19

3K 61 0
                                    

Setelah Yudanta pergi, Dara segera bersiap. Dia urung berangkat siang setelah mendapatkan telepon dari kakaknya, jika dia sedang sakit. Awalnya dia tidak mau, tapi hati kecilnya ingin melihat kondisi keluarga yang dia miliki.

Di perjalanan, Dara coba menghubungi Yudanta, namun tidak di jawab. "Biarkan saja, hanya sebentar saja, tidak akan apa-apa," ucapnya.

Dara dengan ragu berjalan ke rumahnya, dan melihat di mana kakaknya sedang terbaring di ruang tengah rumahnya. Segera Dara mengecek kondisi kakaknya itu dengan khawatir.

"Kau pikir bisa lepas dariku saat kau bersamanya." Dengan cepat Juan mencekik leher Dara yang menatap khawatir kakaknya.

"Akh ... kak ...."

"Sampai kapanpun kau itu tidak bisa pergi dariku. Kau itu adikku. Harusnya kau sadar, kau bahkan melupakanku. Hanya aku yang kau miliki," tutur Juan. Dia tidak melepaskan cekikkan pada leher Dara yang sudah kesulitan untuk bernafas.

"Kak ... aku ...."

"Kau tau bagaimana dia memperlakukan diriku. Kau harus menerima apa yang sudah aku rasakan. Kau harus menerimanya." Juan semakin mencekik leher Dara yang sudah merasa sesak. Dia bahkan meneteskan air mata merasakan siksaan dari kakaknya.

Juan memang tidak pernah ada kapoknya. Dia kembali memperlakukan Dara dengan kasar. Dia tidak peduli jika adiknya akan mati di tangannya.

"Aku butuh uang. Berikan aku uang sekarang." Jika sudah begini, biasanya Juan akan mabuk. Dia selalu meminta uang pada Dara, bukannya memberi tapi dia malah meminta pada sang adik.

"Tolong ... lepaskan dulu ... aku mohon," tutur Dara dengan terbata-bata.

Juan kemudian membanting tubuh Dara ke samping tanpa belas kasih. Meninggaalkan leher Dara yang merah karena cekikan keras dari Juan.

Dengan tangan yang bergetar, Dara mengambilkan uang untuk kakaknya. Uang yang dia dapat dari pesangon kemarin diambil paksa oleh Juan.

"Jangan semua. Aku butuh untuk keseharianku," ucap Dara memohon pada Juan agar kakaknya tidak mengambil semua uangnya.

"Kau ingin membantah? Kau ingin membantah?" Bentak Juan sambil mencari benda yang biasa dia gunakan untuk memukul Dara. Kejam memang, tapi Dara hanya diam mendapatkan perlakuan dari kakaknya. Bisa saja dia pergi dan melaporkan tindakannya pada polisi, tapi dia tidak melakukan itu, karena Juan adalah kakaknya.

"Tidak. Aku mohon tidak, Kak." Dara bersujud memohon ampun pada Juan yang akan memukulnya.

"Kau saja mengenakan baju mewah sekarang, saat kakakmu ini hidup dengan kemiskinan karena Ayah yang tidak bertanggung jawab. Dia memberi kita banyak hutang, dan pergi begitu saja. Dan aku harus merawatmu, menyusahkan sekali."

Brukkkk

Satu pukulan mendarat di punggung Dara, apalagi dengan posisi bersujud dengan mudahnya Juan memukulnya. Tidak hanya sekali, Juan memukul Dara beberapa kali, tidak peduli saat adiknya akan mati dengan penyiksaannya.

"Ampun Kak. Tolong hentikan." Walau memohon pun, Juan tidak membiarkan Dara selamat dari pukulannya.

"Adukan nanti pada kekasihmu itu, aku tidak peduli. Kau tega padaku saat kau mau mengadukan apa yang aku lakukan ini padamu." Juan menjambak rambut Dara agar menatapnya. Air mata terus mengalir membasahi pipinya. Merasakan setiap rasa sakit di luka pukulnya.

Kembali Juan membanting ke samping tubuh Dara sampai dia terkulai lemas karena pingsan. Juan yang sudah mendapatkan uang, segera pergi meninggalkan Dara. Membiarkan adiknya itu tergeletak di lantai yang dingin seorang diri.

Sungguh kejam, karena kekecewaannya pada orang tua, Juan melampiaskan kemarahannya pada Dara. Dia merasa hidupnya begity jahat dan tidak adil.

***

Yudanta yang sedang duduk di basecamp teringat tentang Dara. Sejak tadi dia tidak melihat ponselnya. Dia sedang bertemu dengan ketua genk Cobra yang katanya, anggota mereka menyerang. Tangannya terluka karena menghajar beberapa orang yang menjadi dalang kerusuhan itu, dan setelah masalah selesai, Yudanta kembali ke basecamp, dia tidak langsung pulang.

Yudanta segera menghubungi Dara saat melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Dara sejak pagi tadi.

"Ke mana dia?" Dara tidak menjawab panggilan telepon darinya. Dia tidak sekali coba menghubungi Dara, tetap saja tak ada jawaban.

"Kau akan tetap di sini atau pulang?" tanya Brian.

"Aku akan pulang. Aku lelah sekali," jawab Yudanta. Dia coba berpikir jika Dara sedang asyik dengan temannya, walau dia berharap Dara segera menjawab telepon darinya.

Yudanta memilih pulang. Di perjalanan Yudanta coba memejamkan mata. Rasa kantuk mengusai dirinya karena semalam dia tidak tidur dengan tenang. Otaknya terus berpikir tentang Dara yang masih mengalami ketakutan.

Sampai di rumah, Yudanta tidak mendapati Dara sudah pulang. Entah ke mana dia pergi, kenapa dia sampai tidak menjawab telepon darinya.

"Apa Anggun sudah dengan kegiatannya?" tanya Yudanta pada Brian

"Belum. Memangnya kenapa? Aku akan menemuinya setelah ini, apa ada yang penting?" tanya Brian lagi.

"Tidak. Sudahlah, mungkin dia juga sedang sibuk. Sebaiknya aku tidur sebentar sebelum menjemput Dara nanti."

Yudanta naik ke kamarnya dan langsung membaringkan tubuhnya. Dia sangat lelah. Dia bahkan tidak mengobati tangannya yang lecet karena memukul lawannya.

***

Pukul 8 malam, Yudanta terbangun. Dia teringat jika akan menjemput Dara, tapi saat melihat ponselnya tidak ada balasan dari Dara. Dia mulai merasa aneh, dia segera turun dan menghubungi Kale. Memintanya untuk mencari Dara, kenapa sampai belum pulang.

"Dia belum pulang. Bisa kau cari dia? Apa kau tau di mana temannya berada?" tanya Yudanta dari sambungan teleponnya. Dia segera menghubungi Brian dan menanyakan Anggun, siapa tau dia tau di mana teman Dara.

"Aku tidak tau. Hanya saja aku kemarin dengar jika temannya mau mencarikan pekerjaan baru untuknya. Mungkin saja dia pergi ke temannya itu," jelas Anggun.

"Pekerjaan baru? Apa dia di pecat dari pekerjaan lamanya?" tanya Yudanta.

"Ya, dia di pecat. Tapi dia tidak ingin kau tau. Dia merasa malu jika kau tau tentang ini. Dia mau mencari pekerjaan baru, dan menceritakan padamu," ungkap Anggun.

"Kenapa kau baru bilang. Cari di mana temannya itu dan tanyakan. Aku akan mencarinya di tempat Juan." Setelah menutup sambungan teleponnya, Juan segera ke tempat Juan dengan motornya.

Dengan kecepatan penuh, Yudanta mengarahkan motornya ke rumah Juan. Di berharap jika Dara ada di sana. Ke mana lagi dia akan pergi, gadis polos itu tidak banyak bergaul karena dia selalu merasa takut.

"Kau tau di mana Dara?" tanya Yudanta saat bertemu dengan Juan yang sedang mabuk di rumahnya bersama para sahabatnya.

"Aku tidak tau. Bukankah kau yang menjaganya sekarang, kenapa kau bertanya padaku," jawab Yudanta dengan bau alkohol yang kuat.

Yudanta menatap ke sekitar rumah, dan melihat ada tas Dara di bawah kursi dekat Juan. "Dia pasti di sini. Ke mana dia?" Bentak Yudanta pada Juan saat mengambil tas milik Dara.

"Aku tidak tau. Cari sendiri saja," jawabnya dengan santai.

"Kau berbohong padaku." Yudanta menendang meja yang Juan gunakan untuk minum, membuat botol minuman keras itu tumpah semua.

"Kau!!"

Yudanta yang tak bisa lagi berpikir dengan benar, memukul wajah Juan sampai dia tersungkur. Beberapa pukulan mendarat pada wajahnya.

"Apa pedulimu. Dia itu adikku. Kenapa kau begitu peduli padanya. Cari sendiri kalau kau mau tau, karena aku tidak tau di mana dia," ujar Juan.

"Ingin sekali aku membunuhmu!" Bukannya takut, Juan malah tertawa puas. Dia memang tidak punya otak, adiknya hilang tapi Juan malah tertawa.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang