45

1.4K 33 11
                                    

"Mas mau ke mana? Kondisi Mas sedang tidak baik. Apa Mas akan bertemu dengan Juan? Sudahlah, Mas, tolong jangan pergi." Dara menghentikan suaminya yang akan pergi. Dia benar-benar tidak peduli dengan kondisi tubuhnya yang masih sakit.

Bagaimana dia bisa lekas sembuh saat Yudanta memilih pulang dari rumah sakit karena sahabatnya. Beban pikiran dan juga tekanan membuatnya semakin tidak bisa berpikir dengan benar. Tapi dia tidak mau membebani Dara yang takut ancaman yang pihak kakeknya buat untuk Yudanta.

"Aku tidak bisa hanya diam. Dia akan terus mengganggumu. Aku tidak mau kau tertekan karena mereka menginginkan diriku. Tidak akan lama, tunggu di rumah," tutur Yudanta dengan senyum tipis mengembang untuk Dara.

"Tapi, Mas--"

"Jika aku tidak pergi. Kakek tetap akan menyuruh seseorang menjemputku, jadi aku akan tetap pergi," ucap Yudanta.

"Kalau begitu aku ikut," tegas Dara.

Yudanta menatap Dara dengan tangan yang memegang bahu istrinya. "Dengarkan aku. Jika kau ikut denganku. Itu hanya akan membuatku lemah. Diamlah di rumah, tidak akan ada yang berani masuk karena mereka menjaga di luar. Tolong sayang, dengarkan aku. Aku ingin menyudai ini dan hidup bahagia bersamamu. Jika kakakmu ingin posisi itu, aku akan berikan tapi tolonglah, untuk tidak ikut. Aku berjanji akan cepat pulang." Yudanta mencium kening istrinya lama, kemudian menatapnya. Senyum manis Yudanta membuat hati Dara terasa perih, semoga ini bukan sebuah perpisahan.

"Semua akan baik-baik saja," tutur Yudanta sambil mencium bibir istrinya.

Yudanta berhasil meyakinkan diri agar Dara tetap di rumah. Dia tidak mau Dara melihat dirinya yang akan babak belur, entah dia akan pulang dengan selamat atau tidak, yang pasti dia ingin bertemu dengan Juan.

"Bos, Kale ada di luar. Apa dia tidak boleh masuk?" tanya salah satu anak buah Yudanta. Mereka sejak pagi sudah datang atas perintah Yudanta untuk menjaga Dara.

"Jangan biarkan dia ikut denganku. Cegah dia, agar dia bisa menjaga Dara," jawab Yudanta. Walau dia merasa kecewa pada sahabatnya, Yudanta ingin Kale melindungi Dara saat ini.

Menggunakan motor kesayangannya, Yudanta pergi meninggalkan kediamannya. Membiarkan Kale yang berusaha untuk bertemu.

"Dia benar-benar marah," ucap Kale saat melihat Yudanta pergi dengan motornya.

"Kau diminta menjaga Dara, kau tidak bisa ikut dengannya," ujarnya.

"Apa kau gila! Kau membiarkannya pergi sendiri. Dia tidak akan selamat." Kale berusaha lepas dari mereka yang mencegahnya pergi.

"Ini kemauannya. Aku yang akan tidak selamat jika membiarkanmu pergi."

Kale bersikeras mengikuti Yudanta, dia tidak peduli jika Yudanta akan marah padanya. Bahkan Kale menghubungi Brian dan Anggun untuk memberitahu mereka.

"Suruh Anggun menjaga Dara. Kita pergi mencari Yuda," ucap Kale.

"Ya, aku segera menyusulmu. Bukankah kemarin mereka janjian di Jl Simpang Balapan?"

Mereka berdua kemudian mencari Yudanta yang menemui Juan. Mereka tidak bisa membiarkan Yudanta sendiri. Apalagi Brian, dia merasa bersalah karena kejadian kemarin. Bagaimana dia bisa sebodoh itu terlalu mendengarkan hal yang tidak benar.

***

"Kau datang juga. Aku pikir kau tidak akan datang karena takut. Tapi tunggu, kau datang sendiri kan?" Juan berjalan lebih dekat pada Yudanta. Dia masih menggunakan helmet miliknya menatap tanpa bicara pada Juan.

"Kakekmu memberikan posisi ketua padaku, jadi itu artinya kau harus pergi. Tapi, sebelum pergi bukankah kau harus mendapatkan sedikit kenangan indah yang akan membuatmu paham atas kedudukanku," tutur Juan.

Mereka sedang berada di sebuah gedung tua. Ada beberapa orang yang datang bersama Juan, saat Yudanta dia minta datang sendiri. Terjadi, apa yang orang kemarin katakan, jika kakeknya memang akan memberikan posisinya pada Juan. Dia tidak mempermasalahkan itu, hanya saja kenapa harus Juan. Bukankah selama ini bisnisnya berhasil juga karena Yudanta, namun kakeknya malah menendangnya saat sebelumnya dia yang meminta Yudanta mengurus bisnis gelapnya.

"Lakukan dengan cepat, aku ingin kau yang melawanku tanpa mereka membantumu. Untuk apa kau menyuruhku datang saat kau hanya ingin membuatku babak belur dengan bantuan anak buahmu. Kau merubah tempat janji kita karena kau takut, walau kau membunuhku sekarang aku tidak peduli," jelas Yudanta. Dia tidak takut akan dirinya celaka.

"Tapi boleh aku katakan padamu. Jangan pernah menyetuh adikmu lagi. Kau bisa membunuhku sepuasmu, aku tidak peduli. Untuk yang satu ini jangan menyentuhnya, biarkan dia hidup bahagia tanpa ada tekanan darimu. Aku tau kau sayang padanya, kau hanya melampiaskan kekecewaanmu padanya, setelah ini jangan. Kau bisanmengingkari janjimu sebelumnya, tidak untuk yang ini. Aku harap kau tidak menemui bahkan melukai hatinya lagi. Aku berikan nyawakan untukmu." Yudanta melepaskan helmet yang dikenakan. Dia juga melepaskan jaket yang membungkus tubuhnya. Hanya kemeja putih dan celana jeans biru dengan sobek di daerah lututnya yang dia kenakan. Tidak ada benda tajam ataupun sejenisnya. Dia benar-benar menyerahkan dirinya pada Juan.

"Aku tidak mengenakan apapun untuk melindungi diriku. Kau bisa melakukannya sekarang." Yudanta memberikan dirinya agar Juan puas menghajarnya.

"Kita mulai sekarang." Juan mendorong tubuh Yudanta. Dia bahkan tidak melawan apa yang sedang Juan lakukan padanya.

Pukulan hingga tendangan dia lakukan pada Yudanta yang tidak melawan sama sekali. Tidak hanya sekali, Juan terus menghajarnya sampai dia merasa puas.

Tubuh Yudanta duduk bersandar pada dinding saat Juan seperti sudah lelah dengan apa yang dia lakukan. Nafasnya berat, tapi dia tetap harus bertahan. Di pikirannya mungkin saja dia akan mati sekarang, tapi dia juga ingin bertemu Dara setelah ini. Entah dia akan memarahinya atau bagaimana, asal masalah ini selesai, tidak apa-apa untuk Yudanta.

"Kau tau, kakekmu itu gila. Dia menyuruhku untuk membunhmu. Padahal seperti ini sudah membuatmu babak belur, tapi dia bersikeras untuk menyingkirkan cucunya sendiri," ucap Juan.

"Karena dia takut, seseorang yang harusnya kau tuntut atas kematian orang tuamu adalah dia. Karena dia yang merencanakan kematian orang tuamu karena orang tuamu di fitnah hutang banyak padahal itu bukan mereka yang hutang. Tapi sekarang kau yang memihak padanya, lucu sekal." Yudanta tersenyum tipis merasa kasihan pada Juan yang dibodohi kakeknya.

"Tidak mungkin. Kau yang membunuh mereka. Karena dirimu orang tuaku mati dan meninggalkan banyak hutang. Mengharuskan aku dan Dara harus hidup susah. Itu semua karenamu." Tidak terima dengan cerita Yudanta, Juan masih menuduh Yudahta sebagai dalang pembunuhan orang tuanya.

"Terserah kau saja. Jika aku yang membunuh orang tuamu lantas kenapa?" tanya Yudanta.

"Hutang nyawa dibayar nyawa. Itu yang harus kau lakukan." Juan mulai berjalan lagi ke arah Yudanta dan duduk di hadapannya.

"Bunuh saja diriku. Jika itu akan membuatmu senang. Aku tidak akan membalasnya. Tapi biarkan aku bertemu dengan istriku sebelum ajalku datang. Jangan kau bunuh aku di sini, buat aku mati secara perlahan saja agar aku bisa bertemu dengan istriku." Yudanta menatap dengan tatapan dinginnya. Dia membiarkan dirinya celaka agar masalah ini cukup sampai di sini.

"Tentu. Seperti yang sudah aku rencanakan. Kau akan mati di tanganku." Juan tanpa belas kasih menancapkan pisau yang dia pegang pada perut kiri Yudanta.

Seperti siap dengan apa yang akan Juan lakukan Yudanta memejamkan mata saat pisau itu menembus tubuhnya. Semenit setelah itu dia memuntahkan darah dan masih bisa tersenyum merasakan rasa perih di perutnya.

"Aku harap kau menepati janjimu kali ini. Jang-an ... pernah melukai Dara lagi. Kau menjadi ketua Gangster seperti kemauanmu. Akh ...."

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang