yang keras, tapi dia tidak pernah menunjukkan itu pada Dara. Sikapnya tetap lembut pada Dara walau menerima banyak rasa sakit.

"Kau akan membuatku menangis dengan ucapanmu itu," goda Yudanta. Dia mencium punggung tangan Dara dan tersenyum manis.

"Kau menggodaku. Kau suka sekali menggodaku. Oh ya, boleh aku bertanya lagi?"

"Tanyakan saja. Aku pikir sejak tadi kau yang banyak bicara." Yudanta membuat tangan Dara menggerakan tuas gigi mobilnya. Seperti yang suka anak muda lain lainnya lakukan. Melakukan keromantisan di mobil.

Dara hanya tersenyum. "Apa memangnya yang kau ingin tanyakan. Katakan saja," ucap Yudanta.

"Jika nanti aku mengalami hal yang tidak kau inginkan. Kau memilih bayi ini atau aku?" Pertanyaan Dara membuat Yudanta menatapnya terkejut.

"Kenapa menanyakan hal semacam itu? Semua akan berjalan baik. Tidak akan terjadi apapun padamu ataupun pada calon bayi kita." Yudanta tidak ingin Dara merasa terbebani dengan pikiran itu.

"Jawab saja. Apa kau akan menyalahkan diriku atas perginya bayi kita?" Dara masih bersikeras menayakan hal itu.

"Sayang, jangan terus membahas itu, aku tidak suka. Bayangkan saja pernikahan kita nanti bagaimana, dan siapa nama anak kita. Tanpa memikirkan hal semacam itu," ujar Yudanta.

Dara diam. Sejak dia tau hamil dan mendengar ancaman Kakek Yudanta, dia membayang hal buruk itu. Dia merasa hal yang tidak bisa dia jelaskan, walau dia tau apa yang akan terjadi. Perasaannya merasakan itu.

"Percayalah, semua akan berjalan seperti kemauan kita," ucap Yudanta.

"Lalu apa kau akan berhenti menjadi ketua gangster jika kita sudah menikah?" Yudanta langsung diam dengan pertanyaan Dara. Tidak semudah itu dia bisa lepas dari kakeknya. Itu akan sulit untuk Yudanta, resikonya dia yang akan mati.

"Lihatlah, apa itu tidak terlihat bagus." Yudanta mengalihkan pembicaraannya saat melihat kembang api.

Dara menatap ke arah di mana Yudanta menunjuknya. Dia tersenyum melihat itu. "Bisa kita melihatnya sebentar?" tanya Dara.

"Sepertinya juga akan habis." Baru juga Yudanta mengatakannya, letusan terkahir dan besar membuat Dara merasa sedih.

"Jangan bersedih. Kita nyalakan di rumah. Kita beli dan segera pulang. Apa kau mau?" Luka hati dan fisik yang Juan berikan, hingga dia merasa seperti wanita kesepian dan juga menyedihkan. Rasa sayang yang harusnya dia dapatkan dari keluarga tidak dia dapatkan. Bekas luka di tubuhnya mungkin bisa sembuh tapi tidak dengan luka hatinya.

Sebelum pulang, Yudanta membelikan banyak kembang api untuk di nyalakan di rumah. Dia juga menghubungi para sahabatnya untuk datang.

"Apa ini tidak terlalu banyak, sayang? Apa kau akan membakar rumahmu dengan ini?" tanya Dara. Tidak habis pikir dengan Yudanta yang memborong kembang api itu.

"Sebaiknya kita pulang. Kita main di rumah saja," jawabnya yang tampak senang. Jujur saja dia ingin mengajak Dara jalan-jalan, tapi tidak tau tujuannya.

"Terima kasih, sayang." Dara menatapnya tersenyum, bagaimana Yudanta bisa memiliki sikap yang begitu romantis, saat dia bilang tidak. Cara menyukapi keromantisan seseorang memang berbeda. Hal seperti ini sudah membuat Dara bahagia.

Sesampainya di rumah, sudah ada para sahabatnya di luar rumah. Yudanta tersenyum senang, dia segera turun dan berjalan ke belakang untuk mengambil kembang apa yang dia beli.

"Kau ingim menyalakan semua kembang api ini?" tanya Anggun.

"Ya, memangnya kenapa? Aku tidak ingin membakar rumahku, dengan ini," sahut Yudanta.

Dara duduk di teras rumah Yudanta menunggu Yudanta dan Brian sedang sibuk dengan kembang api yang ingin mereka nyalakan. Sedangkan Anggun mengambilkan camilan untuk mereka. Dara duduk di samping Kale yang hanya diam.

Dara menatap canggung ke arah Kale. "Apa?" tanya Kale. Sejak kecelakaan waktu itu, mereka tidak saling bicara. Kale hanya kecewa pada Dara yang keras kepala.

"Aku ... Akh!"

Dara yang memang terkejut berteriak sambil menutupi telinganya. Dia tampak pucat saat Kale melihat wajahnya.

"Ada apa?" tanya Kale khawatir. Dia menatap Dara yang tertunduk dengan mata berkaca-kaca karena takut.

"Yuda!" Panggil Kale dengan nada tinggi.

"Tidak." Dara mendorong tangan Kale yang ingin menyentuhnya.

Yudanta yang mendengar Kale berteriak menatap ke arah mereka berdua. Dia berlari dan menatap Dara yang sudah menangis sambil menutup telinganya karena takut.

"Hei ... hei ... ada apa?" Yudanta menangkup pipi Dara dan menatapnya ketakutan. Dara langsung memeluk Yudanta yang ada di hadapannya.

"Ada apa, sayang? Apa kau membentaknya, Kale?" Yudanta menatapnya tajam ke arah Kale yang duduk di sampingnya.

"Tidak. Dia terkejut dengan suara petasan itu. Dan berteriak," jelas Kale.

"Aku ... tidak." Dara menggeleng kepala pelan. Dia benar-benar tidak bisa melawan rasa takutnya. Ingin dia melihat keindahan kembang api itu, tapi suara petasan membuatnya takut.

"Kita masuk saja." Yudanta mengangkat tubuh Dara dan membawanya ke kamar. Maksudnya bukan membuat Dara takut, dia hanya ingin Dara senang karena dia tadi melihat kembang api di jalan tadi dengan bahagia.

Dara memekuk erat Yudanta yang mengedongnya, jelas jika dia sangat ketakutan. "Maaf, aku hanya terkejut. Suara keras membuatku takut. Maafkan aku."

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang