"Yuda!!" Brian yang menatap Yudanta terjatuh saat akan berdiri segera menghampirinya.
Tubuh Yudanta terkulai lemas di atas sofa yang dia duduki. "Kalian akan terus berdebat? Lakukan apa yang kalian mau, aku--" Tubuhnya tak kuat menahan rasa sakit, dengan Brian yang ada di sampingnya dia berakhir pingsan.
Segera Brian coba menghubungi Dokter untuk Yudanta yang tak sadarkan diri. Kepanikan terjadi seisi rumah karena Yudanta. Segera beberapa anak buah membawa Yudanta ke kamarnya agar bisa istirahat di sana. Anggun juga ikut khawatir dengan kondisi sahabatnya itu. Dia tak memperdulikan kondisi Yudanta yang sedang sakit, dia memikirkan masalahnya.
"Sudahi permintaan gilamu. Dia sedang sakit hanya untuk bertemu denganmu. Dan kau ingin dia bertanggung jawab atas perbuatanku. Tolonglah, sayang, maafkan aku," ucap Brian saat dia menunggu di depan kamar Yudanta yang sedang diperiksa oleh dokter.
"Tensinya turun, biarkan cairan infus itu habis. Jangan biarkan dia pergi sebelum cairan infus itu benar-benar habis," tutur Dokter pada mereka saat baru keluar kamar Yudanta.
"Apa tidak ada yang membahayakan, Dok?" tanya Anggun. Dia merasa bersalah saat melihat Yudanta dengan kondisi tidak sehat menyempatkan untuk menemuinya.
Anggun bahkan tak memperdulikan Brian yang coba meminta maaf padanya. Rasa khawatir itu membuat Anggun fokus pada Yudanta.
"Kalau ada apa-apa, bawa dia ke rumah sakit. Aku sudah memberikan obat untuknya. Dia harus lebih banyak istirahat," jelas Dokter.
"Baik, Dok. Aku akan sampaikan padanya nanti," sahut Anggun.
Mereka kemudian masuk kamar Yudanta yang terlelap dengan selang infus dilengan kirinya. Dia tampak pucat, dia memforsir tubuhnya karena ulah Dilla.
***
Pukul 10 malam, Yudanta mulai membuka mata setelah tidur panjangnya karena pingsan. Dia menatap jam di dinding sebelum coba untuk duduk. Menatap infus yang menancap di lengannya. Dia ingat akan ke rumah sakit, tapi dia malah tertidur dengan kondisi yang tidak baik. Jahat untuk Dara saat sang suami tidak ada di sampingnya, padahal dia sangat membutuhkan sang suami.
"Kau mau ke mana?" tanya Brian saat berpapasan Yudanta di tangga.
"Aku ingin ke rumah sakit," jawab Yudanta. Dia bahkan melepaskan infusnya begitu saja.
"Sudahlah, sebaiknya kau istirahat. Kondisimu sedang tidak baik," sahut Brian.
"Tidak. Aku tetap ingin pergi." Yudanta turun sambil mengenakan jaketnya dan berjalan melewati Brian. Tak ingin tanya bagaimana Anggun karena pikirannya ada Dara yang pasti menunggu.
"Sudah ada Anggun di sana. Sebaiknya kau kembali ke kamarmu. Bukankah kepalamu terasa sakit?" Brian menghalangi Yudanta agar tidak pergi.
"Kau sudah menyelesaikan masalahmu? Apa Anggun masih ingin aku menikahinya?" tanya Yudanta.
"Entahlah, tapi dia sedang bersama istrimu dan Kale di rumah sakit. Jangan anggap permintaan Anggun, aku yang terlalu bodoh. Maafkan aku," tutur Brian. Setelah melihat kondisi Yudanta, Anggun merasa bersalah atas permintaan yang asal dia ucapkan karena kekecewaannya pada Brian.
"Aku harap ini tidak akan terjadi lagi. Kesalahan ini bukan karena dirimu saja, karena aku juga. Tapi aku tetap ingin pergi menemui anak dan istriku sekarang. Walau kau melarangku," ucap Yudanta. Dia bersikeras pergi, dengan Brian yang mau tidak mau harus mengantarkannya.
Mulut Brian memang keras, tapi dia menyesali apa yang dia katakan pada Anggun. Melihat Dara dan Yudanta menggendong bayi mereka, membuatnya terenyuh. Dia juga akan merasakan hal yang sama, namun bukannya menerima dengan baik. Dia malah melukai hati Anggun.
Kebenaran memang sudah terungkap, akan tetapi apa yang Brian katakan perlu diperbaiki. Tentang ucapan Anggun ingin berpisah darinya, dia tidak bisa memaksa karena ini juga salahnya.
Sebelum pergi ke ruang rawat istrinya, Yudanta melihat ke ruang bayi. Di sana ada anaknya yang terlelap begitu menggemaskan. Ingin sekali dia menggendongnya, namun tidak akan mungkin karena sudah terlalu malam.
"Kenapa belum tidur? Maaf aku baru datang," jelas Yudanta pada sang istri yang menatapnya sedih karena wajah pucat suaminya.
Anggun dan Kale sedang di luar saat Yudanta masuk. Membiarkan Dara dan suaminya berdua. Apalagi sudah begitu malam.
"Mas sedang sakit, harusnya Mas di rumah saja. Aku baik-baik saja di sini bersama Mbak Anggun dan Kak Kale," jawab Dara.
"Tidak. Aku meninggalkanmu saat kondisimu belum stabil. Aku merasa bersalah. Aku juga tidak apa-apa." Yudanta mencium punggung tangan Dara. Dia terbangun saat mendengar ada yang membuka pintu ruang rawatnya. Dia sengaja menunggu Yudanta sampai tertidur.
"Kemarilah, berbaring di sampingku." Tanpa penolakan, Yudanta naik dan berbaring di samping Dara.
"Apa tidak sakit?" tanya Yudanta saya istrinya itu coba untuk posisi menyamping dan memeluk sang suami.
Dara menggeleng pelan. Dia mempererat pelukannya pada sang suami dan dibalas oleh Yudanta dengan mencium keningnya.
"Aku dengar Mbak Anggun ingin Mas nikahi. Apa itu benar, Mas?" tanya Dara dengan senyum tipis mengembang. Dia bukan marah, hanya menggoda suaminya saja.
"Apa dia mengatakan itu padamu? Entahlah, aku tak bisa berpikir panjang saat kepalaku terasa sakit. Apalagi dia sangat keras kepala, dan dia tidak memahami apa yang aku katakan. Daripada dia membunuh calon bayinya yang tidak berdosa kan. Memangnya boleh aku menikahinya?" Yudanta bertanya seakan apa yang Dara tanyakan serius.
"Jika begitu memang benar apa yang pernah Mbak Anggun katakan, jika dia menyukai Mas." Dara menatap sang suami yang menatapnya juga.
Senyum manis mengembang dibibir Yudanta. "Aku pikir Brian yang akan menikahinya. Bukan diriku. Jika aku menikahi Anggun bukankah sama artinya aku membunuh diriku sendiri. Apa yang Anggun katakan sebelumnya hanya bercanda, sayang. Oh ya, apa dia bilang jika menggugurkan kandungannya?" tanya Yudanta.
"Tidak, Mas. Kondisi janin nya baik-baik saja. Tadi Dokter sudah mengeceknya. Dia begitu kesal dengan Kak Brian yang dilema saat jawabannya sudah pasti dia pilih," ucap Dara.
"Jika bukan karena wanita ular itu, semua tidak akan terjadi. Aku harap kau tidak percaya pada orang yang coba menghasutmu. Ada seorang wanita yang ingin menghancurkan persahabatanku, dan juga ingin mencelakai keluargaku. Aku harap kau bisa berhati-hati lagi, jangan mudah percaya," jelas Yudanta. Dia tak ingin menutupi siapa Dilla dari istrinya. Dengan kondisinya sekarang dan masalah yang datang karena Dilla. Dia tak ingin korban Dilla selanjutnya adalah Dara. Lebih baik mengatakannya daripada coba menyembunyikan, dan berakhir masalah seperti Brian.
"Iya, Mas. Sudah cukup untukku tak mempercayaimu dulu. Aku sudah sangat yakin dengan cintamu, karena kau melindungiku. Maafkan aku tidak bisa menjadi istri yang baik untukmu, aku mencintaimu, Mas," tutur Dara.
"Aku juga mencintaimu." Yudanta mencium ujung kepala Dara. Sosok wanita yang ada bersamanya sekarang adalah harta paling berharga untuknya. Dia tidak pernah menyesal dengan masalah yang silih berganti datang padanya. Asal Dara ada bersamanya, itu sudah cukup untuknya.
Masalah Brian dan Anggun sudah mereka selesaikan, dan itu semua karena Dilla. Wanita ular itu membuat kekacauan karena tidak mendapatkan apa yang dia minta pada Yudanta.
Tugas Yudanta sekarang bahagia dengan keluarga kecilnya apalagi ada bayi kecil menggemaskan yang hadir di tengah-tengah mereka. Menjadi Ketua Mafia menggantikan kakeknya itu memang berat, namun dia memiliki kuasa dan juga kemampuan untuk menyingkirkan Dilla bagaimana pun caranya. Dara menjadi kekuatan untuknya walau apa yang dia miliki sekarang, sangat ingin dia tinggalkan. Mungkim tetap menjadi Ketua Mafia akan membuat keluarganya aman. Kecerobohan yang terjadi sebelumnya membuat dia sadar jika dia harus tetap menjalani ini semua.
Enak gak kalo endingnya dibuat begini?
Apa terpecahkan masalahnya semua?
Niatnya pengen cerita panjang sih, tapi sepertinya tidak menarik ya?Maaf ya
😊

KAMU SEDANG MEMBACA
Budak Nafsu (Ketua Gangster)
Romance⭐️ jangan lupa Budayakan Follow dulu sebelum baca🥰 13/10/2023