96

319 16 0
                                    

Haiii
Sudah follow belum akun nya?
Follow dulu yukkk!!

Happy Reading
.
.

Yudanta membiarkan Galih melakukan apa yang dia mau. Seperti membayar hutang pada Bandot yang harusnya menikah dengan Dilla. Dia merasa senang saat Yudanta hanya diam. Apalagi beberapa hari belakangan ini Galih mendengar Yudanta sedang sakit, mengharuskan dia tetap di rumah, tanpa tau apa yang Galih lakukan. Walau sebenarnya Yudanta tau apa yang dilakukan Galih saat ini.

Seperti saat ini, dia sedang bicara dari sambungan telepon dengan seseorang yang dia suruh untuk memata-matai Galih.

"Ya sudah, kau awasi dia. Aku tak bisa bicara lebih lama denganmu. Istriku terus menatapku sekarang, daripada ponsel ini hancur karena dia. Lebih baik kita bicarakan lagi nanti," ucap Yudanta dengan mata menatap Dara yang sudah bertolak pinggang di hadapannya.

Setelah sambungan telepon di tutup, Yudanta melempar asal ponsel itu ke tempat tidurnya dan tersenyum pada Dara yang segera duduk di samping suaminya itu.

"Bukankah baru 10 menit Mas tidur, kenapa sudah bangun. Mau ke mana?" tanya Dara.

Sesampainya bertemu dengan Juan, hal yang Juan lakukan hanya tidur. Sampai keesokan harinya Yudanta tak sanggup menahan rasa sakit itu, berakhir dia tumbang. Walau begitu, dia ingin di rawat di rumay saja, dengan infus di lengannya tanpa berkeinginan membuka mata. Menatap wajah khawatirkan istrinya lebih menyakitkan daripada menahan tubuhnya yang sakit.

"Tidak ke mana-mana. Hanya menjawab telepon saja. Kasihan mereka menunggu," jelas Yudanta.

"Sebaiknya Mas istirahat, aku simpan ponselnya." Dara mengambil ponsel Yudanta dan membawanya pergi.

Melihat itu Yudanta hanya menghela nafas, dia hanya sedang mendengarkan laporan tentang rencana Galih selanjutnya.

"Sayang--" panggil Yudanta saat Dara berjalan masuk bersama Alana yang ada di gendongannya. Putri kecilnya itu begitu tenang dalam gendongan sang ibu. Seperti tau jika ibunya sedang mengurus Yudanta yang sedang sakit.

"Mas memerlukan sesuatu?" Dara segera menghampiri Yudanta dan duduk di sampingnya berbaring.

"Tidak. Hanya saja, apapun nanti yang terjadi. Jangan berkecil hati. Aku hanya ingin kita hidup layaknya keluarga. Tak akan ada lagi kekerasan ataupun darah dalam hidup kita nanti." Yudanta memegang tangan Dara yang menatapnya bingung.

"Kenapa Mas mengatakan itu? Jangan bilang Mas merencanakan sesuatu yang berbahaya," sahut Dara.

"Tidak. Aku tidak merencanakan apapun." Yudanta mencoba untuk bangun dan duduk. Dia menatap wajah pulas anaknya yang tenang dalam gendongan ibunya.

"Ayah harap, kita bisa hidup selamanya bertiga." Yudanta memegang pipi mungil Alana yang tak terganggu dengan sentuhan yang ayahnya lakukan.

"Mas--" Dara menatap dengan mata berkaca-kaca mendengar keinginan Yudanta. Walau kenyataan tidak semudah itu, karena Yudanta harus memikul beban berat.

"Kemarilah." Dara langsung memeluk tubuh Yudanta, tubuhnya terasa panas, meski sudah minum obat.

Yudanta mencium kening istrinya lama. Harapannya sekarang hanya bisa terbebas dari semua ini dengan rencana yang dia lakukan. Mungkin memang sulit, tapi dia harus berusaha. Leo terus memaksanya untuk menggantikan sang kakek, namun dia tidak bisa membiarkan keluarga kecilnya celaka. Semua harus berakhir seperti rencananya, itu yang dia mau.

"Apa tidak sebaiknya Mas memeriksakan kondisi Mas ke rumah sakit. Tubuh Mas masih saja demam." Dara menatap sang suami yang terbaring setelah memeluknya.

"Aku tidak apa-apa. Sebaiknya kau istirahat, jangan terlalu lelah. Aku ingin tidur sekarang, tidak apa-apa kan aku memejamkan mata?" Rasa kantuk yang sejak tadi dia tahan menguasai Yudanta. Dia tidak bisa menahannya lagi. Mungkin efek obat yang dia minum tadi, sekarang dia merasa mengantuk.

"Semua akan seperti keinginan Mas. Aku akan selalu bersama Mas," bisik Dara saat mata sang suami sudah terpejam.

Menatap wajah pucat sang suami, Dara meneteskan air mata. Entah perkataan Yudanta seperti memiliki arti yang dia tidak tau. Rencana itu memang tidak ada yang tau selain Leo. Namun, Dara tau jika suaminya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Apalagi perkataannya tadi, membuat hatinya tersayat.

"Kak Kale, boleh aku bertanya?" Dara membiarkan Yudanta istirahat di kamar mereka. Dia sendiri langsung menemui Kale setelah memastikan suaminya tidur.

"Katakan saja," jawab Kale.

"Apa Mas Yuda sedang merencanakan sesuatu? Terlihat jelas, dia sedang tertekan. Dia bahkan mengatakan hal itu lagi," jelas Dara.

"Mengatakan apa memangnya?" Kembali Kale menanyakan apa yang sedang Dara jelaskan.

"Dia ingin kita hidup layaknya keluarga biasa, tidak seperti sekarang. Apa yang sebenarnya dia rencanakan. Aku pikir dia tidak bisa meninggalkan dengan mudah apa yang kakeknya berikan. Hanya dia yang berhak untuk ini," ungkap Dara.

"Sepertinya kau mulai terbiasa dengan pekerjaan suamimu. Kau juga menyadari apa yang suamimu miliki," sahut Kale.

"Bukankah harusnya memang seperti itu, Kak. Namun, rasanya hatiku sakit saat melihatnya harus memikul ini sendiri. Keinginannya hidup bahagia sirna saat kakeknya meninggal. Otomatis hal yang dia tolak berpindah padanya, seperti sekarang." Dulu Dara memang menolak apa yang Yudanta lakukan, akan tetapi berjalannya waktu dia mulai terbiasa.

Meskipun sekarang Yudanta yang tak ingin anak isterinya celaka karena pekerjaan yang dia geluti sekarang. Harapan kecil seorang ayah yang tak ingin mengenalkan putri kecilnya hal yang akan membuatnya trauma, ketakutan dan kesakitan. Tidak salah memang, hanya saja dia terlihat memaksakan.

Belum lagi rencana membebaskan Galih, itu hanya akan membahayakan Yudanta saat Galih bebas. Namun, jika bukan bagian rencananya, dia tak akan sudi. Apalagi Juan diikuti sertakan dalam urusan rencananya.

"Maaf, aku tidak tau apa yang sedang Yuda rencanakan. Tapi, aku tau jika dia melakukan ini untuk kalian. Jadi, percayalah pada Yuda untuk sekarang. Aku yakin dia akan baik-baik saja saat kau juga seperti itu. Sebaiknya kau istirahat, sudah malam juga. Kasihan Alana nanti menangis. Ayahnya kalau sudah tidur sulit untuk bangun," ujar Kale.

Walau Kale khawatir, tapi dia tak mungkin mengatakan itu pada Dara. Dia juga penasaran apa yang sedang Yudanta rencanakan. Dia tidak akan rela jika Yudanta mengorbankan dirinya sendiri.

Dalam diam, Kale menatap ksosong. Dia memikirkan kembali apa yang Dara katakan. Apa yang dia pikirkan sama dengan yang Dara pikirkan. Sikap Yudanta memang tidak aneh, hanya saja dia seperti menahan sesuatu agar yang lain tidak tau.

"Maaf, Tuan Kale. Sepertinya anak buah kita tertangkap," jelas salah satu anak buah Yudanta.

"Tertangkap? Memangnya apa yang mereka lakukan?" tanya Kale yang tampak bingung.

"Apa Yuda belum tidur?" Brian yang baru masuk langsung menghampiri Kale yang sedang bicara dengan anak buah Yuda.

"Ada apa?" tanya Kale bingung.

"Dia memerintahkan seseorang untuk mengambil barang saat dia tau itu hanya jebakan polisi. Ke mana dia sekarang? Ini akan membahayakan dia saat yang tertangkap menyebut dirinya adalah dalang dari semua ini," jelas Brian.

Kale menatap terkejut penjelasan Brian. Itu memang pernah dia tawarkan pada Dilla, yang Galih larang untuk melakukannya karena hal itu hanya akan membuat Dilla mati.

"Dia sedang demam, dan dia sedang di kamar," jelas kale.

"Bangunkan dia. Kita tak ada waktu. Polisi sudah mulai mendatangi basecamp kita," sahut Brian dengan suara bergetar. Ini sama artinya mati, saat polisi mengetahui mereka yang menjadi incaran pihak berwajib selama ini.

***

Maaf jika kurang menarik
Mungkin tinggal beberapa part lagi

Terima kasih
Sudah sudi mampir membaca
🥰

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang