63

771 34 1
                                        

Dara termenung di tempat yang sama. Semalaman dia tidak tidur. Otaknya terus memikirkan ucapan Brian. Pria yang sedang terlelap di sampingnya dia buat terluka untuk melindunginya.

"Ahh ..." rintihan lirih terdengar dari mulut Yudanta saat dia berusaha untuk membuka mata perlahan.

Tangan kanannya mengusap pelan wajahnya. Seperti kepalanya mulai terasa sakit. Belum lagi cahaya matahari menusuk indra penglihatannya.

"Mas memerlukan sesuatu?" Suara Dara membuat Yudanta menoleh ke arah samping, ada istrinya di sana.

"Kau tidak tidur sejak semalam?" Yudanta berusaha untuk bangun, namun urung saat rasa sakit menjalar di kepalanya.

"Sudah jangan khawatirkan aku. Kak Kale menunggu Mas untuk ke rumah sakit. Dokter minta untuk melakukan tes MRI pada kepala Mas. Biar Dara bantu untuk bersiap." Dara memegangi tubuh Yudanta agar bisa bersandar di headboard tempat tidurnya.

"Maafkan aku." Yudanta memegang lengan Dara yang akan pergi mengambil air hangat untuk suaminya.

Dara hanya tersenyum menjawab kata maaf dari suaminya. Merasa tidak menjawab, Yudanta tak ingin melepaskan genggaman tangannya. Meminta Dara untuk duduk di sampingnya.

"Katakan sesuatu? Luapkan jika kau ingin marah padaku," tutur Yudanta.

Bukannya menjawab, Dara malah memeluk Yudanta sambil menangis. Hatinya begitu sakit, walau Yudanta berhasil pulang. Tetap saja kondisinya tidak dalam kondisi baik.

"Maafkan aku, Mas. Ini semua berawal dariku. Coba saja kalau dulu kita tak pernah bertemu, atau Mas membiarkanku mati. Masalahnya tidak akan seperti sekarang. Aku membuatmu lemah karena ingin melindungiku. Tolong maafkan aku, Mas," tutur Dara dengan derai air mata yang semakin deras.

"Apa salahnya menjadi pria yang bertanggung jawab atas ucapannya. Aku memang beda, aku tidak seperti pria lain di sana. Tapi aku hanya memilikimu yang ingin aku lindungi sampai akhir hayatku. Apa yang salah tentang itu? Tidak perlu minta maaf, kau tidak perlu menyalahkan dirimu karena keputusan yang aku ambil. Jangan menangis lagi. Cukup kau bersamaku, itu sudah membantuku. Jangan dengarkan ucapan Brian. Dia hanya merasa khawatir padaku." Yudanta baru membuka mata, tapi Dara sudah menyalahkan diri atas kebodohan yang dia lakukan. Padahal itu bukan sepenuhnya kesalahan Dara.

Yudanta tulus mencintainya, dan kelemahan Yudanta adalah Darapuspita, istrinya. Sosok dingin yang mereka kenal dulu, sekarang menjadi pria yang berbeda. Mungkin yang Brian rasakan itu. Saat berurusan dengan Dara, Yudanta tidak akan bisa melawannya.

Setelah membantu Yudanta bersiap. Mereka segera mengantarkannya ke rumah sakit. Brian tak banyak bicara. Dia tenang dengan kemudinya, duduk bersama Kale. Di belakang ada Dara dan Yudanta yang juga diam.

"Biar aku ambilkan kursi roda," ucap Kale saat mereka sampai di rumah sakit.

"Tidak perlu. Biar aku jalan saja," elak Yudanta.

"Jangan keras kepala," sahut Brian.

Tanpa ingin membantah, Yudanta duduk di kursi roda menuju ruangan Dokter untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Di bantu Dokter kenalannya, Yudanta dengan mudah menjalani pengobatan. Saat diminta untuk rawat inap, Yudanta malah menolaknya.

"Kau bisa merasakan jemarimu?" tanya sang dokter.

"Tidak," jawab Yudanta karena tangannya terasa kebas.

"Aku akan pasang gips agar cederanya tidak semakin menyiksamu." Dokter segera memasangkan gips di tangan Yudanta, dan tak lupa sling agar tidak semakin membuatnya tersiksa.

Saat menunggu obat, Yudanta sedang duduk bersandar di temani Brian. Sengaja dia ingin bicara dengan Brian karena ucapannya kemarin.

"Kau masih marah?" Suara Yudanta tidak membuat Brian menoleh padanya.

"Aku memang bodoh dalam cinta. Aku tak sekuat dirimu, tapi aku hanya tak ingin istriku terluka karena diriku. Aku sadar akan kesalahanku, tapi tolong tidak menyalahkan Dara untuk ini, hanya aku yang lemah," ucap Yudanta dengan posisi yang sama.

"Tetap saja. Jangan seperti orang bodoh yang bisa menyelesaikan masalah seorang diri. Aku tak pernah menyalahkan Dara, karena aku juga sama sepertimu. Hatiku sakit saat melihatmu seperti ini, kesalahan yang aku buat sebelumnya sudah cukup membuatku takut. Sekarang dengan kecerobohanmu, kau membuat dirimu terluka seperti sekarang. Persahabatan kita bukan baru kita jalani. Sudah cukup lama, sampai aku menggangapmu saudaraku sendiri," ujar Brian. Dia hanya kesal dengan sikap Yudanta yang tak ingin berunding pada sahabatnya, tapi ucapannya membuat Dara sadar jika ini juga karenanya.

"Ya, aku tau. Maafkan aku. Kau bisa menghabisiku nanti jika aku melakukannya lagi." Mereka memang sahabat sejati, sejak saling mengenal. Mereka saling mengisi satu sama lain. 3 pria kesepian seperti mereka siapa yang akan peduli.

"Tentu. Hanya aku yang boleh membunuhmu, tidak orang lain," jelas Brian.

Dari sisi kanan mereka, Dara hanya menatapnya senang. Walaupun masih saja dia menyalahkan diri, tapi setidaknya Brian dan Yudanta tetap baik-baik saja.

"Mereka sering bertengkar. Sesungguhnya Brian tipe orang yang sangat peduli di antara kita. Dia akan marah jika dia tidak suka. Dia tidak bisa menahan amarahnya, bukan berarti dia tidak baik. Meski si bodoh itu mudah terhasut, tapi persahabatan kita tidak akan buyar hanya karena suatu masalah. Aku berharap, kita terpisahkan oleh maut. Jadi jangan merasa bersalah atas apa yang Brian katakan. Mulutnya memang suka asal bicara." Kale sedang duduk bersama Dara yang sejak tadi diam, seperti menjaga jarak dengan Brian.

"Keluarga mana boleh bertengkar. Jangan sepertiku yang menjadi samsak untuk kakakku sendiri. Oh ya, ngomong-ngomong tentang Kak Juan. Apa Kak Kale tau kabarnya?" tanya Dara.

"Apa Yuda tak mengatakannya padamu tentang Juan?" Kale balik bertanya. Dara menggeleng pelan menjawan pertanyaan Kale.

"Kau bisa tanyakan saja pada Yuda langsung. Aku tidak ingin menjawab saat Yuda tak membolehkanku bicara. Dia tidak ingin kau khawatir saja." Sebenarnya ada apa, kenapa Kale bicara seperti itu. Seakan hal penting yang mereka rahasiakan.

"Biarkan saja. Aku tidak mau egosi dan membuat suamiku terluka lagi," jawab Dara.

"Aku ... hmm." Dara langsung menutup mulutnya saat perutnya terasa mual.

"Ada apa?" tanya Kale.

"Aku tinggal ke kamar mandi sebentar. Perutku mual." Dara berlari kecil menuju kamar mandi saat isi perutnya ingin sekali keluar. Dengan tangan menutup mulutnya, Dara memuntahkan isi perut saat berhasil masuk kamar mandi.

Dara terus memuntahkan isi perutnya di dalam kamar mandi hingga terasa lega, meski terasa mual. Dia berjalan keluar kamar mandi yang tak jauh dari depo obat dan langsung berjalan kembali ke Yudanta.

"Ada apa sayang?" tanya Yudanta khawatir.

"Perutku mual. Sepertinya karena aku tidak tidur, tapi tidak apa-apa." Yudanta tersenyum seperti memikrikan sesuatu yang membuatnya teringat sesuatu saat Dara mengatakan itu.

"Kau sudah mengeceknya?" tanya Yudanta.

"Mengecek apa sayang?" Dara tidak mengerti dengan apa yang Yudanta katakan. Apalagi suaminya itu hanya tersenyum menatapnya.

"Kita ke dokter kandungan. Kita periksakan kondisimu. Ingat dengan apa yang aku katakan?" Ucapan Yudanta seperti mengingatkan Dara akan ucapan suaminya sebelum pergi menemui Kaito.

"Mas, kau membuatku takut dengan tebakanmu. Mana mungkin orang mendapatkan 2x keberuntungan saat menebak sesuatu. Jangan-jangan Mas memang paranormal," ujar Dara dengan tatapan serius dan heran.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang