62

586 24 0
                                    

Yang gak suka boleh skip aja yaaa
Happy Reading
.
.

Yudanta tergeletak dengan darah yang mengalir dari bagian tubuh. Pandangannya perlahan menggelap, namun bukannya puas dengan menembakkan senjatanya pada bahu kiri Yudanta, dia masih diperlakukan bagai binatang oleh Galih. Tubuhnya benar-benar terasa remuk karena Galih terus memukulinya tanpa ampun.

Saat melihat lawannya sudah terkulai lemas, Galih membuatnya duduk dan Yudanta tertunduk dengan darah keluar dari kepala akibat pukulan, begitu juga wajah dan juga bahu sebelah kirinya karena tembakan Galih. Kaito hanya diam melihat cucunya diperlakukan seperti binatang oleh Galih yang tak terima di tuduh, padahal itu kenyataan.

"Kau coba menjatuhkan diriku di hadapan kakekmu dengan cara seperti ini untuk apa? Kau ingin posisimu lagi?" Galih menampar pelan pipi Yudanta yang tertunduk.

Cuhhh

Yudanta meludahi wajah Galih dengan senyum tipis di balik rasa sakit yang menguasai dirinya. "Kau licik," tutur Yudanta lirih.

"Kurang ajar!" Bentak Galih. Dia mendorong tubuh Yudanta, membuatnya tergeletak di lantai yang dingin dengan tubuh penuh darah.

"Kakek sudah katakan. Kau tidak akan selamat saat ingin keluar dari sini. Ini resikomu karena memilih untuk datang saat kau memilih mati. Haruskah aku mengabulkan apa yang kau mau, dengan membunuhmu?" Tidak ada rasa belas kasih dari mata Kaito atas sikap Galih pada cucunya. Tubuhnya sudah bersimbah dari, akan tetap itu tidak membuat Kaito iba, yang ada dia merasa puas kareja Yudanta membangkang padanya. Bisa dibilang Kaito dan Galih itu sama, berdarah dingin.

"Bunuh ... saja, asal jangan Kakek sentuh istriku. Biarkan dia hidup bahagia. Jangan pernah ... mengganggunya." Yudanta coba untuk mengontrol nafasnya yang terasa berat. Rasanya sesak sekali, tapi tidak kalah dengan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.

"Aku menyerahkan ... diriku ... agar kalian tidak mencelakainya. Puaskan diri kalian un-tuk ... menyiksaku. Asal jangan istriku," tutur Yudanta. Dia bahkan memoho dengan menyentuh kaki Kaito yang berdiri di hadapannya.

"Begitu cintanya dirimu pada wanita itu. Apa kau tidak mampu mencari wanita lain," ucap Kaito.

"Setidaknya biarkan dia ... hidup bahagia saat Kakek sudah membunuh ... orang tuanya," sahut Yudanta lagi. Dia memberikan jiwanya untuk mereka.

"Aku tau, pilihanku datang ke sini hanya mati. Jadi, aku sudah siap untuk mati," imbuh Yudanta.

"Ya, aku yang akan membunuhmu. Kau memang harus mati," teriak Galih. Dia kembali meluapkan kekesalannya pada Yudanta yang malah mengungkapkan rencananya pada Kaito.

"Kakek ... aku memang ... cucu yang buruk. Tapi hanya ... kau yang aku miliki. Setidaknya aku mati ditanganmu, itu akan membuatmu lega karena aku sudah membayar hutang dengan nyawaku." Di saat kondisinya benar-benar babak belur karena Galih tanpa ampun menghajarnya, Yudanta ingat bisa seperti ini juga karena Kaito. Walau perlakuannya pada dirinya seperti binatang.

"Cukup!" tegas Kaito pada Galih yang terus menghajar tubuh tak berdaya Yudanta.

"Siapa yang memintamu membunuh cucuku. Bawa dia pergi dari sini. Aku tidak ingin kau membunuhnya sekarang. Aku masih belum puas menyiksanya. Dia hanya boleh hidup karenaku, mati juga bagaimana diriku. Jika kau berani membunuhku, sebaiknya angkat kaki dari rumahku sekarang!" Kaito sepertinya terenyuh dengan kata-kata Yudanta. Memangnya siapa lagi keluarga Yudanta selain dirinya.

Meskipun Galih kesal karena tidak berhasil membuat Yudanta mati. Tapi dia tetap melakukan apa yang Kaito katakan. Jika dia membangkang bukankah Kaito akan curiga padanya tentang ucapan yang Yudanta benar adanya.

Galih meninggalkan Yudanta di tempat sepi dengan kondisi tubuh terluka. Dia membiarkan Yudanta di mobilnya. Di temani kegelapan dan rasa sakit. Yudanta menangis, mengutuk kebodohan dirinya. Air mata bercampur darah menjadi satu. Tubuhnya terluka parah, bagaimana dia bisa pulang dengan kondisi seperti sekarang. Itu akan membuat Dara khawatir.

Gambaran tentang Dara yang coba menghentikannya tadi semakin membuat hatinya terluka. Dia hanya memberi istrinya itu luka. Namun, hati kecilnya sangat ingin pulang. Setidaknya kesempatan ini dia gunakan dengan baik. Keyakinan Yudanta akan kakeknya tidak membunuhnya benar adanya. Walau begitu dia babak belur.

"Kau harus pulang. Ya, kau harus pulang." Dengan tenaga yang tersisa. Yudanta coba untuk pindah ke bangku kemudi dan menjalankan mobilnya.

Dia memiliki impian dengan Dara. Hidup bahagia menjadi cita-citanya. Apalagi filling nya mengatakan, jika istrinya sedang hamil. Dia ingin memastikan apa filling itu benar.

"Akh!!" Sesekali Yudanta merintih kesakitan. Kepalanya terus mengeluarkan darah, karena pukulan Galih begitu kera.

Yudanta tidak boleh lemah hanya karena luka itu, karena ada seseorang yang menunggu kehadirannya di rumah.

***

Jam menunjukkan pukul 3 pagi saat terlihat Dara masih terjaga. Dia masih duduk di teras rumah Yudanta. Menatap gerbang besar itu, berharap suaminya segera pulang dengan kondisi baik.

Tinnnnnnnn

Suara klakson mobil terdengar keras dan panjang dari luar rumah. Dengan segera penjaga membuka gerbang saat tau ada mobil Yudanta di depan. Saat gerbang sudah sepenuhnya terbuka. Dengan kecepatan tinggi, Yudanta masuk ke halaman rumahnya.

"Mas--" Dara segera berlari ke mobil Yudanta. Dan membantu membuka pintu suaminya. Dengan sigap Dara menopang tubuh Yudanta yang hampir ambruk.

"Kau belum ... tidur?" Bukannya meminta bantuan, Yudanta malah berusaha untuk menatap istrinya yang sudah berderai air mata.

"Kak Kale! Panggil dokter!" Teriak Dara saat melihat wajah Yudanta. Dia merabah tubuh suaminya, melihat apa yang terluka.

"Maaf ... aku membuatmu ... khawatir," tutur Yudanta dengan tertatih.

"Jangan menangis. Kepala dan lenganku saja yang terluka. Selebihnya tidak," imbuh Yudanta. Dengan segera Dara memegang kepala belakang Yudanta, dan benar saja tangannya terkena darah sang suami.

Di bantu Kale dan beberapa penjaga di sana, Yudanta di bawa ke kamar. Dokter pun datang setelah di minta datang. Kondisi Yudantan saat Dokter datang, masih berusaha menjaga kesadaran agar Dara tidak khawatir.

"Semoga luka di kepalanya hanya luka luar saja. Besok bawa dia ke rumah sakit. Aku tidak bisa mengeceknya dengan tanga kosong. Harus dengan MRI," jelas Dokter setelah membantu Yudanta merawat lukanya.

"Apalagi pergelangan tangan kirinya sempat patah. Kau harus memaksanya untuk ke rumah sakit," imbuh Dokter.

"Baik, Dok. Saya akan membawanya nanti," jawab Kale.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Brian yang baru datang.

Kale hanya menggeleng kepala menjawab pertanyaan Brian. Dia langsung melihat kondisi Yudanta yang sedang bersama Dara.

"Kau selalu membuat tubuhmu menjadi samsak tinju untuk kakekmu. Apa kau pikir ini tidak membuat sahabatmu gagal menjagamu, Yuda!" Brian terbawa emosi saat melihat kondisi Yudanta.

"Sayang, sudahlah. Biarkan dia istirahat," sahut Anggun. Setelah mendapatkan telepon dari Kale, mereka berdua langsung kembali. Padahal tadi mereka berencana untuk melihat di tempat Kakek Yudanta.

Yudanta mungkin memejamkan mata, tapi dia tidak sepenuhnya tidur. Rasa sakit mengusai dirinya. Dia mendengar Brian yang sedang khawatir padanya.

"Aku tidak pernah setuju kau datang seorang diri pada kakekmu. Karena ini yang akan terjadi. Kenapa kau jadi seperti ini. Kau bukan lagi Yuda yang aku kenal dulu. Kau lebih mengorbankan dirimu dan aku benci itu, karena kau tampak lemah," ucap Brian.

Dara hanya diam. Dia menatap Yudanta tanpa bicara apapun. Dia saja tidak mampu membujuk Yudanta, bagaimana dengan Brian, itu pikirnya.

"Jika cinta membuatmu lemah seperti ini, tidak perlu kau mencintai orang lain. Pedulikan dirimu saja. Kau terluka hanya karena melindungi hatimu." Ucapan Brian membuat Dara tersadar jika ini semua berawal darinya, dan dia yang harus bertanggung jawab akan itu.

"Sayang, sudahlah. Sebaiknya kita keluar." Anggun memaksa Brian untuk keluar agar tidak terus bicara yang tidak-tidak.

"Akhhh!!" Terika Brian meluapkan kekesalannya.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang