Yudanta menghajar seseorang yang sudah tak sanggup lagi berdiri. Darah dinginnya tampak jelas saat dia bersikap biasa saja melihat lawannya babak belur.
Karena bantuan Leo, anak buah Galih mencabut laporannya atas tindakan yang Yudanta lakukan pada kakak iparnya. Kali ini Yudanta memuaskan dirinya pada orang yang membantu Galih untuk melaporkannya.
"Di mana Juan sekarang?" tanya Yudanta pada lawannya itu.
"Aku tidak tau karena ada yang menyembunyikannya. Aku hanya melakukan tugasku seperti permintaan Bos Galih," jelasnya pada Yudanta.
"Baguslah, kalau begitu kau tau apa yang akan kau dapatkan," jawab Yudanta.
"Ahhh!!!" Teriakan lawan Yudanta tak membuat Yudanta terus menggoreskan pisau yang dipegang di paha lawannya. Dia benar-benar sudah tak bisa menahan emosinya lagi. Keinginan untuk tenang, gagal saat semua orang menekannya menjadi Yudanta yang dulu. Berdarah dingin dan gila.
Tidak akan ada yang bisa menghentikannya? Apa yang dia lakukan menjadi harus untuk Yudanta Wijaya. Setelah puas dengan menghajar lawannya, Yudanta segera mencuci tangannya yang penuh darah. Melepas perban yang membalut tangannya. Dia menatap pantulan dirinya di cermin. Merasa dirinya menyedihkan, mengotori tangan dengan darah orang lain memang pekerjaannya dulu, setelah dengan Dara, hal itu berkurang. Namun, sekarang dia kembali lagi.
"Kompres tanganmu dengan ini," ucap Kale sambil menyodorkan es untuk sahabatnya.
"Terus cari Juan. Aku ingin kau mendapatkannya. Apa dia lari sendiri atau Galih yang menyembunyikannya. Dia akan menjadi bumerang untuknya, jika membiarkan Juan dibantu Galih," pinta Yudanta.
"Lalu kau akan ke mana sekarang?" tanya Kale.
"Aku harus menjadi boneka mereka. Jadi, aku selesaikan tugasku. Setelahnya aku akan pulang." Yudanta beranjak pergi dan masuk mobilnya. Janji tetaplah janji. Saat dia dibantu Leo untuk terbebas dari laporan itu, dia harus melakukan apa yang menjadi janjinya.
Hari itu Yudanta melakukan kegiatan seperti sebelumnya. Menjadi berandalan, walau dia tak ingin. Dia tetap harus melakukannya.
***
Beberapa bulan berlalu, perut Dara juga sudah tampak besar karena sudah 8 bulan tepat di minggu ini. Rasa mual dan juga pusing sudah tak dia rasakan lagi. Hanya saja berganti pada kondisi pinggangnya. Itu hal lumrah untuk wanita yang sedang hamil besar.
"Kau terlihat seksi dengan perutmu ini." Yudanta melingkarkan tangannya dan mengusap perut istrinya dari belakang.
"Mas sudah pulang," ujar Dara yang masih berdiri di depan cermin. Dia memegang tangan suaminya dan memainkan cincin kawin yang ternyata ada di hoodie yang Yudanta kenakan sebelum berbaring di samping Dara waktu itu.
"Apa hari ini jadi untuk keluar?" tanya Yudanta. Dia ada janji dengan Dara mau membeli beberapa perlengkapan bayi.
"Jadi, tapi bisakah hanya berdua saja tanpa mereka." Sejak saat itu, setiap Yudanta keluar pasti ada yang ikut bersamanya. Bukan lagi Brian dan Kale. Bodyguard akan menemani ke mana Yudanta pergi. Tak hanya itu, rumah Yudanta dengan ketat di jaga oleh beberapa penjaga yang memang Yudanta utus.
"Baiklah, tapi tetap dengan Kale dan Brian. Tak apa-apa kan?" tanya Yudanta.
Dara hanya menatap suaminya. Bisakah dia menolaknya saat mereka sudah menjadi paket komplit agar Yudanta tetap aman. Walau tak di ajak, mereka tetap akan mengikuti Yudanta.
"Bisa apa aku. Bagaimana Mas saja." Dengan perut yang sudah besar, Dara berjalan meninggalkan Yudanta yang masih ingin memeluknya.
Sore itu Dara dan Yudanta pergi ke salah satu tempat perbelanjaan. Memilih perlengkapan yang akan mereka beli. "Lebih baik pergi dengan Mbak Anggun, kalau seperti ini tetap saja tidak kencan berdua," gerutu Dara pada suaminya.
"Maafkan aku." Yudanta mencium punggung tangan Dara karena merasa bersalah karena Dara merasa tak nyaman.
Tapi mereka tetap mencari keperluan apa yang belum Dara beli kemarin bersama Anggun. Kali ini dia sengaja meminta Yudanta untuk menemaninya.
"Apa terasa lelah?" tanya Yudanta. Tangannya memegang perut Dara yang coba meluruskan pinggangnya dengan duduk.
"Tidak juga. Kita makan dulu sebelum pulang, apa Mas mau?" Yudanta menganggukan kepala pelan menjawab pertanyaan istrinya.
Mereka kemudian masuk di sebuah restoran. Ada beberapa orang yang datang bersama mereka berdua. Dan saat masuk, beberapa orang menatap ke arah mereka. Bagaimana tak aneh, jika mereka seperti pejabat saja yang di kawal beberap orang.
"Kenapa kau menekuk wajahmu seperti itu?" tanya Brian yang duduk satu meja dengan pasangan suami istri itu.
"Bolehkan aku jujur? Aku malu," gerutu Dara yang bicara sedikit berbisik pada Brian.
"Memangnya kenapa harus malu. Jangan membuatnya marah nanti." Brian menunjuk dengan menggerakkan matanya ke arah Yudanta.
"Benar juga. Sebaiknya kita cepat selesaikan saja," sahut Dara.
"Apa yang kalian bahas?" tanya Yudanta.
"Tidak ada. Hanya aku lupa lusa ada jadwal pemeriksaan. Sebaiknya aku pergi dengan Mbak Anggun saja," jelas Dara.
"Memangnya kenapa denganku?" tanya Yudanta.
"Tidak mau. Mas terus membawa bodyguard, Dara merasa tidak nyaman," jelasnya dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah cukup Kak Brian saja yang bawel tidak dengan mereka yang terus membuatku canggung," imbuh Dara.
Yudanta memegang tangan istrinya dan menatapnya. "Aku minta maaf, lusa biar aku yang mengantarkanmu sendiri tanpa mereka. Aku berjanji. Sudah jangan menangis." Yudanta menyeka air mata istrinya yang sudah jatuh.
"Melawan Ibu hamil satu ini akan sulit. Kau tau, kemarin dia mengerjaiku. Dia bilang ke Anggun untuk menunggu dan mencarikan mereka makan, nyatanya saat aku dengan susah payah mencarikan makanan itu, dia tidak memakannya," sahut Brian.
"Bukan aku yang mau, tapi Mbak Anggun. Apa salahnya mau jika dia sedang ngidam. Mas Yuda saja tidak pernah komplain, Kak Brian yang terlalu bawel," jawab Dara ceplas ceplos. Dia seperti tak takut jika Brian akan marah padanya.
"Ngidam apanya? Kau pikir Anggun hamil," timpa Brian.
"Lah ... memang Mbak Anggun sedang hamil 3 bulan. Apa yang salah? Kak Brian tak percaya padaku? Tanyakan pada Dokter kandungan yang juga saudara Mbak Anggun," jelas Dara.
"Kenapa dia tidak bilang padaku?" Ekspresi Brian tampak terkejut. Apa benar yang dia dengan, itu pikirnya.
"Mbak Anggun takut saja Kak Brian malah menyuruh menggugurkannya," sahut Dara.
"Kau gila jika melakukan itu Brian," timpa Yudanta.
"Tidak. Aku tak akan melakukan itu, hanya saja aku--" Brian tampak ragu dengan apa yang akan dia katakan.
"Apa kau belum siap?" Kale memotong obrolan mereka.
"Apa yang membuatmu tidak siap. Anggun setia padamu. Apalagi yang kau cari, Brian?" Yudanta menyayangkan jika Brian memang belum siap saat Anggun sangat cinta padanya.
"Bukan begitu, hanya saja, pekerjaan seperti ini hanya akan membahayakan dirinya," jawab Brian.
"Itu bukan alasan. Kau saja yang belum siap," imbuh Yudanta.
"Benar. Apa kau ingin aku yang menjadi Bapak dari anak yang Anggun kandung?" Pertanyaan Kale membuat Brian menatapnya. Jujur saja dia belum memikirkan tentang keseriusan, tapi jika Anggun sudah hamil mau bagaimana lagi, itu pikir Brian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Budak Nafsu (Ketua Gangster)
Romance⭐️ jangan lupa Budayakan Follow dulu sebelum baca🥰 13/10/2023