26

2.8K 68 0
                                    

Dara menatap Yudanta dengan air mata yang tak hentinya jatuh membasahi pipi. Tubuhnya bergetar takut saat Yudanta tak kunjung menyauti panggilannya. Rasa sesak di dadanya tidak dia pedulikan, rasa takut itu menghantuinya. Dia berharap ini tidak benar, tapi darah yang ada di tangan Dara nyata.

"Sudah cukup, kau hanya akan membuatnya ketakutan," ucap Kale yang hanya dia di belakang Dara yang menangis.

Dara masih belum paham dengan apa yang Kale katakan, dia masih terdiam sambil menatap Yudanta. Sampai suara batuk membuat Dara menatap lekat tubuh kekasihnya.

"Aku tidak bertanggung jawab dengan keisengan kalian." Kale berjalan keluar. Dia tidak tega melihat Dara yang sudah sangat hancur dengan kondisi ketakutan.

"Dar, bukankah ini hari ulang tahunnya. Kenapa kau menangis. Pukul saja dia sudah membuat rencana ini," sahut Brian.

Tak lama Yudanta tertawa sambil menatap Dara yang ketakutan. Dia menatap bingung dengan apa yang mereka lakukan padanya.

"Apa kalian mengerjaiku?" tanya Dara dengan suara bergetar. Matanya tak hentinya menangis. Nafasnya juga berat.

"Maafkan aku," jawab Yudanta. Yang terjadi selanjutnya, dia dibuat panik saat Dara terkulai pingsan karena rasa sesak di dadanya.

Kepanikan terjadi saat Dara pingsan. Mereka menjaili Dara karena ini hari ulang tahun Yudanta, tak peduli jika Dara akan pingsan seperti ini. Sebenarnya Yudanta memang terluka, tapi dia membuat Dara semakin khawatir saat darah ada di tubuh kekasihnya.

"Sayang, kau sudah sadar?" tanya Yudanta, dia berada di samping Dara yang baru membuka mata, menetralkan pandangannya.

Dara tidak menjawab, dia menatap Yudanta dengan diam. Matanya kembali menangis saat pandangannya sudah jelas ada Yudanta di sampingnya.

"Maaf, aku sudah mengerjaimu. Kau tidak menjawab telepon dariku, Anggun kemudian menjemputmu. Maaf sudah membuatmu bersedih," tutur Yudanta, tapi Dara tetap diam.

"Bicaralah, jangan hanya diam. Marah saja padaku," aku mohon sayang," ucap Yudanta lagi.

"Apa itu lucu untukmu?" Dara mulai membuka mulutnya.

"Maafkan aku." Kata maaf yang bisa keluar dari mulut Yudanta.

"Sebaiknya aku pulang." Dara coba untuk bangun. Dia tidak peduli dengan Yudanta yang coba menghentikannya.

Dara berjalan keluar kamar, diikuti Yudanta yang memegang perutnya. "Sayang, tunggu. Aku menggaku salah. Sudahlah kita masuk dulu."

"Aku sudah ingatkan dirimu. Ini tidak lucu," timpa Kale.

"Kak Kale, bisa antar aku pulang? Aku tidak mau di sini," tuturnya dengan air mata yang tak hentinya menetes. Dara menyeka kasar air matanya.

"Dia memang terluka, lihatlah. Dia tidak berbohong, walau dia berlebihan," sahut Brian.

Seperti tidak mau peduli, Dara berjalan keluar basecamp saat Kale hanya diam ketika dia ingin minta antar pulang.

"Mau ke mana?" tanya Anggun saat melihat Dara berjalan keluar diikuti Yudanta.

"Aku memang bodoh, tapi aku tidak suka saat seseorang bercanda tentang kondisinya. Maafkan aku, Mbak," ujar Dara yang kemudian berjalan pergi.

Saat Anggun akan menghalangi Dara, dia dapat gelengan kepala dari Yudanta yang sejak tadi mengikuti Dara. Bahkan dia berjalan jauh dari basecamp dengan jalan yang tertatih, dia tetap mengikuti Dara yang berjalan sambil menangis. Cara bercanda Yudanta memang keterlaluan, tapi dia memang sedang terluka. Perutnya tergores oleh pisau yang lawannya pegang karena kurang hati-hati.

Langkah Yudanta terhenti saat Dara berjongkok dan menangis. Dia menyembunyikan kepalanya di lututnya.

"Pergilah, aku ingin sendiri," ucap Dara.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Akh ... bercandaku memang berlebihan. Maafkan aku," tutur Yudanta.

"Aku melihat dengan mataku sendiri saat orang tuaku menghembuskan nafas terakhirnya setelah kecelakaan yang menimpa mereka. Darah menutupi sebagian wajah mereka. Kecelakaan itu membuat orang tuaku pergi meninggalkanku di sini. Kalau saja mereka masih ada, mungkin Kak Juan tidak mungkin seperti ini padaku. Rasanya sakit sekali saat melihatmu dengan darah di sekujur tubuhmu. Hal yang pernah aku rasakan sebelumnya aku lihat padamu tadi. Aku memang gadis bodoh, aku--" Yudanta membawa Dara dalam pelukannya. Trauma akan kehilangan orang tuanya membuat Dara bersikap seperti sekarang. Dia takut, dia tidak mau Yudanta juga bernasib sama dengan orang tuanya.

"Maafkan aku. Harusnya aku tidak sebodoh ini, aku tidak akan melakukannya lagi."

"Sudah takdirku hidup seperti ini. Makanya aku lemah, karena aku cenggeng seperti ini. Menjengkelkan sekali. Kau jahat." Dara mendorong tubuh Yudanta, tapi langsung Yudanta peluk lagi Dara.

"Akh ...," rintih Yudanta lirih, di bahkan tertunduk menahan sakit.

Dara langsung menopang tubuh Yudanta yang hampir terjatuh karen rasa sakit di perutnya. Luka sayat itu begitu dalam sampai darah terus mengalir deras dilukanya.

"Kita kembali ke basecamp sekarang?" tanya Yudanta.

"Sebenarnya dari mana kau dapatkan luka ini." Walau tau bagaimana reaksi Yudanta, dia tetap bertanya. Dan memang Yudanta tak menjawab apa yang Dara tanyakan.

Dengan tubuh ringkihnya, Dara berusaha untuk menopang tubuh Yudanta yang kekar berjalan kembali ke basecamp.

"Suasananya begitu sepi. Lihatlah di ujung sana terlihat lampu kota, bukankah itu indah?" Yudanta menujuk ke sisi kanannya. Pemandangan lampu yang menyalah di kota itu menambah keindahan.

"Boleh aku bertanya?" tanya Yudanta.

"Katakan saja, tapi apa ini bukan pertanyaan jebakan? Kau suka sekali mengerjaiku," jawab Dara.

"Tidak. Hanya saja, apa kau akan tetap bersamaku saat apa yang tidak kau tau pada akhirnya kau ketahui?" tanya Yudanta.

"Aku tidak mau ada rahasia dintara kita, jadi aku akan pergi saat kau merahasiakan sesuatu dariku." Yudanta terdiam saat Dara menjawab pertanyaannya.

"Katakan saja sekarang, sebenarnya apa yang kau tutupi dariku. Darimana luka ini kau dapatkan?" Haruskah Yudanta mengatakan pada Dara saat hanya orang tertentu yang tau, pekerjaan apa yang sebenarnya Yudanta lakukan sampai di bisa terluka.

"Aku harap kau tau, dan aku harap kau tetap bersamaku, meski apa yang akan terjadi nanti. Aku tetap akan bersamamu. Tidak akan melepaskanmu, seperti janjiku." Yudanta belum siap untuk mengatakannya, karena ini bukan pekerjaan yang mudah.

"Kau tetap tidak akan mengatakannya?" tanya Dara.

"Maukah kau menikah denganku secepatnya?" tanya Yudanta. Sorot matanya menunjukan jika dia sedang serius. Dia tidak sedang bercanda dengan apa yang dikatakan.

"Aku perlu bukti, bukan hanya pengakuan," sahut Dara. Jika Yudanta menganggapnya tunangan di hadapan kakeknya, dia ingin keseriusan Yudanta apabila dia ingin menikahi gadis polos seperti Dara.

"Oke, aku akan buktikan itu sekarang." Yudanta mengandeng tangan Dara dan berjalan tertatih ke basecamp. Dia mengiyakan apa yang Dara mau. Tidak peduli apa yang nanti terjadi, dia hanya tidak ingin Dara meninggalkannya.

"Aku mohon percaya padaku, saat apapun nanti yang akan terjadi. Apa kau mau tetap bersamaku?" tanya Yudanta.

"Bukankah menjalin hubungan tidak boleh adanya rahasia. Katakan dulu, apa yang menjadi rahasiamu padaku."

"Asal kau tau, priamu ini adalah seorang gangster," tutur Yudanta dengan menatap wajah Dara yang tampak terkejut dengan penuturan Yudanta. Harapan Dara bukan ini, apa bedanya dia dengan Juan jika Yudanta juga melakukan hal yang sama.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang