"Dia tidak memiliki pilihan," tutur Kale pada Dara yang sedang mengajaknya bicara setelah membiarkan Yudanta istirahat.
"Apalagi sejak tadi dia seakan di kejar oleh kaki tangan kakeknya untuk tanggung jawab apa yang harus dia lakukan," imbuh Kale.
"Lalu Dara harus apa, Kak? Bukankah pekerjaan seperti ini membahayakan dia," ucap Dara yang takut akan kondisi Yudanta.
"Yakinkan hatimu saja, jika kau percaya pada suamimu. Dia tidak akan ragu, karena kelemahannya ada padamu. Yudanta yang aku kenal dulu tak pernah takut akan hal yang menantang. Saat dia bersamamu, dia semakin menutup diri. Tidak mau sesuatu terjadi padamu, itu yang menjadi prioritasnya sekarang."
Dara memang harus meyakinkan hati untuk pekerjaan suaminya. Seperti yang Yudanta katakan sebelumnya. Menjadi istri ketua Gangster, hal yang jarang wanita lain dapatkan, tapi Dara harus merasakannya. Dia tidak boleh menjadi beban Yudanta, itu sebabnya dia harus bersikap biasa saja.
***
Keesokan paginya, Yudanta belum juga bangun sejak semalam tidur lebih awal. Jam sudah menunjukkan pukul 10, dan sejak tadi ponsel Yudanta terus menyalah, tanpa bergetar dan juga berdering. Dia mengaktifkan mode silent.
Dara sendiri tak berani menjawabnya. Seperti pagi biasa, perut Dara terus merasa mual bahkan memuntahkan isi yang hanya dominan air. Dia termenung sambil merasakan tubuhnya yang mengalami perubahan selama masa kehamilan keduanya ini. Perutnya memang belum terlihat buncit, jadi dia belum bisa merasakan gerakan bayinya. 14 minggu masuk trimester ke 2, masa kehamilan Dara saat ini.
"Kau tidak boleh takut ataupun ragu. Ada suamimu yang akan terus melindungi seperti yang dia lakukan sekarang." Dara harus yakin akan apa yang suaminya.
"Ah ..." rintih Yudanta dari atas tempat tidurnya.
Mendengar rintihan dari suaminya, Dara berjalan menghampirinya. Dia duduk di samping pria yang memiliki lesung pipi itu, dan tersenyum saat mata indah sang suami mulai membuka.
Namun, seperti menahan sesuatu yang menyakitkan. Keningnya berkerut dan mata pria dengan tubuh atletis itu kembali memejamkan mata. Senyum Dara buyar seketika saat Yudanta menahan sakit dengan meremas selimut yang dikenakan. Tubuhnya miring membelakangi Dara yang duduk di sampingnya.
"Sayang, apa yang sakit?" tanya Dara dengan nada khawatir.
"Mas ..." Dara tak sengaja memegang bahu sebelah kanan Yudanta, dan langsung tau dengan luka tusuk di sana. Dara pikir luka Yudanta hanya ada di wajah dan telapak tangannya saja, namun bahunya pun terbalut plester.
"Ya Tuhan." Dara tak bisa berkata-kata. Dia bingung, bahkan dia hanya menatap Yudanta yang sedang kesakitan.
"Akhh!!" Teriak Yudanta seperti rasa sakit itu terus menyiksanya.
Yudanta berusaha untuk bangun dan berjalan turun dari tempat tidurnya. Mengambil jas hitam yang dia kenakan semalam dan mencari botol obat yang ada di sana. Tanpa bantuan air Yudanta menelan obat itu. Dara yang terkejut masih diam di tempat dengan mata yang menatap Yudanta, air mata sudah jatuh deras membasahi pipinya dan tubuh yang bergetar.
Yudanta duduk di sofa sampingnya berdiri sambil memegang perutnya. Dia tertunduk menikmati setiap rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.
"Mas ..." Suara Dara bergetar saat memanggil Yudanta.
Yudanta yang sempat tak fokus menatap Dara yang berderai air mata menatapnya. Segera Yudanta beranjak dan menghampiri Dara.
"Aku mengejutkanmu? Maafkan aku," ucap Yudanta, dia membawa Dara dalam pelukannya.
"Mas ..." Tangan Dara memegang bahu Yudanta yang terluka.
"Sudah jangan menangis. Maafkan aku." Selemah itu Yudanta ketika berurusan dengan Dara. Benar kata Kale jika kelemahan Yudanta ada pada istrinya. Dia tidak bisa melihat Dara ketakutan ataupun terluka. Bahkan saat dirinya yang sedang kesakitan, dia tak peduli.
"Apa yang Mas minum?" tanya Dara.
"Hanya obat pengurang rasa sakit. Perutku terasa sakit makanya aku terbangun. Sudahlah, tidak apa-apa. Jangan menangis lagi. Ingat di perutmu sedang ada janin yang butuh ibunya kuat. Apa hari ini mau memeriksakannya?" tanya Yudanta. Wajah pucatnya tak bisa menutupi rasa sakitnya, namun dia membiarkan itu.
"Tidak. Mas harus istirahat di rumah, periksa lusa saja. Lagian tidak ada keluhan apapun. Walau masih saja merasa mual, dan lagi moodku yang naik turun, membuatku merasa kesal." Dara tampak sedih menjelaskannya.
"Tidak apa-apa. Ibu hamil sah-sah saja merasakan perubahan mood, itu yang aku tau. Memangnya apa yang kau rasakan sekarang? Apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Yudanta.
Dara menggeleng dengan bibir bawah dia manyun kan. Yudanta yang gemas tersenyum sambil mencubit pipi istrinya. "Mas, jika ingin memaki orang apa itu sama dengan ngidam? Sejak pagi ada saja yang menanyakan Mas yang sedang istirahat, bikin gemas saja," gerutunya. Dara menyeka air matanya kasar, seperti anak kecil yang sedang menjelaskan sesuatu pada ayahnya.
"Siapa memangnya?" tanya Yudanta di sela senyumnya yang mengembang karena Dara sedang mengerutu.
"Kata Kak Kale tadi kaki tangan Kakek, Mas. Pagi buta dia datang mencari Mas. Apa tidak ada waktu lain, mengganggu orang sepagi itu. Mungkin itu penting, tapi saat suasana berkabung seperti ini, dia terlalu memaksakan diri. Aku tidak suka dengan dia. Terlalu memaksa orang," jelas Dara.
Sejak semalam ada saja yang menanyakan Yudanta, namun Dara tetap dengan pendiriannya. Dia tidak ingin siapapun mengganggu waktu istirahat Yudanta. Bahkan saat itu hal penting, Dara tak peduli.
"Saat kau memaki orang dengan exspresimu seperti ini, mereka bukannya takut malah gemas." Yudanta mencubit pipi Dara gemas. Sikapnya memang berhasil membuat Yudanta tersenyum.
"Apa masih terasa sakit, Mas?" Dara mengalihkan pembicaraannya.
"Tidak. Aku akan mandi sebentar." Yudanta beranjak, namun langkahnya terhenti saat Dara memeluk tubuhnya.
"Mas tidak sedang menahan sesuatu? Jika Mas memendam sesuatu dariku, jangan salahkan aku, saat aku juga akan tertutup padamu," tutur Dara. Sekarang dia menghadapa Yudanta, dan membawa sang istri dalam pangkuannya, duduk di meja rias.
"Kau sedang mengancamku sekarang?" tanya Yudanta lembut dengan tangan mengusap punggung istrinya.
"Tidak. Aku hanya ingin Mas tidak menutupi apapun dariku. Setidaknya buat aku berguna saat aku hanya menjadi bebanmu. Aku memang tidak bisa membantumu, namun aku ingin Mas tidak menyimpan kesedihan itu sendiri. Aku bersama Mas." Dara melingkarkan tangannya pada Yudanta yang sedang mendengarkan apa yang istrinya katakan.
"Iya, aku akan mengatakan semuanya padamu. Jangan memikirkan aku untuk saat ini, yang terpenting kesehatanmu dan janin di perutmu." Yudanta mencium pelan bibir istrinya. Sikap hangatnya memang dia tunjukkan pada Dara, jarang sekali dia bisa marah pada Dara.
Karena kenyaman yang Yudanta dapat dari Dara, padahal sebenarnya dia hanya menempatkan dirinya pada Dara yang kurang kasih sayang dari orang tuanya. Dara mendapatkan penyiksaan dari kakaknya. Itu membuatnya nyaman bersama Dara, wanita malang yang Yudanta buat jatuh cinta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Budak Nafsu (Ketua Gangster)
Romantizm⭐️ jangan lupa Budayakan Follow dulu sebelum baca🥰 13/10/2023