59

645 28 3
                                    

"Ah!" Yudanta merintih saat merasa kepalanya yang terasa pening saat baru membuka mata. Tangan kirinya terbalut perban karena pergelangannya patah.

Yudanta coba untuk bangun dan berjalan mencari Dara di kamarnya, namun dia tidak melihat istrinya di kamar. Dengan langkah tertatih, Yudanta pergi keluar rumah. Terlihat Dara sedang bersama putri Agung dan dua sahabatnya. Tanpa ingin mengganggu, dia duduk di teras menatap mereka. Ingatan tentang ucapan Galih tergambar jelas dalam benaknya. Haruskah dia pulang? Apa ini bukan jebakan untuk Yudanta saat anak angkat kakeknya meminta pulang.

"Kau sudah bangun? Kau memerlukan sesuatu?" tanya Kale saat melihat Yudanta ada di belakangnya.

Dara kemudian menoleh ke arah Yudanta yang tersenyum padanya. Tanpa banyak bicara, Dara langsung memeluk tubuh suaminya.

"Aku baik-baik saja. Apa ada yang terluka padamu?" tanya Dara dan mendapatkan gelengan kepala pelan dari suaminya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Dara.

"Maafkan aku sebelumnya, tapi bisakah kita kembali ke Jakarta," tutur Yudanta.

"Hari ini?" tanya Dara terkejut. Brian dan Kale tidak menceritakan dengan jelas apa yang terjadi pads Yudanta.

"Ya, hari ini kita pulang."

"Kau yakin akan pulang?" tanya Brian.

"Ya, tapi aku ingin kau menyembunyikan Dara sampai urusanku selesai." Jawaban Yudanta membuat sang istri menatap khawatir.

"Mas mau ke mana?" tanya Dara.

"Sudah, sebaiknya kita bersiap. Biarkan dia bersamaku." Tanpa menjawan pertanyaan Dara, Yudanta menggendong putri Agung dan berjalan ke rumahnya. Membiarkan Dara bersiap.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Dara pada Kale dan Brian.

"Aku tidak tau. Dia tidak mengatakan apapun kemarin. Dia hanya meminta kita menjemputnya dan tidak ada obrolan setelahnya karena dia mabuk," jawab Kale.

"Aku akan bicara padanya. Kalian bersiaplah seperti keinginannya." Brian menyusul Yudanta yang berjalan keluar dari rumahnya. Dia yakin sahabatnya itu memiliki rencana, tapi entah apa itu.

Dara terdiam. Dia tidak bisa memaksa Yudanta mengatakan apa niatnya, itu sebabnya dia memilih untuk menuruti apa yang Yudanta mau.

"Tanganmu tidak apa-apa?" tanya Agung pada Yudanta yang sedang duduk di sampingnya.

"Bisakah aku minta padamu, jika nanti aku tidak selamat. Biarkan istriku di sini dan jaga dia," tutur Yudanta.

"Jangan asal bicara. Sebenarnya apa yang kau rencanakan? Apa mereka meminta nyawamu untuk itu?" tanya Agung.

"Apalagi yang mereka mau. Biarkan saja aku mati asal istriku tidak. Aku mau kau menjaganya."

"Kau semakin tertutup dengan masalahmu. Apa kau tidak menganggap kita sahabatmu?" Brian yang sejak tadi mendengar obrolan Yudanta dan Agung menyela obrolan mereka.

"Aku hanya tak ingin kalian terseret dalam masalahku. Jika kau menganggapku seperti itu terserah kau saja," jawab Yudanta. Sikapnya sudah lagi tak sama. Yudanta lebih tertutup setelah kejadian setahun lalu. Kehilangan calon bayinya menjadi pukul terberat untuk Yudanta, apalagi penyebab kehilangan calon bayinya karena dia.

"Kau pikir sahabatmu hanya akan diam saja. Apa gunanya pertemanan ini jika kau semakin menjaga jarak dengan kita. Apa kau mau kita tidak merepotkanmu?" tanya Brian.

"Sudahlah, jangan terus membahasnya. Bersiap saja untuk pulang sekarang." Yudanta beranjak dan berjalan meninggalkan Brian yang sedang bicara padanya.

Brian yang tak terima dengan jawaban Yudanta langsung menghalangi jalan sahabatnya. Yudanta sendiri hanya menghela nafas melihat sahabatnya.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi jika kau hanya akan melukai dirimu," ucap Brian.

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Mengorbankan istriku untuk keselamatan diriku? Apa aku harus melakukan itu?" tanya Yudanta. Dia menatap nanar wajah Brian yang tidak membiarkan sahabatnya celaka, apalagi Yudanta semakin tertutup pada mereka.

"Aku tidak ingin berdebat. Kepalaku cukup sakit sekarang, aku tidak ingin terus membuatnya semakin sakit," jawab Yudanta.

Brian gagal untuk bicara pada Yudanta. Hari itu juga mereka segera kembali ke Jakarta, setelah berpamitan dengan Agung dan istrinya. Yudanta banyak diam. Dia langsung memejamkan mata saat berada di pesawat. Harapannya gagal saat Galih mengancamnya agar melakukan apa yang menjadi kemauannya.

Kaito sendiri sedang sakit keras, itu artinya Yudanta akan menjadi pewaris tunggal harta kekayaan sang kakek. Sayangnya, malah dia dijadikan sebagai alat agar kekayaan Kaito jatuh ke tangan Galih.

Dengan kacamata yang dikenakan dan topi yang sedikit menutupi wajahnya, Yudanta berjalan keluar Bandara dengan menggandeng tangan Dara. Dia seperti seorang CEO muda, apalagi Yudanta tampak berwibawa.

"Kalian sudah datang. Apa perjalanannya berjalan lancar?" tanya Anggun yang sengaja menjemput mereka.

Tidak banyak bicara ataupun memberi sapaan pada Anggun, Yudanta hanya berjalan ke arah mobil. Dara memeluk Anggun setelah Yudanta melepaskan genggaman tangannya.

"Apa kabar, Mbak? Maaf merepotkanmu," tutur Dara pada Anggun.

"Kabarku baik. Sebaiknya kita pulang. Sebelum dia semakin marah," jawab Anggun.

Sampailah mereka di rumah Yudanta yang dia tinggalkan setahun ini. Walau begitu rumahnya tampak rapi dan bersih, karena memang masih di urus dengan baik.

"Kau sudah siapkan apa yang aku minta?" tanya Yudanta saat bertemu dengan salah satu penjaga rumahnya.

"Sudah, Tuan. Ada di garasi. Sudah saya siapkan seperti kemauan Anda," jawabnya.

Mendengar itu, Yudanta berjalan masuk. Dia ingin segera bersiap dan bertemu dengan Galih. Ingin segera menyelesaikan apa yang Galih mulai saat dia memilih pergi, bukan berarti dia aman.

"Mas--" Dara menghampiri Yudanta yang ada di kamar. Dia sedang mengikat pergelangan tangan kirinya erat agar tidak terasa sakit. Dia seperti sedang bersiap. Dia juga bertelanjang dada, duduk di tepi tempat tidur.

"Mas mau ke mana?" Dara berdiri tepat di hadapan Yudanta yang banyak diam sejak tadi. Dia tak takut jika nanti Yudanta akan marah padanya.

Yudanta melingkarkan tangannya pada tubuh istri dan menyembunyikan kepalanya pada perut Dara, yang kemudian mendapatkan belaian lembut dari Dara.

"Mas mau ke mana? Tidak bolehkah Dara tau? Jangan membuatku takut dengan apa yang akan Mas lakukan," tutur Dara. Dengan posisi yang sama, Yudanta masih memeluk tubuh istrinya tanpa ingin menjawab.

"Mas ...."

"Aku memiliki filling jika kau sedang hamil. Apa kau sudah mengeceknya? Bukankah bulan ini kau tidak mendapat tamu bulanan," ucap Yudanta. Dia mengalihkan pembahasan Dara mengenai dirinya.

"Mas ...," panggil Dara dengan menatap Yudanta yang menatapnya.

"Aku berjanji untuk melindungimu. Aku tidak mau siapapun menyakitimu lagi, siapapun itu. Tidak ada yang berhak melukai dirimu," jelas Yudanta.

"Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Mas terluka, dan ingin pulang tanpa menjelaskan apapun padaku atau pada mereka. Mas tidak bisa memikul beban itu sendiri, kita ada bersama Mas," pungkas Dara. Matanya sudah berkaca-kaca menatap wajag memar suaminya.

"Jangan menangis. Aku hanya akan menyelesaikan apa yang menjadi masalah ini. Aku tidak mau terus terganggu dengan hal semacam ini," ucap Yudanta.

"Memangnya apa? Siapa yang membawaku kemarin. Apa mereka memaksa Mas untuk melakukan sesuatu?"

Bukannya menjawab, Yudanta membuat Dara duduk di pangkuannya dan mengecup bibir Dara dan memainkannya. Tidak peduli dengan apa yang akan Dara katakan nantinya, dia hanya ingin mencumbu istrinya sebelum pergi menemui Galih.

"Aku mencintaimu," tutur Yudanta.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang