41

1.4K 45 2
                                    

"Kau tidak apa-apa, Dar?" tanya Kale saat di dalam mobil.

Dara masih diam. Tangannya bergetar karena takut. Bukan karena bentakan Juan tapi cerita yang Juan katakan padanya. Padahal jelas-jelas apa yang Juan katakan salah, karena Yudanta sudah pernah menjelaskan padanya, tidak mungkin dia berbohong, dan tidak mungki Dara percaya dengan cerita kakaknya.

"Dar--"

"Kak Juan ingin membunuh Yudanta." Dara menatap Kale dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Dia memintaku meracuni Yuda karena sudah membunuh orang tua kita. Bagaimana ini Kak?" Suara Dara bergetar menatap Kale yang juga terkejut.

"Membunuh orang tuamu?" tanya Kale yang memang tidak tau tentang itu.

"Dara mohon jangan ceritakan ini pada Yuda. Dia akan sangat marah nanti, aku percaya jika apa yang Kak Juan katakan salah. Aku sangat mempercayai suamiku, aku mohon untuk melindunginya, jangan biarkan dia terluka lagi, Kak. Hanya dia yang aku miliki saat ini." Dara menunduk menghadap Kale yang masih tak percaya dengan apa yang akan Juan lakukan.

"Sebaiknya kau tenang. Kita pulang sekarang, sebelum Yuda bangun," ucap Kale.

"Dara mohon untuk tidak menceritakannya pada Yuda," tutur Dara.

Mereka kemudian memilih untuk pulang. Takut jika Yudanta malah bertanya ke mana mereka pergi. Dan untung saja, Yudanta masih dengan posisi yang sama saat Dara berjalan ke kamarnya.

Dara mengecek kondisi Yudanta, demamnya masih saja malah makin tinggi, padahal dia sudah berikan obat sebelum Yudanta tadi tidur. Dengan handuk kecil yang Dara basahi dengan air hangat, dia mengompres kening Yudanta, berharap demannya segera turun.

"Apa dia seperti ini kalau sedang sakit? Dia bahkan tidak bergerak ataupun mengeluh," ucap Dara pada Kale.

"Ya, dia akan seperti mayat saat sedang tidur apalagi sakit. Dia tidak pernah mengeluhkan rasa sakitnya sama sekali, mungkin jika itu sudah terlalu menyakitkan, dia akan tumbang. Dia hanya anak yang butuh kasih sayang, keluarganya berantakan hanya karena bisnis kakeknya. Itu sebabnya juga aku sampai detik ini masih bersamanya," jelas Kale. Jarang dia menceritakan perihal Yudanta pada siapapun. Walau mereka dekat, tapi ada masalah yang tidak Kale tau, seperti masalah orang tua Dara. Dia hanya tau jika Yudanta hidup kesepian meski memiliki harta melimpah.

"Kau akan terus berdongeng padanya?" Suara lirih Yudanta membuat mereka berdua menatapnya.

"Sayang, kita ke rumah sakit ya. Tubuhmu masih saja demam," tutur Dara.

"Jam berapa sekarang? Aku harus menemui orang pukul 8," tutur Yudanta. Dia bangun dan bersandar di headboard tempat tidurnya. Jujur kepalanya masih pusing, bahkan berputar, tapi Yudanta ingin tau siapa yang menemuinya tadi.

"Mas tidak boleh ke manapun." Dara langsung melarang Yudanta yang berniat untuk pergi.

"Tapi aku sudah janji padanya. Aku tidak akan tau apa aku bisa bertemu dengannya lagi atau tidak nanti," ucap Yudanta.

"Maksud Mas?"

"Kale, bersiaplah. Aku keluar bersamamu." Yudanta memaksa turun dari tempat tidurnya. Dia membiarkan Dara yang khawatir padanya.

"Mas--" teriak Dara saat Yudanta akan jatuh karena tubuhnya lemah.

"Istirahatlah, biar aku yang bertemu dengannya. Apa kau tidak mempercayaiku lagi?" Kale yang masih di sana memegangi tubuh Yudanta yang akan jatuh.

"Mas, aku mohon jangam keras kepala. Istirahatlah," tegur Dara. Dia duduk di samping tempat tidur Yudanta yang kembali berbaring.

"Bisa aku bicara pada Kale sebentar atau haruskah aku pergi sendiri?"

"Bicaralah, aku turun kalau begitu. Tapi ingat Mas tidak boleh pergi." Dara segera turun sebelum Yudanta berubah pikiran.

Di bawah Dara hanya menatap ke sekitar rumah. Dia berpikir rumah sebesar ini hanya ditempati oleh Yudanta seorang, makanya Kale bilang dia pria kesepian. Ada beberapa pengurus rumah, tapi mereka hanya datang beberapa kali saja untuk membersihkan rumah. Benar-benar sepi saat tinggal di rumah Yudanta.

"Apa Kak Kale menceritakan tentang Kak Juan?" tanya Dara pada Kale yang baru turun kamar Yudanta.

"Tenanglah, aku tidak mengatakannya. Kau harus hati-hati, kondisi Yudanta sedang tidak baik. Segera hubungi aku atau Brian jika ada apa-apa."

"Memangnya ada apa? Kenapa Kakak bicara seperti itu? Apa terjadi sesuatu?" Dara menatap khawatir, apa yang sebenarnya mereka obrolkan sebelumnya.

"Hanya berjaga-jaga saja." Kale mengusap kepala Dara, hal ini baru dia lakukan selama mengenal Dara.

Setelah Kale pergi, Dara ke kamar Yudanta yang ada di atas tempat tidur. Dia menghampiri suaminya dan berbaring di sampingnya. Memainkan jemari Yudanta, seperti yang biasa dia lakukan.

"Ada apa?" tanya mereka bersamaan. Hal yang selalu Yudanta tanyakan pada Dara. Pertanyaan yang sama.

"Pasti Mas mengatakan hal yang sama." Yudanta hanya tersenyum tipis.

"Kepalaku terasa berputar, bisakah kau matikan lampunya?" Dara mengiyakan apa yang Yudanta mau agar dia merasa nyaman. Setelahnya kembali berbaring di samping suaminya yang ingin memeluknya.

Dara merasakan tubuh demam Yudanta, namun dia tidak peduli. Yudanta hanya menginginkan itu darinya. Tanpa Dara sadari, Yudanta menangis. Dia teringat akan masalah yang bukannya berakhir, malah semakin melebar ke mana-mana.

"Sayang ...," panggil Dara saat memastikan Yudanta apa sudah terlelap.

"Hmmm-" gumam Yudanta.

"Bukankah Mas sebelumnya ingin berlibur. Bisakah kita berlibur akhir bulan ini? Kita tidak pernah berkencan, kita lakukan berdua saja. Bisa kita pergi bersama?" Dara coba membujuk Yudanta untuk melupakan kesedihannya. Dia tau dia hanya berusaha kuat, padahal dia sedang menahan kesedihan.

"Jika itu sakit. Katakan saja, Mas. Kau tidak perlu bersikap kuat saat hatimu terluka. Kau membuatku yakin akan kehilangan calon janin kita bukan salahku. Kau menahan rasa sakit itu sendiri. Aku sekarang bersamamu. Aku percaya padamu. Aku juga mencintaimu, Mas."

"Maaf, aku tidak sekuat itu," tutur Yudanta.

Tangis Yudanta pecah dalam pelukan Dara. Dia mengerti jika suaminya berusaha kuat untuk dirinya. Namun, ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yudanta harus berurusan dengan kakeknya saat dia memilih menentang. Dia juga bisa kapan saja mati saat Kaito menginginnya. Tidak ada jika Yudanta yang celaka, asal bukan Dara. Satu nyawanya hilang. Dan dia harus berusaha kuat untuk dirinya dan istrinya.

"Kita lalui ini bersama, Mas. Aku percaya padamu. Walau orang lain ingin menjatuhkanku, aku tetap percaya dan berada bersamamu."

"Maafkan aku. Harusnya aku bisa menjagamu, Dar." Yudanta merasa semua ini kesalahannya. Dia yang membuat Dara kehilangan calon bayinya. Rasa bersalah itu membuatnya lemah. Jika dia terus seperti ini, dia akan mengorbankan Dara karena kakeknya yang semakin dekat dengannya.

Belum lagi ucapan orang itu tadi, kalau kakeknya ingin membuat Juan menggeser posisi milik Yudanta. Pasti ada rencana lain untuk itu, dan saat Yudanta larut dalam kesedihan dan menyalahkan diri. Dia tidak akan bertahan lama, karena nyawanya sedang terancam.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang