64

613 26 0
                                    

"Aku hanya kurang tidur, Mas. Sudah tidak apa-apa," tutur Dara yang sedang berbaring di tempat tidur king size miliknya.

"Aku tadi bilang periksakan saja, tapi kau malah menolak," jawab Yudanta. Dia mengusap lembut rambut istrinya.

"Nanti saja. Sekarang sebaiknya Mas istirahat juga. Maafkan aku kalau malah tidak mengurus Mas dengan baik," tutur Dara.

"Istirahatlah." Yudanta hanya duduk diam di samping Dara yang mulai memejamkan mata. Sejenak dia menatap wajah istrinya. Raut wajah kekhawatiran itu tergambar jelas pada Yudanta. Rasa takut yang menyelimuti hati Dara membuatnya merasa bersalah.

Setelah terlelap, Yudanta tidak istirahat. Dia malah turun untuk bicara dengan para sahabatnya di teras belakang rumah. Obrolan serius yang mereka bahas tentang posisi ketua genk motor yang sempat Yudanta tinggalkan. Dia tidak mau kembali karena sebagian anggota genk, mereka juga anggota gangster. Itu yang membuat Yudanta enggan kembali.

"Biarkan Brian dan juga Kale yang mengurus itu. Aku tidak mau lagi. Biarkan aku menjadi pria baik-baik saja," ujar Yudanta sambil tersenyum. Dia hanya tak ingin membuat Dara terluka karena kondisinya yang selalu babak belur. Walau dia akan tau jawaban sahabatnya, Yudanta tetap mengatakannya.

"Tidak sudi. Apalagi mereka tak seperti saat ada dirimu. Mereka memanfaatkan kekuasaan yang kau perjuangkan untuk membuat onar. Memang hanya sebagaian dari mereka, namun tidak ada yang menegur mereka lagi," jelas Brian. Dia memang sudah jarang untuk kembali ke genk motor yang biasa mereka berkumpul sejak Yudanta pergi.

"Entahlah, aku enggan untuk berurusan dengan hal itu lagi. Namun, keinginanku tak akan sejalan saat Galih masih mempengaruhi Kakek." Galih tidak akan tinggal diam sampai apa yang menjadi keinginannya dia dapat. Walau Yudanta bisa lolos dengan nyawa yang masih melekat, tapi bukan berarti dia bisa lepas begitu saja.

"Ah ya, tentang Galih. Aku dengar dia melakukan kecurangan dengan barang yang harusnya kakekmu dapatkan. Berakhir Juan yang menjadi kambing hitam karena kesalahannya," ucap salah satu dari mereka.

"Oh ya, apa kau tidak menjelaskan apa yang terjadi pada Juan? Dara sempat menanyakan kabar kakaknya, tapi dia tidak bertanya lebih jauh," ungkap Kale.

"Setidaknya di harus sadar dengan masuk penjara. Itu yang harus dia lakukan. Walau aku sendiri juga tak baik," imbuh Yudanta.

Mereka melanjutkan obrolan mereka. Membujuk Yudanta untuk kembali menjadi ketua genk, meskipun dia tidak pernah dianggap pergi. Tidak semua anggota genk seperti yang dikatakan Brian, tapi tetap saja Yudanta harus memikirkan 2x untuk kembali.

***

Di kamar, suara ponsel mengganggu tidur Dara. Dia menatap ke samping tempat tidurnya tidak ada Yudanta di sana. Dengan kepala yang sedikit pusing, Dara tetap ingin meraih ponsel milik Yudanta yang terus berdering.

"Mas Yuda--" Belum menyelesaikan ucapannya seseorang di sambungan telepon itu memotong Dara bicara.

"Kebetulan sekali kau yang menjawabnya. Bisa katakan pada suamimu itu. Kakeknya masuk rumah sakit. Aku harap dirimu juga datang, lihat ulah suamimu pada kakeknya. Ini semua karena suamimu, jadi kalian harus datang sebelum kakeknya mati." Setelahnya sambungan telepon itu ditutup begitu saja.

Tidak jelas dari siapa. Tapi Dara terpaksa menjawabnya karena sejak tadi ponsel Yudanta terus berbunyi. Perlahan Dara turun dari tempat tidurnya, mencari sang suami yang masih di bawah. Otaknya terus berpikir tentang ucapan seseorang yang menghubunginya.

Sampai dia melihat Yudanta sedang duduk sendiri di bangku dekat kolam. Dia sesekali meregangkan tangan kirinya. Walau menggunakan sling, tapi Yudanta tetap saja ingin melepasnya. Tidak betah karena mengurangi pergerakannya.

Belum lagi luka tembak di bahu kirinya menambah rasa sakit ditubuh Yudanta. Saat sedang fokus dengan pergelangan tangannya, Dara perlahan memeluk tubuh suaminya dari belakang. Mencium aroma tubuh Yudanta yang sangat dia suka.

"Kenapa bangun? Apa kau lapar?" tanya Yudanta. Dia membalas pelukan istrinya dengan memegang lengannya.

"Ada telepon dari seseorang. Maaf aku menjawabnya." Dara berjalan dan duduk di pangkuan Yudanta. Tidak merasa risih dengan sikap istrinya. Yudanta malah balas mencium tubuh Dara.

"Siapa memangnya?" tanya Yudanta dengan santai.

"Kakek Mas masuk rumah sakit. Dia meminta Mas untuk datang," jelas Dara. Walau sedikit ragu, Dara tetap menjelaskannya.

"Apalagi yang mereka buat sekarang. Aku tidak akan pergi, biarkan saja," jawab Yudanta. Dia tidak berkeinginan untuk datang seperti seseorang yang mengabari kakeknya masuk rumah sakit.

"Tapi, Mas. Dia ingin kita datang," sahut Dara.

"Denganmu? Tidak akan!" Yudanta menggeleng tidak setuju dengan apa yang Dara sampaikan. Itu artinya mencari mati, saat Dara ikut. Yudanta tidak mau hal buruk terjadi. Kemarin saja dia dibantu Genk Cobra untuk menjaga Dara, sekarang siapa yang akan membantunya saat Yudanta mengantarkan istrinya bertemu kakeknya.

"Tapi Mas--"

"Aku tidak ingin kau terus membahasnya. Aku tidak akan mengajakmu menemui mereka. Sebaiknya kita kembali ke kamar. Masih terlalu malam." Yudanta membuat Dara bangun dari pangkuannya. Dia kemudian berjalan ke kamar dengan menggandeng tangan istrinya.

Dara mungkin takut saat Yudanta terluka, tapi bagaimanapun Kaito adalah kakeknya. Dara tidak mau menekannya, karena ini sulit untuk Yudanta.

"Besok pagi lakukan tes. Aku ingin tau jawabannya. Bolehkan?" Yudanta meminta Dara untuk mengecek apa dirinya benar sedang hamil atau tidak.

"Mas masih bersikeras dengan tebakan itu? Baiklah, janji kalau tebakan Mas salah, apa yang aku mau Mas turuti," ujar Dara. Mereka berdua sedang berbaring di atas tempat tidur sambil berbicara.

"Bagaimana kalau aku benar. Apa aku boleh kembali menjadi ketua genk motor?" Pertanyaaan Yudanta membuat Dara mendongak dan melihat wajah suaminya.

"Tidak bisakah kita hidup seperti di Bali. Menjadi pasangan biasa. Tidak ada kekerasan dan juga luka. Mas tau, lebih menyakitkan melihat orang yang aku cintai terluka daripada aku menyayatkan pisau di pergelangan tanganku sendiri. Kita kembali ke Bali saja ya Mas?" Dara menatap Yudanta yang hanya diam. Apa itu bisa dia lakukan. Mustahil mereka akan aman saat kembali.

"Sayang--"

"Jujur saat aku memilih pulang. Hal yang kau harapkan itu akan sulit untuk kita. Karena yang mereka harapkan dariku adalah memberiku luka. Dan lagi--" Yudanta menghentikan ucapannya.

"Lalu apa kita akan selamanya seperti ini, Mas?" tanya Dara.

Yudanta semakin bingung akan jawaban apa yang dia berikan pada Dara. Dia tidak bisa menjanjikan kenyamanan untuk sekarang. Apalagi dia bukan lagi ketua genk motor ataupun Gangster yang bisa membuat anggotanya tunduk. Yang terjadi, Yudanta sendiri yang akan menyerahkan nyawanya.

"Pejamkan matamu sekarang. Aku sudah mengantuk." Yudanta mengalihkan pertanyaan Dara. Dia tidak tau jawaban dari pertanyaan istrinya.

"Beberapa hari ini aku bermimpi tentang anak perempuan, kira-kira usianya 1 tahun. Dia lucu dan menggemaskan. Matanya seperti milikmu, dengan satu lesung pipi di kiri. Namun, yang membuatku sedih, kau tidak bersama kita. Ke manapun aku mencarimu dengan anak perempuan itu, aku tak menemukanmu," ujar Yudanta. Dia malah bercerita tentang mimpinya.

"Kenapa aku jadi ingat tentang tebakan Mas. Apa mungkin itu anak kita yang tiada, Mas?" Mengingat kejadian itu, Dara memeluk erat suaminya. Kesedihannya masih dia rasakan hingga detik ini. Rasa sakitnya juga mengingatkan Dara akan perlakuan 2 pria yang mengejarnya.

"Aku juga berpikir seperti itu. Kenapa hanya kita berdua? Apa itu artinya aku akan menyusulnya," jawab Yudanta.

"Mas ini bicara apa! Dara tidak membiarkan Mas meninggalkanku. Aku ingin bersama Mas ke manapun berada," sahut Dara.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang