27

3K 63 1
                                    

Ya, Yudanta adalah ketua gangster. Dia dipilih kakeknya untuk menjadi pemimpin kelompok gangster yang selama ini dia naungi.

Dara menatap terkejut dengan penuturan Yudanta. "Apa kau sedang bercanda? Kenapa kau suka sekali membodohiku?" Dara tidak langsung percaya walau bisa saja Yudanda melakukan itu, karena lingkungannya memang keras.

"Aku harap itu juga kebohongan, tapi aku tidak bisa pergi dari kebohongan ini karena tuntutan yang kakekku berikan padaku," jelas Yudanta. Mau tidak mau, Yudanta harus menjalankan tugas kakeknya menggantikan dia yang sudah tua. Awalnya Yudanta memang diusir karena masalah yang dilakukan, tapi dia memilih Yudanta menjadi salah satu dari mereka sejak tau Yudanta mampu.

Dari segi strategi dan juga bela diri, Yudanta mampu membuat lawannya takluk di hadapannya. Dia juga sering berhasil tentang bisnis ilegal kakeknya. Semua Yudanta lakukan demi menunjukkan dirinya bisa, tidak terus diremehkan. Namun, akhirnya Yudanta merasa kakeknya terlalu serakah, itu yang menjadi kendalanya beberapa waktu ini.

Apa yang dihasilkan Yudanta tidak pernah ada puasnya untuk kakeknya. Dia seperti menjadikan Yudanta alat untuk dirinya menjadi big mouse yang sesungguhnya. Pembangkangan Yudanta baru beberapa waktu ini, tapi dia sudah menjadi lawan kakeknya sendiri.

"Apa kau tetap pada pendirianmu?" tanya Yudanta.

Dara menjadi ragu dengan hatinya. Kenapa dia bisa memilih orang seperti Yudanta yang dia pikir akan melindunginya. Namun, kebenaran menamparnya keras, tapi rasa nyamannya mengalahkan rasa takut saat berada di sampingnya. Selama ini Dara dilindungi oleh Yudanta, dia tidak pernah melukai jika bukan Juan yang mulai.

Dara melepaskan tubuh Yudanta yang membantunya berjalan. Menjauh selangkah dari Yudanta yang menatap berharap jika Dara bisa tetap di sampingnya.

"Tidak. Aku tidak mau, semuanya hancur karena itu." Apa itu artinya Dara tak mau dengan kebenaran yang Yudanta katakan.

"Apa itu artinya kau ingin pergi dariku?" tanya Yudanta. Dia ingin menggapai tangan Dara, namun Dara tidak mau.

"Maaf, aku tidak bisa. Biarkan aku pergi." Tanpa memberi alasan yang pasti, Dara berjalan pergi. Tidak peduli dengan Yudanta yang berharap lebih darinya.

"Mau ke mana dia?" tanya Brian.

"Tolong kejar dia. Jangan biarkan dia pergi. Akh--" Yudanta terjatuh dengan lutut menjadi tumpuhannya. Dia menahan rasa sakit di perutnya saat mengikuti Dara.

Brian berlari di mana Dara berjalan pergi. Sempat terjadi perdebatan dengan Brian, tapi akhirnya Dara dengan paksa di gendong di bahunya. Brian kemudian berjalan ke basecamp lagi.

"Turunkan aku." Dara berusaha turun dari bahu Brian yang menggendongnya.

"Lihat, apa dia berbohong padamu tentang lukanya? Kenapa kau egois sekali." Brian pikir Dara marah karena merasa dibohongi Yudanta yang pura-pura terluka.

Dara tidak menatap Yudanta yang sedang terbaring, Anggun membantu menggobati lukanya. Dia hanya terpejam merasakan luka sayat yang terasa perih.

"Entah apa yang Yuda pikirkan tentangmu. Kau ini memang keras kepala!" Brian merasa Dara begitu egois, padahal kondisi Yudanta tak baik.

"Aku hanya ingin pergi. Apa salahnya untuk itu," jawab Dara.

"Kau!!" bentak Brian.

"Sudahlah, kau tidak lihat luka Yuda mengeluarkan banyak darah? Kita bawa dia ke rumah sakit saja," ujar Anggun yang memang memegangi luka sayat panjang di perut Yudanta.

Dara menatap Yudanta yang tak mampu untuk bangun. Awalnya dia hanya ingin membuat Dara tidak khawatir saat melihat kondisinya, sayangnya kejujurannya membuat Dara marah.

"Tidak. Tinggalkan aku berdua dengannya," tutur Yudanta lirih. Kali ini dia memegang lengan Dara yang ada di sampingnya.

Mereka meninggalkan Yudanta dan Dara di kamar kecil itu berdua. Yudanta berusaha bangun dan membuat wanita yang sedang marah padanya itu duduk di sampingnya.

"Aku mohon jangan bersikap seperti ini. Aku mau kau tetap di sini," tutur Yudanta.

Dara tertunduk menangis. Dia bingung dengan hatinya, kenapa dia merasa Yudanta membohonginya. Apa alasan Dara begitu terkejut dengan kebenaran yang dia dengar.

"Katakan alasanmu, kenapa kau pergi? Apa aku memperlakukanmu dengan buruk? Apa aku melukaimu karena pekerjaanku? Aku ingin bersamamu, aku ingin melindungimu," tutur Yudanta. Dia ingin tau saja kenapa Dara terkejut dengan kebenaran yang dia berikan saat dia melindungi Dara, bahkan membantu Dara dari siksaan kakaknya.

"Katakan padaku. Jika aku memang bersalah, katakan agar aku melakukan apa yang kau mau." Yudanta berharap Dara bicara tentang alasannya.

"Aku bukan mencari pembelaan, tapi aku seperti ini karena seseorang. Aku harus melakukannya demi dirimu, kenapa aku bilang demi dirimu, karena aku mencintaimu. Saat aku memilih mundur, dia pasti akan menjadikanmu alat untuk mengancamku. Aku mohon untuk saat ini tetaplah bersamaku, mereka tau jika kau calon istriku, tidak akan mudah untuk membuatku pergi," jelas Yudanta.

"Aku hanya bingung. Apa yang harus kulakukan. Aku ingin pergi itu saja. Aku tidak bisa bersamamu saat bayangan tentang kematian orang tuaku selalu menghantuiku. Kau tau alasan mereka meninggal?" Dara menatap dengan sorot mata hancur. Dia ingin pergi, tapi kondisi Yudanta membuatnya tetap tinggal. Hati kecilnya ingin Dara bersamanya, tapi bayanga masa lalu membuatnya ingin pergi.

"Kecelakaan di sebabkan segerombolan gangster yang mengincar orang tuamu, karena berhutang pada bos gangster itu, apa begitu?" Yudanta membuat Dara menatapnya. Sudah berapa kali dia membuat Dara terkejut dengan kebenarana yang dia ungkapkan. Bahkan cerita tentang kematian orang tua Dara, dia mengetahuinya.

"Aku tau siapa yang bertanggung jawab atas kematian orang tuamu. Aku tau itu," imbuh Yudanta.

"Kenapa ... kau bisa tau. Apa ini ada hubungannya dengan foto di laci meja kamarmu? Sebenarnya apa rencanamu mendekatiku." Dara berdiri melangkah mundur menatap Yudanta.

"Itu salah satu alasan yang membuatku menjadi seperti ini. Kematian orang tuamu," jelas Yudanta.

"Tapi kenapa? Siapa kau sebenarnya? Apa kau yang merencanakan itu pada orang tuaku?" Dara semakin dibuat tidak percaya dengan kejujuran Yudanta.

"Aku bersumpah, jika bukan aku yang membunuh orang tuamu," elak Yudanta.

"Kenapa kau bisa tau kejadian itu, jika bukan kau yang membunuh orang tuaku. Kau menyimpan banyak rahasia dariku. Bagaimana aku bisa percaya padamu. Tidak, aku tidak mempercayaimu." Dara menggeleng kepalanya pelan. Dia benar-benar tidak percaya dengan semua yang Yudanta katakan.

Saat hati Dara mulai merasa nyaman, dia mengetahui sesuatu yant membuatnya terkejut. Dia langsung teringat tentang kematian orang tuanya, kecelakaan yang di rancang karena hutang mereka. Padahal, mereka hanya di jebak oleh salah satu teman Ayah Dara.

"Tolong, untuk kali ini percaya padaku. Aku ingin menggungkapkan kematian orang tuamu. Itu sebabnya aku menjadi sekarang ini," jelas Yudanta.

"Tidak! Aku tidak mau. Kau pasti akan membunuhku nanti. Ah ... tapi, lebih baik sekarang saja kau bunuh diriku jika urusan orang tuaku belum selesai menurutmu." Dara berlutut di hadapan Yudanta yang duduk di tempat tidur. Menarik dengan kasar tangan Yudanta dan meletakkannya di leher.

"Bunuh aku sebelum aku yang membunuhmu lebih dulu." Dengan perasaan hancur, Dara meminta Yudanta membunuhnya dengan tangannya. Dia berlutut dengan air mata yang membasahi pipi.

"Dara--"

Yudanta tidak bisa menarik tangannya, karena Dara terus memeganginya. Dia ingin Yudanta mencekiknya sekarang. "Bunuh aku sekarang!" Teriak Dara.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang