29

2.4K 79 1
                                    

Bintangnya dong sebelum baca
Happy Reading
.
.

Brankar rumah sakit di dorong masuk ke ruang UGD. Hanya satu brankar yang petugas medis bawa masuk, sedangkan Dara dibantu dengan kursi roda. Kondisinya tidak apa-apa, hanya beberapa luka lecet saja. Yudanta sengaja membuat dirinya saja yang terluka dengan membanting mobil ke kanan.

"Aku tidak mengerti apa yang kalian ributkan, tapi dia hanya tidak ingin kau pergi darinya," jelas Brian pada Dara yang sedang menatap seseorang yang sedang terbaring lemah di samping kirinya. Beberapa petugas medis coba membantunya.

"Sayang, sudahlah. Kita fokus dulu dengan kondisi Yuda," sahut Anggun.

Dara hanya diam. Matanya tak lepas menatap Yudanta yang masih ditolong. Hal gila yang Yudanta lakukan demi membuktikan jika dirinya mencintai Dara, namun usahanya tetap saja salah untuk Dara. Padahal Yudanta sudah menjelaskan apa yang dia rencanakan.

Keinginannya menikahi Dara berakhir di rumah sakit, ketika Yudanta mengakui sesuatu agar Dara percaya padanya.

"Sebenarnya ada apa? Kenapa dia melakukan ini?" tanya Anggun. Dia hanya berdua dengan Dara, karena Brian dia minta keluar.

"Aku bersalah, Mbak. Aku egois, tapi aku bingung. Aku hanya tidak bisa menepatkan diriku di posisi saat ini, kenapa dia begitu mencintaiku. Aku memang bodoh." Anggun memeluk tubuh Dara yang kembali menangis. Dia sangat ingat saat Yudanta mengatakan perasaannya sebelum dia menabrakkan diri.

Yudanta harus menjalani operasi untuk kaki kanannya yang patah. Belum lagi tangan kirinya mengalami patah tulang ringan.

Merasa dirinya baik-baik saja, Dara tidak mau terus berbaring di brankar. Dia menunggu operasi Yudanta selesai. Hanya beberapa bagian tubuhnya saja yang mengalami lecet, selebihnya tidak ada luka serius.

***

Setelah operasi yang Yudanta jalani, dia segera di pindahkan ke ruang rawatnya saat kondisinya berangsung membaik.

"Kau sudah sadar, biar aku panggilkan Dokter," tutur Kale yang ada di sampingnya. Dia terjaga sejak kemarin, karena khawatir dengan kondisi tuannya.

Kale memanggil Dokter dan mengecek kondisi Yudanta yang sudah membuka mata setelah operasi kemarin. Kaki kanan dan tangan kiri Yudanta terbalut oleh perban. Namun, seperti tidak terjadi apapun, Yudanta berusaha untuk duduk. Kale membantunya agar posisinya sedikit duduk.

"Ke mana Dara? Apa dia baik-baik saja?" Orang pertama yang dia tanyakan padahal dialah yang menyebabkan dia seperti ini.

"Dia tidak apa-apa. Berhenti untuk memperdulikannya. Lihatlah dirimu seperti ini karenanya. Apa yang ada dalam pikiranmu itu? Kau menyelakai dirimu karena seorang wanita. Berapa kali kau coba melindunginnya, tetap saja dia melukaimu. Ada apa denganmu Yuda?" Kale begitu khawatir pada temannya itu. Dia jarang bicara tapi bukan dia tak peduli, hanya dia ingin Yudanta mencari kesenangannya.

"Bagaimana aku bisa berhenti memperdulikannya saat hatiku ada padanya," jawab Yudanta lirih.

"Lihatlah dirimu. Hal bodoh apa yang kau lakukan ini membuat kita khawatir. Apa kita tidak kau anggap temanmu? Kau lebih mementingkan satu orang yang tidak peduli padamu." Kale semakin marah dengan Yudanta.

"Haruskah aku mencarinya sendiri dan turun dari tempat ini? Aku hanya bertanya padamu. Apa dia baik-baik saja?" tanya Yudanta. Rasa khawatir akan kondisi Dara membuatnya menanyakan kondisi kekasihnya itu.

"Peduli apa aku. Ahh!!" Kale pergi tanpa menjawab Yudanta. Dia benar-benar kesal dengan tuannya itu. Sangat keras kepala hanya karena perasaan.

"Kau lupa ini rumah sakit? Kecilkan suaramu!" tegas Anggun yang berjalan masuk karena terkejut dengan suara Kale yang berteriak.

"Harusnya kau puas sekarang setelah membuatnya celaka. Haruskah aku membantumu untuk mengakhiri hidup?" Kale berdiri di depan Dara yang sengaja menunggu di luar ruang rawat Yudanta.

"Kale, jaga bicaramu!" Brian berdiri di depan Kale dan mendorong tubuh temannya pelan agar tidak mendekati Dara.

"Kalau itu bisa membuatmu lega dengan menghabisiku. Lakukan saja." Dara berdiri dan berjalan ke arah Kale. Dia sungguh tidak takut saat Kale menatapnya marah karena dirinya Yudanta seperti ini. Keegosian Dara yang membuat temannya itu celaka.

"Dara, sudahlah. Kau hanya akan memperkeruh masalah saat kau menantangnya. Kale, sebaiknya kau pergi, tenangkan pikiranmu." Brian mendorong tubuh Kale agar tidak terus bicara yang tidak-tidak.

"Akh!!" Teriak Kale dan berjalan pergi.

"Masuklah, Yuda sudah sadarkan diri." Suara Anggun membuat Dara menatapnya.

Ada rasa takut untuk bertemu dengan Yudanta, karena ini ulahnya. Keegoisannya membuat Yudanta terbaring tak berdaya dengan luka parah.

"Apalagi yang kau pikirkan. Jangan membuat dirimu menyesal, ayo masuk." Anggun menarik lengan Dara agar masuk untuk menemui Yudanta.

Dara berjalan di belakang Anggun, saat baru masuk dia menatap Yudanta yang juga menatapnya. Senyum tipis itu terlihat saat Yudanta melihat kekasihnya tidak terluka. Padahal dia luka parah, dia tidak peduli akan itu.

"Kau baik-baik saja?" Yudanta tetap tidak bisa marah pada Dara, dia bersikap jika tidak ada yang terjadi.

Dara yang menatap Yudanta menangis, dia berjalan ke sisi tempat yang berbeda. Dan memeluk tubuh Yudanta.

"Apa kau sudah yakin denganku sekarang? Kau percaya padaku?" tanya Yudanta yang membiarkan Dara memeluknya. Tanpa menjawab, Dara mengangguk iya menjawabnya.

"Maafkan aku tidak sejak awal menceritakannya padamu. Bukan aku ingin menyembunyikan hal itu darimu, tapi aku tidak mau melihatmu terluka lagi. Aku hanya ingin membantumu, kau segalanya untukku. Jika hal ini masih tidak membuatmu percaya, aku bisa melakukan hal yang lebih lagi. Kau masih
tidak percaya padaku?" Kembali Dara menggelengkan kepala pelan bersembunyi pada bahu kanan Yudanta.

Anggun hanya tersenyum, meski dia tidak paham dengan masalah mereka tapi, yang dia lihat Yudanta sedang membuktikan keseriusannya. Dia pernah mengalaminya dulu saat tidak mempercayai Brian, sampai dia harus merelakan dirinya terluka karena Brian.

"Aku harap kau bisa berpikir lebih panjang, cari tau dulu dan pahami apa yang terjadi. Bukan menyelesaikan masalah dengan mengakhiri hidup. Aku mengerti ini berat untukmu, tapi menjalani hidup itu lebih berarti daripada terus berpikir pendek. Lihatlah pria bodoh ini, dia begitu mencintaimu sampai otaknya tidak dia gunakan dengan benar. Kau merubah singa dingin ini menjadi kelinci yang lembut, masihkah kau tidak percaya padanya. Aku tidak ingin peduli, tapi kalian temanku. Apa harus aku marah seperti Kale? Membentakmu, begitu?" Brian bisa juga bicara dengan benar, biasanya dia yang mudah sekali terpancing emosi. Tapi itu juga karena Anggun yang memberinya pengertian.

"Lalu jika sudah seperti ini, apa yang akan kau lakukan? Kau membuatku kesulitan dengan kondisimu ini. Anggota akan ada acara, dan kau terbaring di sini. Ingin sekali aku menjitak kepalamu itu," ujar Anggun kesal. Dia yang akan menggantikannya saat Yudanta tidak bisa datang.

"Makanya, biarkan kekasihmu itu yang menjadi ketua genk, aku mundur saja. Bagaimana jika begitu?" Tawar Yudanta.

"Tidak! Enak saja kau memberikan kewajiban itu. Anak-anak tidak akan takut padaku. Kau saja. Kita akan tetap menunggumu sampai pulih." Brian sudah cukup pusinh dengan 2 pekerjaannya. Dia tidak mau memikul, jika membantu boleh, tidak dengan memikul semuanya sendiri.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang