80

561 18 0
                                    

Hal yang sangat Dara suka ketika suaminya ada di sampingnya, di saat dia baru membuka matanya. Kata maaf terus Dara ucapkan saat dia memeluk erat Yudanta yang berbaring di sampingnya.

"Berhenti menangis. Aku sangat lapar, bisakah kau siapkan sarapan untukku sayang? Tapi jika kau merasa mual atau pusing, tinggallah di sini saja." Dengan mata yang terpejam, Yudanta membalas pelukannya pada sang istri.

"Aku akan siapkan sebentar," jawab Dara. Dia coba untuk bangun, namun saat akan turun kepala terasa berputar. Dia urungkan untuk turun, dia hanya diam sambil memegangi kepalanya sejenak.

"Ada apa?" tanya Yudanta yang melihat istrinya terdiam di ujung tempat tidur.

"Maafkan aku. Kepalaku pusing," jawab Dara.

Yudanta bangun dan memeluk dari belakang tubuh istrinya. Dara langsung menyandarkan tubuhnya yang terasa lemas pada Yudanta.

"Rasa tidak nyaman ini terus mengangguku. Aku jadi tak bisa melayanimu dengan benar," ucap Dara.

"Tidak apa-apa, sebaiknya berbaring lagi. Sepertinya anak Ayah ini masih rindu berbaring bersama ayahnya." Yudanta mengusap perut Dara pelan, tak lupa dia mencium lekuk leher sang istri.

Dara membalas usapan suaminya dengan memegang tangannya. "Ke mana cincin kawin, Mas?" tanya Dara saat merasa di jemari suaminya tak ada melingkar cincin kawin mereka berdua.

"Benar juga. Aku bahkan baru tau." Yudanta coba mengingat di mana dia meletakkan cincin pernikahannya. Seingatnya dia tak melepaskannya, entah efek mabuk semalam, tapi ke mana. Tak ada cincin yang melingkar di jemarinya, hanya ada lebam bekas memukul Juan semalam.

Yudanta segera mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu anak genk motor yang ada di basecamp, siapa tau mereka menemukannya.

"Tolong simpan dulu kalo melihatnya. Aku lupa meletakkannya di mana. Apa kau sudah membereskan bekas minumanku semalam?" tanya Yudanta.

"Sudah, Bos. Kebetulan aku sendiri yang merapikannya. Tak ada cincin atau semacamnya. Hanya senjata Bos yang tertinggal," jelasnya.

"Simpan itu, berikan Kale ataupun Brian jika mereka datang. Aku minta tolong padamu, ini hidup dan matiku. Kau harus memberiku kabar jika menemukannya." Yudanta menatap istrinya yang sedang melirik dengan bersilang tangan.

Yudanta tersenyum melihat lirikan dari istrinya. Dia benar-benar lupa dengan cincin kawinnya. "Aku akan mencarinya di mobil. Tunggu di sini sebentar," pinta Yudanta sambil beranjak dari tempat tidurnya.

Dara tersenyum sambil menggeleng pelan tingkah suaminya itu. Tidak biasanya Yudanta melupakan cincin kawinnya. Karena biasanya dia akan terus memakainya, tapi malah sekarang dia lupa meletakkan cincin itu di mana.

"Kau sedang apa?" Brian dengan kepala terbalut perban di area lukanya menghampiri Yudanta yang sedang di dalam mobilnya.

"Cincin kawinku hilang. Aku tak menemukannya di mana pun," jawab Yudanta yang sudah mengobok isi mobilnya, tapi tak menemukan cincin itu.

"Ah!!" keluh Yudanta kesal. Dia memukul kemudi mobilnya.

"Apa tidak lupa di kamar mandi?" tanya Brian.

"Eh ... tunggu, kenapa kau di sini. Bukankah lebih baik kau istirahat," ucap Yudanta. Dia tak fokus pada temannya yang datang dengan kepala terbalut perban, walau di tutupi dengan topi.

"Apa benar kau menyingkirkan Juan semalam?" tanya Brian.

Yudanta terdiam. Kegilaan semalam membuatnya memikirkan begitu keras apa yang akan dia lakukan untuk membuat semua berjalan seperti rencananya. Biarkan saja dia dianggap serakah, tapi ini yang akan Yudanta lakukan demi melindungi Dara. Dengan kekuasaan yang dia pegang.

"Setidaknya aku membalaskan apa yang dia perbuat padamu," tutur Yudanta santai. Dia tak menjelaskan dengan detail apa yang terjadi. Pasti Brian akan marah padanya lagi, dan dia sedang tidak ingin mendengarkan omelan sahabatnya itu.

"Haruskah dengan membunuhnya?" tanya Brian.

"Mas, apa su-dah ketemu?" Dara yang mendengar sekilas pertanyaan Brian menatap terkejut.

"Tidak. Aku akan mencarinya lagi nanti. Aku coba untuk mengingatnya." Yudanta keluar mobil dan menghampiri Dara.

Dara terdiam, dia bingung harus bicara apa. Ingin dia bertanya, tapi takut Yudanta kembali marah, bukankah ini harapannya? Membunuh Juan agar tidak menciptakan masalah terus.

"Bukankah kau pusing. Kenapa malah menyusul ke sini. Sebaiknya kita ke kamar, aku akan menggendongmu." Yudanta membawa Dara dalam gendongannya ala brige style.

"Istirahatlah di sini saja. Jangan melakukan apapun, aku tak ingin kekasihmu membunuhku karena memaksamu datang," ujar Yudanta pada Brian yang juga diam. Merasa bersalah atas pertanyaannya.

Jika memang benar Yudanta membunuh Juan, bukankah itu artinya suami Dara seorang pembunuh. Apa bedanya dengan Juan kalau memang seperti itu, tapi Yudanta tak menjelaskan apapun yang terjadi pada kakaknya.

"Ada apa? Apa pertanyaan Brian mengganggumu?" tanya Yudanta. Dia membawa Dara ke kamar mereka.

"Walau aku ingin Mas membunuhnya, tapi kenapa terasa sakit saat mendengar pertanyaan itu. Aku coba untuk tidak peduli, tapi itu terus mengganggu pikiranku," jelas Dara.

"Apa kau pikir aku akan melakukannya?" tanya Yudanta.

"Entahlah, karena aku merasa Mas berbeda saat marah. Aku seperti melihatmu yang dulu, di mana Mas mengambil kesucianku dengan paksa," jelas Dara dengan menatap wajah Yudanta.

Yudanta menghentikan langkahnya, dia menatap Dara yang juga menatapnya. "Apa aku membuatmu takut? Aku hanya tak ingin siapapun melukaimu, apalagi kakakmu. Dia sudah keterlaluan, saat aku hanya diam menerima perlakuannya, namun yang terjadi kau tetap menjadi targetnya. Dia tak peduli walau tau kau sedang hamil. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun atas apa yang dia perbuat, itu yang membuatku marah," jelas Yudanta. Walau terkenal dingin, Yudantan bukan tipe orang yang akan melampiaskan emosinya pada seseorang yang tidak bersalah. Dia mungkin tidak akan melepaskan targetnya, tapi dia akan melihat bagaimana lawannya memperlakukan dirinya.

"Lalu jika begitu apa Mas benar membunuh Kak Juan?" tanya Dara.

"Bisakah tidak membahas hal itu? Yang terpenting sekarang dia tak akan mengganggumu lagi," sahut Yudanta mengalihkan pembicaraan yang sedang Dara bahas.

"Sayang ..."

Yudanta tidak menjawab, dia membawa Dara ke kamarnya sebelum dia masuk ke kamar mandi untuk mencari lagi cincinya yang hilang.

Di atas tempat tidur Dara coba meyakinkan diri agar apa yang dia tau ini tidak membuatnya menyesal. Juan sudah keterlaluan, dan Juan pantas mendapatkan perlakuan yang seperti itu. Saat Polisi saja tidak membuatnya jerah, mungkin mengakhiri hidupnya akan membuat Dara aman.

Namun, kenapa harus Yudanta yang membunuhnya. Tidak kah itu akan menjadi penyesalan yang dalam untuk Yudanta.

"Ahh!!" Teriak Yudanta di dalam kamar mandi. Dia meluapkan kekesalannya di sana dengan memukul cermin. Membiarkan tangannya terluka karena pukulan itu.

"Mas, kau baik-baik saja?" tanya Dara yang langsung menghampirinya karena mendengar teriakan dan juga sesuatu yang pecah.

Pintu kamar mandi terkunci rapat dari dalam oleh Yudanta, tidak ingin Dara masuk apalagi saat dia sedang meluapkan emosi. Pikirannya masih saja kacau walau dia memikirkan cara, apalagi pertanyaan itu membuat Yudanta kembali ingat akan masalah Juan.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang