Dara berhasil terlelap setelah Yudanta memanggilkan Dokter yang sebelumnya memeriksa Dara, yang juga teman Anggun agar membantu istrinya lebih tenang. Bagaimana bisa, Dara berpikir ingin membunuh Juan ketika Leo menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Walau belum pasti, tapi dia sempat berpikir alasan orang tuanya meninggal juga karena kakaknya.
"Ini bukti itu?" tanya Yudanta saat Leo memberikan bukti yang dia maksud.
Juan dengan tega membunuh orang tuanya 6 tahun lalu, hanya karena hutang yang dia gunakan untuk foya-foya. Entah hal gila apa yang terbesit dalam otak Juan saat hutang yang harusnya tanggung jawabnya, menjadi orang tuanya yang bertanggung jawab. Bahkan Dara juga diperlakukan sama oleh Juan. Menjadikan Dara sebagai taruhan.
"Batalkan pertemuanku. Ini kau yang memulai, jadi atur sendiri. Aku tak bisa membiarkannya sendiri," tegur Yudanta.
"Maafkan saya, Tuan. Saya akan lebih menjaga lisan," ucap Leo.
Yudanta mengecek beberapa berkas yang katanya bukti dari kematian orang tua Dara. Sebuah kebenaran membuat sang istri bisa menginginkan kematian kakaknya karena rasa kecewa. Memang tidak ada yang salah, hanya saja Dara kasihan jika harus terus diganggu oleh Juan.
"Kau memanggilku?" tanya Kale yang baru datang.
"Bisa pastikan masalah ini. Aku ingin kau mencari kebenarannya." Bukan Yudanta tidak percaya dengan apa yang Leo berikan, tapi berhati-hati itu lebih baik daripada mudah percaya.
"Baiklah. Apa terjadi sesuatu?" tanya Kale.
"Entahlah, kapan masalah ini bisa selesai." Yudanta meneguk Wine yang ada di hadapannya. Seperti sudah biasa saat Yudanta meneguk minuman alkohol semacam itu.
"Dan ya, pastikan Juan tidak menemui Dara. Jangan beri cela sedikitpun," imbuh Yudanta.
Tentang surat dari sang kakek, dia tidak habis pikir jika ternyata selama ini Kaito hanya mempelakukan Yudanta kasar karena dia ingin membiasakan cucunya. Terdengar lucu, tapi itulah yang terjadi. Seperti tidak menyukai, nyatanya apa yang dia miliki berpindah tangan pada dirinya. Entah itu benar atau salah, karena saat ini Kaito memiliki urusan yang belum dia selesaikan. Itu artinya Yudanta yang harus menyelesaikannya.
***
"Anda mau ke mana, Nona?" Suara seorang pelayan membuat Yudanta yang sedang bicara dengan Brian di telepon segera menatap ke arah tangga saat melihat Dara yang berjalan keluar rumah.
"Mau ke mana?" tanya Yudanta yang berjalan menghampiri Dara.
"Ingin bertemu dengan Juan," jawabnya. Padahal baru juga Dara tenang, namun beberapa jam istirahat dia kembali ingat tentang bertemu kakaknya.
"Kembali ke kamarmu sekarang," pinta Yudanta dengan lembut.
"Tidak, Mas. Biarkan aku sekali saja bertemu dengannya," ujar Dara tak peduli suaminya akan marah.
Dara berjalan melewati Yudanta yang masih berdiri mencoba untuk tenang. "Aku tidak akan mengulangi ucapanku. Kau masuk ke kamar sekarang atau aku harus menggedongmu agar tidak pergi? Darapuspita!" Dengan tegas Yudanta berbalik badan menghadap Dara yang kembali menghentikan langkahnya. Sorot mata Yudanta terlihat jika dia sedang tidak mau di bantah. Tapi dia tidak membentak, dia masih berusaha tenang. Apalagi Yudanta memanggil nama istrinya dengan lengkap, itu tidak pernah Yudanta lakukan.
"Lalu haruskah aku hanya diam saat mengetahui kebenaran tentang kematian orang tuaku?" tanya Dara.
"Apa itu memang benar? Aku bahkan tak mempercayainya. Aku akan mencaritahu apa yang terjadi itu benar atau tidak, jadi tak perlu terburu-buru. Jikapun Juan yang merencanakan ini, apa yang ingin kau lakukan? Apa kau ingin kakakmu itu menghajarmu? Kau tak ingat dengan yang ada di perutmu? Katakan padaku, apa yang kau inginkan saat itu memang rencana kakakmu?" Yudanta berjalan mendekati istrinya, dia tau ini berat untuk Dara tapi berurusan dengan pria gila seperti Juan tidak dengan mudahnya.
"Apa aku akan membiarkanmu untuk mengotori tanganmu dengan darah Juan? Apa dengan membunuhnya kau merasa lega? Apa begitu?" Kembali Yudanta menanyakan alasan Dara yang dia saja tak tau apa yang ingin dia lakukan.
Perlahan Yudanta membawa Dara dalam pelukannya. Dan seketika itu juga Dara menangis dalam pelukan suaminya. Apa yang ditanyakan memang tidak mungkin Dara lakukan. Gadis lemah sepertinya bisa apa. Dia hanya akan membuatnya semakinnya lemah.
"Aku mohon untuk sekarang pikirkan kondisimu dulu. Apa kehamilanmu tidak penting untukmu. Urusan kakakmu biar Leo yang mengurusnya. Aku sendiri masih mencari kebenaran akan hal itu. Jangan mudah percaya dengan apa yang orang lain katakan, kau harus mencaritahu dulu. Meskipun itu aku yang bilang, kau tetap harus memastikannya," jelas Yudanta.
"Maafkan aku, Mas," tutur Dara yang masih menangis.
"Sebaiknya kau istirahat, jangan pikirkan hal ini lagi. Tolong untuk peduli dengan kehamilanmu. Entah apa yang akan aku lakukan jika sesuatu terjadi pada masa kehamilanmu kali ini," ucap Yudanta. Dia menatap wajah istrinya dan menyeka dengan lembut air mata di pipinya.
"Apa masih terasa sakit? Dokter bilang kau harus ke rumah sakit jika masih kram," imbuh Yudanta.
"Tidak. Maaf, Mas. Moodku benar-benar tidak baik."
"Sudahlah, jangan menangis lagi. Ibu hamil bebas mengutarkan pendapat, apalagi memaki orang yang menururtnya tidak nyaman di hati. Haruskah aku mendengarkan apa unek-unek isi hatimu?" Pria sebaik Yudanta memang sangat jarang. Dia sudah tampan, bertubuh kekar, sikapnya memperlakukan sang istri akan membuat wanita lain iri pada Dara karena beruntung menjadi istrinya.
"Bisakah Mas mengantarku ke makam Ayah dan Ibu?" tanya Dara.
"Tentu bisa, tapi tidak sekarang ya. Lusa saja. Aku tidak mau kau memaksakan diri dan membuat perutmu kram lagi," jelas Yudanta.
"Baiklah." Dara menggangguk mengerti dengan apa yang Yudanta katakan.
Walaupun otak Yudanta sedang memikirkan banyak hal, tapi Dara yang penting untuknya. Dia tidak bisa mengatakannya pada Dara, meski dia berjanji untuk lebih terbuka. Karena Dara belum siap untuk mendengarkan hal yang tidak biasa dia lihat.
"Mas," panggil Dara saat mereka berada di teras belakang sambil menikmati hujan gerimis yang turun dari tempatnya duduk. Yudanta hanya memejamkan mata, dengan otak yang terus berpikir.
"Apa Mas masih sering bermimpi gadis kecil itu?" tanya Dara.
"Hanya sesekali saja, ada apa?" Yudanta bertanya balik.
"Tidak apa-apa. Mungkin karena cerita Mas, aku jadi ikut mimpi bertemu dengannya, namun dia tak mau pergi bersamaku. Apa itu artinya dia membenciku? Apa aku akan menjadi Ibu yang buruk? Karena aku bayi kita pergi." Dara berpikir gadis kecil yang dia impikan adalah putrinya. Usia kandungannya sudah 4 bulan saat harus di angkat karena penganiayaan yang diterima Dara.
"Kau itu bicara apa. Jika kau merasa Ibu yang buruk, lalu bagaimana denganku? Aku juga tak bisa menjagamu dengan baik," jawab Yudanta.
"Bagaimanapun kau harus tumbuh dengan sehat ya, Nak." Dara memegang tangan Yudanta dan meletakkan di perutnya. Mengusap pelan perut Dara yang terlihat sedikit buncit, hanya sedikit. Di usia sekarang, Dara kehilangan calon bayinya dulu. Itu membuatnya ingat tiba-tiba, apalagi tadi dia bermimpi bertemu seorang gadis kecil yang tak mau dengannya.
"Semua akan baik-baik saja. Aku tak akan membiarkanmu celaka. Aku bersumpah akan selalu bersamamu," ujar Yudanta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Budak Nafsu (Ketua Gangster)
Roman d'amour⭐️ jangan lupa Budayakan Follow dulu sebelum baca🥰 13/10/2023