75

538 22 0
                                    

Dara terlihat turun dari kamarnya bersama Yudanta yang sudah terlihat segar. Mereka sedang mengobrol ringan, senyum tak lepas dari bibir Yudanta saat mendengar cerita dari Dara.

Langkah kaki Dara terhenti ketika melihat orang yang sejak pagi menganggunya. "Anda masih di sini." Yudanta menatap ke arah seseorang yang Dara ajak bicara. Senyumnya luntur dan seketika Yudanta menghela nafas melihat kaki tangan kakeknya ada di hadapannya.

"Maaf, Tuan," ujar Leo, Pengacara dan juga kaki tangan Kaito. Orang yang dia minta untuk mengurus apapum tentang bisnis Kaito selain Galih.

"Apa tidak ada waktu untuk suamiku istirahat, Anda sejak pagi terus menunggunya, seakan besok kiamat jika Anda tidak bertemu dengan suamiku," celetuk Dara yang kesal. Padahal dia masih ingin makan dengan suaminya.

"Maafkan saya, Nona," jawabnya sambil tertunduk sopan. Leo memang berbeda daripada Galih. Usianya mungkin seumuran dengan Dara, tapi dia pintar dan juga bisa diandalkan.

Yudanta hanya tersenyum dengan kekesalah Dara. "Kita bicara setelah makan. Apa kau sudah makan?" tanya Yudanta pada Leo.

"Maaf, Tuan, tapi--"

"Kau hanya akan membuatnya kesal jika memaksaku untuk mendengarkan apa yang akan kau sampaikan." Yudanta segera duduk di meja makan, menunggu Dara menyiapkan bubur yang dia buat untuk sang suami.

"Duduklah," pinta Dara pada Leo.

"Terima kasih, Nona," sahut Leo. Dari penampilannya, dia begitu rapi dengan jas, sudah seperti orang kantoran saja, memang dia seorang pengacara. Karena Kaito dia berhasil mendapatkan gelarnya, bukan hanya itu dia dikenal sebagai pengacara mahal beberapa tahun ini, namun itu semua karena Kaito memperdaya dia untuk melindungi bisnis gelapnya. Leo menjual kepintarannya pada Kaito yang menjunjung derajatnya.

Di meja makan tidak ada obrolan diantara mereka, hanya suara alat makan yang sedang mereka gunakan sampai Yudanta coba membuka suara.

"Katakan apa yang ingin kau sampaikan? Apa kau sudah mengumpulkan mereka?" tanya Yudanta.

"Sudah, Tuan. Mereka sudah menunggu sejak pagi. Saya harap Anda menempati kediaman Kakek Anda. Agar--"

"Tidak. Aku akan tetap di sini. Mungkin jika sesekali boleh. Tidak dengan selamanya. Kalau aku boleh memilih, aku tidak mau menerima apa yang kau sampaikan kemarin. Hanya saja, aku tidak memiliki pilihan, jadi lakukan saja yang aku mau tanpa memaksa. Aku hanya ingin membuat istriku nyaman karena dia sedang hamil. Aku tidak mau penjagaan seperti Kakek. Aku ingin sepertiku yang sekarang. Mau terima atau tidak, itu terserah. Tidak akan ada perubahan apapun padaku," jelas Yudanta. Dia sengaja mengatakan itu di hadapana Dara agar tidak merasa dia sedang menutupi sesuatu.

"Baik, Tuan. Dan ini surat dari Kakek Anda." Leo menyodorkan amplop putih pada Yudanta.

Langsung Yudanta segera membuka amplop itu. Hanya tulisan tangan kakeknya di sana. Ada beberapa lembar dan Yudanta langsung membacanya. Menghentikan kegiatan makannya.

'Maafkan Kakek. Semua yang Kakek lakukan agar kau bisa kuat saat aku meninggalkanmu. Semua akan menjadi milikmu seperti keinginanku sejak awal. Galih tak berhak sepeserpun, karena dia selalu saja menyiksamu.'

Dari sebagian isi surat Kaito, dia menjelaskan sikapnya selama ini pada Yudanta agar cucunya itu bisa menjadi kuat, dan itu yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin Gangster.

"Dan ini untuk menantunya," ucap Leo. Dia kembali menyodorkan yang kali ini kotak perhiasan. Leo bahkan membukakan untuk Yudanta. Satu set perhiasan itu untuk Dara.

"Beliau menyesali sikap Galih yang ceroboh membunuh calon bayi Anda. Semua beliau lakukan karena ingin menjadikan Anda kuat. Bukan menjadi sosok yang manja ataupun seenaknya sendiri. Kakek Anda tak pernah bermaksud menekan Anda, walau dia terkadang sangat gila karena darah dinginnya tak pernah bisa pergi dari jiwanya." Leo mengatakan apapun yang dia tau. Karena memang dia yang sebenarnya Kaito percaya saat Galih lebih memilih kekayaannya.

Yudanta hanya diam. Dia tak bicara sepatah kata pun. Dara yang ada di sampingnya segera menggenggam tangan Yudanta. Mata mereka saling beradu, senyum manis Yudanta perlihatkan pada sang istri yang sedang khawatir.

"Untuk apa dia melakukan ini. Apa dia pikir anakku bisa ditukar dengan perhiasan itu?" tanya Yudanta.

"Bukan begitu, beliau sangat menyesali itu. Dan ini hadiah yang tak sempat dia berikan pada Nona Dara, karena Galih terus memprovokasinya. Untuk Nona Dara, tolong maafkan Tuan Kaito," ujar Leo.

"Kalau memberi maaf itu mudah, sejak dulu aku memaafkan diriku tentang kematian orang tuaku. Sepertinya nyawa orangtuaku tak ada artinya," jawab Dara.

"Maaf, Nona. Tapi setau saya. Memang benar Tuan Kaito yang ada dalam masalah itu. Dia yang mengeksekusi mereka dengan rencananya, tapi bukan dia dalang dari semua ini, melainkan Kakak Anda sendiri. Dia ingin menjual orangtuanya agar mendapatkan apa yang dia mau. Apalagi masalah hutang, dia juga yang sebenarnya orang yang membuat masalah itu timbul. Tidak benar jika orangtua Anda mati karena temannya berkhianat." Apa yang Leo jelaskan membuat Dara menatap terkejut. Dia tak percaya dengan penuturan Leo tentang kekejaman kakaknya.

"Kau sudah pastikan apa yang kau sampaikan benar?" tanya Yudanta.

"Sudah, saya memiliki bukti untuk itu. Tuan Kaito mengakui kesalahnnya, namun bukan dia dalang dari apa yang terjadi dalam kematian orangtau Anda."

Tak terasa air mata jatuh begitu saja dari mata Dara, kakaknya sungguh keterlaluan. Bukan hanya orangtua nya yang dia bunuh, tapi dia berusaha untuk membunuh Yudanta dengan menjadikan Dara sebagai umpan.

"Sayang ...." panggil Yudanta pada istrinya yang hanya diam. Bukan hanya dia yang terkejut atas apa yang kakeknya lakukan, namun kebenaran tentang kematian orang tua Dara membuatnya juga terkejut.

Yang Yudanta tau, orang tua istrinya mengalami musibah karena sang kakek, nyatanya Juan yang menjadi dalang dengan mengorbankan mereka untuk kepuasan sendiri.

"Dia bukan manusia. Juan bukan manusia. Dia biadab, dia tega membunuh orang tuanya sendiri. Aku--" isak Dara, dia menghentikan ucapannya saat tak bisa menahan tangis yang membuat dadanya sesak.

"Aku ingin bertemu dengannya, Mas," imbuh Dara sambil menatap Yudanta dengan tatapan berharap jika suaminya mengizinkannya.

"Sayang ...."

"Aku ingin bertemu dengannya, Mas!!" Teriak Dara. Dia tetap ingin bertemu dengan Juan walau sang suami coba untuk menenangkannya.

Leo salah untuk mengatakan kebenaran itu, harusnya dia katakan saja pada Yudanta. Namun, dia malah mengatakannya pada Dara langsung.

"Kau tidak bisa bertemu dengan kondisi seperti ini. Dia hanya akan mencelakai dirimu," ujar Yudanta.

"Aku tetap mau bertemu dengannya!" tegas Dara.

"Akh!!" rintih Dara saat perutnya tiba-tiba terasa kram saat dia mendengar kabar dari Leo tentang kakaknya.

"Jangan keras kepala. Ingat kondisimu," sahut Yudanta.

"Aku--"

"Dengarkan aku atau kau ingin aku membunuhnya di depan matamu," pungkas Yudanta dengan nada sedikit tinggi.

"Ya, sebaiknya Mas bunuh saja dia. Dia tidak berhak hidup. Dia harus mati saja. Bunuh dia untukku Mas." Tak di sangka Dara mengatakan hal itu pada Yudanta.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang