83

476 13 0
                                    

Kabar kehamilan Anggun harusnya bisa membuat Brian bahagia. Nyatanya dia malah marah karena Anggun dan berakhir ingin mengakhiri hubungan mereka. Di hadapan Yudanta, mereka berdua tertunduk karena perdebatan sengaja terjadi saat mereka berkumpul di rumah Yudanta.

Kale dan juga Dara hanya diam saat Yudanta sedang bicara. Mereka tak mungkin menyela ketika Yudanta sudah memasang wajah seriusnya. Dia tak akan mengampuni siapapun yang membantahnya.

"Sebenarnya apa yang membuatmu berat untuk menerima kehamilan Anggun?" tanya Yudanta. Berusaha bicara dengan tenang, walau jujur saja di sangat ingin menampar sahabatnya itu karena sikapnya seperti menolak kehamilan Anggun.

"Aku tidak berat, hanya saja aku belum ingin menjalin hubungan serius saat seperti ini saja cukup," jelas Brian. Dia ingin hubungan tanpa status, hal ini sudah membuatnya nyaman.

"Ingin aku tak peduli dengan masalah kalian, tapi kau sungguh keterlaluan. Apa masalahnya jika kau menikahinya? Apa itu akan membuatmu rugi?" tanya Yudanta. Dia berteman lama, saat masalah seperti ini Yudanta tidak bisa diam saja.

"Biarkan saja, aku tetap ingin mengakhiri hubungan ini. Aku bisa mengurus anakku sendiri, tanpa bantuan dia," sahut Anggun dengan mata yang berlinang air mata, tapi suaranya tidak bergetar sedikit pun.

"Brian, aku tanya padamu. Jika kau tidak merasa berat, apa kau mau mengakhiri hubungan ini karena Anggun hamil?" tanya Yudanta.

"Aku tidak merasa berat, dan aku tak mengatakan ingin mengakhiri hubungan ini," jawab Brian.

"Lantas aku harus diam begitu? Mengiyakan apa yang kau mau? Sudahlah, aku lelah dengan sikapmu." Anggun berjalan pergi sebelum Yudanta mendapatkan pemecahan masalah untuk mereka.

"Biar aku yang mengejarnya." Dara beranjak dan mengejar Anggun yang sudah di halaman depan rumah Yudanta.

"Lalu mau mu apa? Kau tidak mengharapkan bayi itu?" tanya Yudanta.

Brian hanya diam. Entah apa yang dia pikirkan, padahal dia begitu mencintai Anggun. Mungkin memang setiap hubungan ada pasang surutnya, tapi bukankah ini resiko yang Brian harus terima.

"Anak itu butuh Ayah. Dan kau ayahnya. Jika merasa berat untuk pengeluaran yang akan kau berikan pada anakmu kelak, aku yang akan memberikannya. Tak perlu memikirkan hal itu lagi, namun aku pikir ini semua bukan tentang itu. Apa kau lupa tentang dirimu yang mengejar Anggun, bukankah dia juga memperjuangkanmu. Sebenarnya ada apa, Brian? Jawab atau kau memilih aku tidak akan memintamu pergi bersamaku," jelas Yudanta.

Brian tetap diam. Yudanta sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Ingin sekali dia menghajar Brian, namun sahabatnya itu bukan lagi anak kecil yang akan di marahi karena kesalahannya. Tapi ini keterlaluan saat Brian tak ingin bertanggung jawab atas kesalahannya.

"Terserah kau saja. Aku yang akan bertanggung jawab, saat kau tak mau mengakui bayi itu." Setelah mengatakannya, Yudanta beranjak pergi. Dia mencari Dara yang sedang bersama Anggun. Dia kemudian berjalan menghampiri mereka.

"Haruskah aku menggugurkannya? Dia seperti orang gila yang tak mau bertanggung jawab atas apa yang diperbuat. Apa dia pikir aku melakukan dengan pria lain," gerutu Anggun yang menjelaskan dengan derai air mata.

"Sebaiknya masuk dan istirahat, jangan pergi ke manapun. Aku tak mengizinkannya." Suara Yudanta membuat mereka berdua menoleh.

"Tidak. Aku mau pulang. Aku tak sudi melihatnya di sini," elak Anggun.

"Aku tak butuh jawaban darimu. Cukup lakukan apa yang aku katakan tanpa membantah." Setelah Yudanta bicara, Anggun segera ke kamar di temani Dara.

Bagaimanapun Anggun selalu menemani Dara saat dia sendiri, sekarang Anggun sedang mendapatkan masalah dan gilanya Brian malah bersikap tak mau menerima kahamilan kekasihnya.

Sejenak Yudanta memikirkan apa yang membuat Brian seperti ini. Dia duduk menatap kosong ke taman depan rumahnya. Bagaimana bisa Brian bersikap tak adil pada Anggun yang jelas-jelas pujaan hatinya.

"Mas ..." Dara menghampiri suaminya yang masih di luar sendirian.

"Kemarilah." Yudanta mengulurkan tangan agar Dara berjalan perlahan padanya dengan hati-hati karena ada tangga.

"Apa dia sudah tidur?" tanya Yudanta.

"Sudah, Mas. Apa ada yang mengganggu pikiran Mas?" Dara balik bertanya.

"Aku kepikiran kenapa Brian bersikap seperti itu pada Anggun yang jelas-jelas kekasihnya. Dia ragu, terlihat jelas jika dirinya ragu walau dia mengelak. Tapi keraguan itu pasti ada alasannya. Dan alasan itu apa?" Yudanta coba mengingat tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Apa Kak Brian mengenal wanita lain?" tanya Dara.

Pertanyaan Dara membuat Yudanta terdiam. Jika memang begitu, apa itu karena misi yang sedang mereka jalankan. Seperti apa Brian mencintai Anggun, dia dihadapkan dengan wanita yang menjadi kunci dari misi yang dia jalankan.

"Kenapa Mas hanya diam. Ada ... ahh." Rintihan Dara membuat menghentikan ucapannya karena perutnya terasa kram.

"Apa terasa sakit lagi? Bukankah masih 8 bulan, kenapa rasa sakitnya sudah sering terasa. Apa harus kita ke rumah sakit? Aku buatkan janji dengan dokternya," tutur Yudanta yang tampak khawatir dengan kondisi Dara, dia bahkan tak hentinya bicara.

Dara hanya tersenyum gemas melihat kekhawatiran suaminya. "Kenapa malah tertawa?" tanya Yudanta.

"Tidak apa-apa sayang. Jangan khawatir. Hanya dia menendang sedikit kuat," jawab Dara dengan tangan yang menggapai tangan Yudanta dan meletakkan pada perutnya.

"Apa kau tak sabar keluar dari perut ibumu, Nak. Sabarlah, sebentar lagi juga keluar dari sini. Bisa melihat Ayah dan Ibu." Yudanta menatap terkejut saat ucapannya di balas dengan tendangan. Senyum indah itu dia tunjukkan pada istrinya.

"Dia selalu mendengarkan apa yang ayahnya katakan," jawab Dara.

"Baguslah, semoga tumbuh jadi anak yang baik. Tidak seperti ayahnya." Ada kesedihan dengan apa yang Yudanta katakan. Dia tidak akan rela, jika anaknya sama seperti dirinya.

Dara menankup kedua didi suaminya agar menatapnya. "Mas adalah Ayah terhebat, jangan berkecil hati." Dia kemudian mencium bibir suaminya singkat.

"Ahh ... sepertinya dia ingin juga di cium oleh ayahnya. Dia bergerat lincah di sini." Dara menghentikan kecupannya dan fokus pada perut yang langsung di usap pelan oleh Yudanta kemudian dicium.

"Sepertinya kau akan jadi seperti ibumu nanti. Tapi tak apa-apa, kau akan cantik sepertinya." Yudanta malah mengajak anaknya bicara, dan sesekali mendapatkan jawaban dengan menendang perut ibunya.

Di ruang kerja rumah Yudanta, dia, Kale dan tentu saja Brian. Mereka sedang bicara tentang apa yang menjadi masalah Brian. Beberapa bulan ini Brian harus menyamar untuk mendapatkan informasi, dan dia harus dekat dengan seorang wanita yang mengejarnya. Dan parahnya mereka menyimpan perasaan satu sama lain.

"Kau gila Brian. Kau itu harusnya fokus pada tujuanmu bukan hasratmu. Kau merelakan Anggun demi wanita seperti dia!" Kale yang merasa kecewa menatap sahabatnya itu dengan penuh amarah yang tertahan.

"Lantas aku harus menolak dan membuat rencana kita gagal, apa begitu?" tanya Brian.

"Tapi tidak dengan tidur dengannya sampai dia juga hamil. Kau benar-benar gila Brian," ucap Kale.

"Lalu apa yang kau mau sekarang?" tanya Yudanta.

"Maaf, ini memang kesalahanku. Tapi aku tak bisa kalau harus meninggalkan Anggun. Kau tau bagaimana aku padanya," jelas Brian. Dia mulai mengatakan dengan jujur alasan apa yang mengganggu pikirannya.

"Tapi kau menyimpan rahasia ini darinya, Brian. Yang pasti akan membuatnya terluka. Kau gila!" tegas Kale.

"Lantas siapa yang mau? Bukankah kau menolak pekerjaan ini, sekarang kau seakan menyalahkan diriku. Lalu apa yang kau lakukan sekarang demi pekerjaan ini?" Brian bicara tak kalah kerasnya dari Kale yang merasa kecewa. Bagaimanapun hal ini harusnya tak terjadi.

"Lalu apa mau mu sekarang?" tanya Yudanta. Menyelai ucapan Brian pada Kale.

"Aku ingin mundur saja. Aku tak ingin melanjutkan ini. Aku juga yang salah bagi kalian," ucap Brian yang langsung keluar ruang kerja Yudanta setelah mengatakannya.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang