70

763 20 0
                                        

"Apa yang Mbak maksud?" tanya Dara saat Anggun tak sengaja menyebut nama Yudanta.

"Ah ... tidak. Tadi Yudanta bilang kalau kau ingin keluar biar aku yang mengantarkanmu. Aku malah teralihkan dengan tontonan yang aku lihat, jadi menyebut namanya dan lupa," elak Anggun. Hampir saja dia ketahuan.

Saat melihat pelabuhan yang ada di TV, pertama kali dia berpikir tentang Yudanta. Siapa yang tidak khawatir saat berita menyebutkan terjadi pengejaran. Tanpa sepengetahuan Dara, dia berusaha untuk mengirimkan pesan pada Brian. Namun, tidak ada balasan dari kekasihnya itu.

Rasa khawatir membayangi Anggun, akan tetapi dia tidak bisa bilang pada Dara. Dia hanya berusaha untuk tenang saat ini.

"Kenapa ponsel Mas Yuda tidak aktif. Apa Mbak bisa menanyakan pada Kak Brian di mana mereka sekarang?" Pertanyaan Dara membuyarkan lamunan Anggun.

"Aku coba kirim kan pesan sebentar." Anggun berharap Dara tidak curiga tentang kondisi Yudanta terus.

Tugas Anggun sekarang membuat Dara tenang agar tidak merasa curiga. Walau sepertinya dia merasa aneh, tapi Anggun berusaha membelokkan apa yang sedang Dara pikirkan.

***

Di tempat yang berbeda, Yudanta sedang mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat di mana Bos Mafia menunggu barang selundupan yang di bawa Yudanta dengan aman. Meski ada sedikit rintangan, namun dia berhasil mengecoh petugas keamanan.

"Tanganmu terluka," ucap Kale saat masuk ke mobil Yudanta.

Tangan kanan Yudanta berdarah. Dia tadi sempat berkelahi dengan Galih yang berusaha memprovokasi dirinya. Padahal baru juga sembuh pegelangan tangan kirinya, sekarang dia terluka lagi, tangannya tergores pisau yang Galih bawa.

"Sudah, cepatlah masuk," pinta Yudanta dan segera melajukan mobilnya lagi setelah Kale duduk di sampingnya yang sedang mengemudi.

"Apa Brian aman?" tanyanya lagi.

"Ya, dia aman." Mereka bertiga membagi tugas, membawa barang itu dengan mobil yang berbeda. Meletakkan mobil itu pun di tempat yang sudah Yudanta sepati dengan Bos Mafia itu.

"Bagaimana jika Galih tertangkap dan menyebut kita?" tanya Kale.

"Dia tidak akan berani. Urusan Galih biar pria itu yang mengurusnya. Aku tidak peduli lagi. Aku hanya ingin pulang sekarang," sahut Yudanta. Dia membalut lukanya dengan kain kaos yang yang kenakan. Tidak ingin membiarkan terus berdarah.

Baru kali ini dia melawan Galih. Dia tadi puas menghajar Galih yang terus saja menyudutkannya. Galih terus saja menekan akan keinginan yang harus dia dapat, dia lupa jika Yudanta yang berhak akan warisan Kaito. Seperti warisat kakenya.

Karena bantuan Bos Mafia, Yudanta bisa menjadikan Galih kambing hitam. Dia ditangkap karena pengejaran yang dia lakukan karena Yudanta mengubah waktu pengambilan barang itu. Yang di kejar polisi itu bukan Yudanta, tapi Galih. Dan sekarang Galih di tahan atas tuduhan penyelundupan.

"Apa tidak sakit?" tanya seorang Dokter yang berusaha menutup luka sayat di tangan Yudanta. Apalagi dia tidak mau ke rumah sakit. Dia memilih ke rumah temannya yang memang seorang dokter.

"Bisa kau lebih cepat. Aku ingin pulang. Istriku pasti sedang menunggu," jawab Yudanta. Dia berbaring dengan lengan kiri menutup matanya.

"Kau selalu saja datang dengan luka. Harusnya juga pergi ke rumah sakit. Aku tak memiliki perlengkapan untuk menutupi luka ini," jelasnya.

"Sudah selesaikan dengan cepat." Yudanta sejak tadi coba untuk menahan rasa sakit luka sayat di tangan kanannya.

Tadi Galih hampir menusuknya, namun Yudanta memegangi pisau yang ditekan ke arahnya. Tak membiarkan Galih melukainya. Dia tetap harus bertahan dan menemui istrinya.

"Biar aku yang mengemudi. Kau istirahatlah di belakang." Kale membuat Yudanta duduk di belakang setelah lukanya berhasil diobati. Tanpa obat bius, sang dokter menutup luka sayat di telapak tangan Yudanta.

"Bisa kita tidak pulang malam ini. Aku tak ingin kondisiku membuat Dara khawatir," ujar Yudanta yang ragu akan pulang, padahal dia sangat ingin pulang.

"Sejak tadi dia coba menghubungiku, namun aku tak menjawabnya. Sebaiknya kau pulang saja, kasihan dia khawatir," ucap Kale.

"Berikan ponselmu." Yudanta coba menghubungi Dara dengan ponsel Kale, karena dia lupa meletakkan ponselnya di mana tadi karena dia harus cepat sebelum Galih bertindak lebih lanjut.

"Mas, kau di mana? Apa tidak pulang? Kenapa ponsel Mas tidak aktif, ada apa?" Padahal Yudanta baru mengatakan jika itu dirinya, Dara sudah bertanya banyak hal.

"Aku sedang di luar kota. Ponselku mati, tadi Brian yang membawanya. Apa kau baik-baik saja?" tanya Yudanta.

"Aku khawatir pada Mas. Karena sejak tadi ponsel Mas tidak bisa di hubungi," jawab Dara.

"Maafkan aku. Oh ya, malam ini aku tidak pulang. Kale sedang mabuk, tidak mungkin aku meninggalkannya. Apalagi dia menghilangkan kunci mobilnya. Tidak apa-apa kan aku tidak pulang malam ini?" Yudanta hanya tak ingin membuat Dara khawatir dengan luka di tangan Yudanta. Apalagi kepalanya sudah cukup sakit saat ini, jika dia pulang. Bukan tidak mungkin, Dara akan mengomelinya.

"Apa Mas juga minum?" tanya Dara.

"Sedikit," jawab Yudanta bohong.

"Ya sudah, bermalam saja di sana. Jangan mengemudi saat mabuk. Mas berhati-hatilah," tutur Mayang yang percaya begitu saja dengan apa yang Yudanta katakan.

"Ya sudah aku tutup teleponnya. Maafkan aku," ucap Yudanta.

"Aku mencintaimu, Mas," sahut Dara.

Yudanta terdiam sejenak. "Ya, aku juga sangat mencintaimu."

Setelahnya sambungan teleponnya terputus. Yudanta yang sedikit bernafas lega. Setidaknya dia bisa istirahat malam ini tanpa perasaan bersalah yang berlebih.

Mereka memilih untuk bermalam di sebuah hotel, namun yang terjadi Bos Mafia itu ingin bertemu dengan Yudanta. Harapan untuk memejamkan mata gagal dia lakukan.

Sekarang dia sedang di kamar hotel berdua bersama Bos Mafia itu. "Kau berhasil dengan tantangan yang aku buat," ucapnya.

"Apa Anda sudah menepati janji Anda untuk membereskan Galih?" tanya Yudanta.

"Tentu sudah. Dia tidak akan berani lagi menyentuh dirimu," jawabnya.

"Tapi ada satu masalah yang harusnya kau bisa bereskan, karena ini juga ulah dari salah satu temanmu. Aku pikir kau tidak berniat menghianatiku. Benar begitu?" Pertanyaannya membuat Yudanta menatap bingung.

"Masalah apa? Dan siapa maksud Anda?" tanya Yudanta penasaran.

"Bukankah dia salah satu darimu?" Bos Mafia itu menunjukkan sebuah foto pada Yudanta yang menatapnya terkejut.

"Kenapa dia ada di sana? Bukankah dia--"

"Aku pikir kau tidak akan membangkang dari tugasmu. Kau tau resikonya saat kau berkhianat padaku apa. Aku tak akan melepaskan targetku."

"Akhh!!" Rintih Yudanta lirih saat dia menggoreskan pisau lipat yang sejak tadi dia mainkan menggores wajah Yudanta.

Hanya pisau kecil, namun rasanya tak kalah dengan luka sayat di tangan kanannya. Tak hanya di sana, Bos Mafia itu menusukkan ke bahu Yudanta.

"Kau bisa kembalikan apa yang temanmu ambil atau kau yang akan mati ditanganku. Pengkhianat pantas untuk mati," tuturnya tepat di telinga Yudanta yang menahan rasa sakit akan tusukan yang Bos Mafia itu lakukan, walau pisau itu hanya berapa inci saja.

"Apa kau bisu? Kau tidak bisa menjawab sekarang!" tegasnya.

"Tapi dia bukan bagian dariku," jawab Yudanta.

"Bagaimana bisa, dia menyebut namamu saat salah satu anak buahku bertanya siapa dia," sahut Bos Mafia.

"Aku ... bersumpah. Dia bukan ... bagian dariku." Yudanta bicara terbata-bata saat Bos Mafia itu menusukkan di tempat lain dan menekannya kuat.

"Kalau begitu pastikan itu, dan kembalikan apa yang dia ambil." Tanpa perasaan Bos Mafia itu melukai Yudanta yang sudah terluka.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang