73

547 17 0
                                    

Yudanta menatap tak percaya seseorang yang dia lihat sudah terbujur kaku di atas persemayamannya. Dia tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang sedang tak baik saat pergi memastikan jika kakeknya benar sudah tiada.

Para sahabatnya datang bersama. Dara juga ikut, Yudanta sejak tadi tak melepas genggaman tangan istrinya. Berita kematian sang kakek membuatnya tak percaya. Saat ambisi dikalahkan oleh kematian, apapun bisa ditinggalkan. Harta yang sang kakek miliki pun tidak dia bawa mati.

"Tuan muda," panggil pengacara yang menjadi kepercayaan Kaito.

"Kau yakin kematiannya murni karena penyakit yang dia derita?" Pertanyaan Yudanta syarat akan maksud. Dia berpikir ini ulah Galih yang berharap Kaito mati agar harta kekayaannya jatuh kepada dirinya.

"Hasilnya belum keluar. Nanti jika sudah, saya akan tunjukkan pada Anda," jawabnya.

Walau tidak meneteskan sebutir air mata pun, ada perasaan kehilangan dalam diri Yudanta. Bagaimana tidak, jika hanya kakeknya yang dia miliki. Hubungan dengan sang kakek memang tidak berjalan baik. Bukan berarti dari kecil Kaito memperlakukannya dengan buruk. Yudanta dulu menjadi kesayangan, sampai dia membangkang. Itu sebabnya Yudanta selalu diperlakukan keras oleh kakeknya.

Saat banyak tamu yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir, Yudanta hanya diam saat pengacara kakeknya menjelaskan apa saja yang menjadi miliknya. Dia tak menjawab, ataupun bicara apapun. Dara sendiri tak jauh darinya.

"Mas, sebaiknya Mas istirahat," bujuk Dara.

"Pulanglah bersama Kale. Kau akan lelah di sini, aku akan segera pulang setelah urusan di sini selesai," jawab Yudanta.

"Dara ingin tetap di sini," sahutnya. Dara tak tega melihat suaminya sendiri. Walau sikap kakeknya tidak baik, tapi dia kehilangan.

Ucapan yang pernah keluar dari mulutnya membuat Yudanta berpikir. Apa ini yang dia mau? Tapi kenapa dia merasa kehilangan saat kakeknya benar-benar pergi.

"Yuda, kau baik-baik saja?" Kale segera menghampiri Yudanta yang hampir terjatuh sebelum dia memegang dinding di sampingnya.

"Bawa Dara pulang. Aku selesaikan di sini. Semakin banyak yang datang. Aku tidak mau mereka melihat Dara, Juan mungkin saja akan datang," jelas Yudanta. Jujur saja tubuhnya sedang tidak baik, tapi dia tetap ingin menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya.

"Kau sedang tidak baik. Sebaiknya kau istirahat, jangan terus memaksakan dirimu. Aku cukup diam saat kau membuat dirimu babak belur karena Juan, tidak untuk sekarang. Kau--"

"Apa maksud Kak Kale, Kak Juan yang membuat Mas Yuda terluka seperti sekarang?" Dara yang tak sengaja mendengarkan obrolan mereka langsung memotong ucapan Kale.

"Pulanglah bersama Kale. Jangan membantah ataupun minta penjelasan sekarang. Aku tidak ingin kau di sini lebih lama," sahut Yudanta sebelum istrinya meminta kejelasan padanya. Kepalanya cukup sakit untuk berdebat dengannya.

"Tapi, Mas--"

"Dara!! Haruskah aku mengatakannya lagi?" Sorot mata Yudanta seperti tak ingin bantahan dari Dara.

Dara berjalan lebih dekat dengan Yudanta dan berdiri di sampingnya. "Aku tak akan ke manapun sampai prosesi pemakaman ini selesai," tegas Dara dan langsung berjalan pergi.

Yudanta hanya memejamkan mata sambil menghela nafas dengan ucapan Dara. "Dia keras kepala," ujar Yudanta.

"Bukankah kalian sama," timpa Kale.

Hari ini, menjadi hari berkabung untuk Yudanta atas kepergian kakeknya. Dan hari itu juga, dia melakukan prosesi pemakaman lebih cepat. Tidak ada yang perlu di tunggu lagi. Hanya akan membuat Yudanta semakin merasa bersalah. Dia sudah pastikan Kaito memang tiada, di dalam peti mati itu memang jasad kakeknya. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat prosesi pemakaman dari awal sampai akhir.

Di balik kaca mata hitamnya, Yudanta terus menatap ke arah gundukan makam yang penuh dengan bunga. Hanya beberapa orang yang ikut memakamkan Kaito, tidak seperti di rumah duka, kolega dan juga teman lain datang.

"Tidak bisakah kau jelaskan hal itu besok saja? Istriku menunggu di mobil. Dia sedang hamil, kasihan jika dia kelelahan. Kumpulkan mereka dan kau bisa jelaskan di hadapan mereka semua. Tolong beri aku waktu," jelas Yudanta pada pengacara kepercayaan kakeknya.

Setelah prosesi pemakaman, pengacara tersebut ingin Yudanta membicara tentang rencana sang kakek yang sudah dia wasiatkan pada pengacara itu.

"Kita pulang sekarang," pinta Yudanta pada Kale yang memang mengemudikan mobilnya.

Tanpa peduli dengan Dara yang ada di sampingnya, Yudanta hanya memejamkan mata. Tubuhnya sudah sangat lelah setelah seharian menjalankan prosesi pemakaman.

Dara menatap sang suami, sikapnya memang keras kepala, tapi dia hanya tak ingin suaminya sendirian. Perlahan Dara menggenggam tangan kiri Yudanta, dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. Sesekali mencium singkat tanpa bicara apapun.

Di balik kacamata itu, air mata Yudanta jatuh begitu saja setelah seharian dia tahan. Dara membirakan suaminya untuk meluapkan kesedihannya. Bagaimanapun yang tiada adalah kakeknya. Keluarga yang dia miliki.

"Aku yang jahat sekarang. Aku berharap kakekku mati, dan sekarang itu terjadi. Bukankah aku memang cucu yang tidak tau diri," ucapnya dengan air mata yang masih mengalir di balik kacamata hitam yang dia kenakan.

"Mas ...."

Kepala Yudanta tertunduk saat dia tak bisa lagi menahan tangsinya yang terus mengalir membasahi pipinya. Dara segera memeluk tubuh suami yang menangis atas kepergian kakeknya.

Jika sudah seperti ini, semua yang Kaito miliki ataupun kerjakan berpindah tangan pada Yudanta. Tinggal dia mau melanjutkan bisnis itu atau tidak, ketika Dara berharap hidup dengan tenang. Dia memiliki tanggung jawab, seperti yang selalu dituntutkan padanya atas apa yang dikerjakan seoama ini.

"Semua akan berubah. Bisakah aku menepati janjiku padamu? Bolehkah aku meletakkan beban ini dan pergi. Aku tidak mau menanggung beban besar ini," ujar Yudanta.

Belum juga selesai pemakaman Pengacara kepercayaan Kaito sudah berharap dia mengurus atau menjelaskan apa yang menjadi tanggung jawab Yudanta.

"Maafkan aku, Dara. Tolong maafkan aku yang tak bisa lari. Aku terlalu lemah untuk pergi dari beban ini," ucap Yudanta lagi. Dia masih dalam pelukan Dara yang mengerti apa yang Yudanta maksudkan. Jika seperti ini pilihannya Yudanta akan hancur atau bahkan mati, jika dia memilih mundur. Karena hanya dia yang ditunjuk kakeknya. Tapi jika dia menjalankan apa yang sudah kakeknya bangun selama ini, dia yang akan kehilangan Dara. Pekerjaan yang dia lakukan bukan hal yang mudah.

"Bukankah aku bersamamu, Mas. Tak perlu khawatir tentang itu, Mas. Aku akan baik-baik saja selama dengan Mas. Lakukan apa yang menurut Mas baik. Aku selalu mendukung keputusan Mas. Aku bersamamu." Dara menatap suaminya yang berlinang air mata. Bimbang dan takut sedang menghantui Yudanta. Dia harus memiluh dengan tepat. Akan ada resiko setiap keputusan yang dia ambil. Dan keputusan itu akan membuat Yudanta mengorbankan Dara.

"Ini sulit. Ini tidak semudah seperti yang kau bayangkan. Aku saja ragu dengan pilihanku, tapi aku berusaha untuk melindungimu dan juga mempertahankan bisnis ini. Tidak apa-apa kan? Setidaknya biarkan aku membereskan apa yang belum selesai." Yudanta menatap istrinya dengan penuh arti. Dia harus memilih, dan pilihan itu harus Dara lakukan juga.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang