46

1.2K 36 12
                                    

Yudanta segera melajukan motornya meninggalkan gedung tua, dengan luka di perutnya. Dia harus cepat pulang dan bertemu dengan Dara. Dia tidak mau harus mati di sana, dia ingin melihat istrinya.

Yudanta menghentikan laju motornya saat rasa sakit itu menguasi dirinya, namun dia harus tetap pergi. Dia harus bertemu dengan Dara.

"Akh ..." Yudanta tertunduk pada tangki motornya. Tubuhnya benar-benar tidak kuat lagi untuk bertahan.

"Kau harus pulang. Harus ... pulang." Yudanta menekan luka di balik jaket yang dia kenakan. Rasanya begitu menyiksanya.

Dengan tenaga yang tersisi, Yudanta melajukan motornya agar segera sampai di rumahnya. Bayangan di mana senyum manis Dara terus teringat dalam benaknya. Seseorang wanita yang membuat hari Yudanta berubah, sosok yang membuatnya tau tempatnya pulang. Dara segelanya untuk Yudanta yang kesepian.

"Bos datang," teriak salah satu anggota genk saat mendengar suara motor Yudanta masuk halaman rumah.

Dara yang memang menunggu Yudanta dengan rasa khawatir. Segera berdiri dan berlari keluar. Dan benar saja, dia melihat suaminya pulang. Dia tersenyum lega saat melihat Yudanta ada di hadapannya sekarang.

Yudanta membuka helmet yang dikenakan. Wajah bebak belurnya membuat Dara terkejut, tapi tidak masalah, asal dia bisa pulang. Itu sudah membuat Dara lega.

"Mas--" Dara masih menatap Yudanta yang tersenyum manis dibalik rasa sakit yang menguasai dirinya.

"Kau menungguku?" Yudanta perlahan turun dari motornya. Berjalan perlahan dengan tangan yang memegang lukanya di balik jaket yang di kenakan.

"Aku mengkhawatirkanmu. Mas bahkan--"

Belum menyelesaikan ucapannya Dara dikejutkan Yudanta yang hampir terjatuh saat Dara tidak memeganginya. "Mas!" Teriak Dara ketika Yudanta memuntahkan darah. Hingga darah itu mengenai Dara.

"Yuda!" Kale dan Brian yang baru akan menghampirinya segera berlari ke arah Yudanta yang sudah terbaring di pangkuan Dara.

"Mas--" Tatapan senduh Dara menjadi ketakutan saat Yudanta malah terkulai seperti ini.

"Jangan menangis. Maafkan aku ... aku terlalu bodoh." Yudanta memegang pipi Dara dengan darah yang ada di tangannya.

"Apa yang terluka. Kita ke rumah sakit sekarang!" Kale tampak panik saat melihat darah di tangan Yudanta.

"Sudahlah, bodoh. Kau berisik sekali. Mungkin ini akan menjadi akhir hidupku. Bisakah ... kau menjaga Dara untukku," pinta Yudanta.

"Mas, perutmu terluka?" Dara menemukan luka di tubuh Yudanta yang sedang bicara dengan Kale.

"Hei ... sudahlah. Tidak perlu menangis. Dengarkan saja aku kali ini tanpa membantah. Hmmm?" Yudanta sejenak memejamkan mata, coba mengatur nafas agar bisa bicara pada Dara.

"Tidak. Kita ke rumah sakit sekarang. Mas terluka." Tangan Dara memegang luka Yudanta dengan bantuan suaminya.

"Percuma saja. Cukup dengarkan aku. Maafkan aku sudah memberimu duka. Aku tidak bermaksud menjadikan masalah ini semakin panjang, malah masalah ini rumit karenaku. Maafkan aku tidak bisa menepati janjiku untuk mengungkapkan kematian orang tuamu. Tapi ..." Yudanta menghentikan bicaranya saat rasa sesak menguasai dirinya.

"Sudahlah, Mas. Jangan terus bicara."

"Tidak. Aku hanya ingin kau tau dalang dari kematian orang tuamu adalah Kakek. Juan tau tentang ini, entah dia percaya padaku atau tidak, itu bagaimana dia. Aku ... hanya ingin kau bahagia dengan hidupmu. Jangan lagi merasa takut, karena mereka akan bersamamu." Maksud Yudanta adalah para sahabatnya.

"Yuda--" panggil Brian.

Yudanta menatap ke arah Brian yang ada di samping Brian. "Apa kau bodoh! Jangan lagi mencari ulah. Kau harus percaya pada sahabatmu ... aku titip Dara pada kalian. Jaga dia untukku," ucap Yudanta.

"Maafkan aku," sahut Brian. Dia mengutuk kebodohannya karena sudah membuat Yudanta marah padanya.

"Berhenti meminta maaf, aku ... akh!" Kembali Yudanta memejamkan mata saat rasa sakit itu tidak bisa dia tahan lagi. Seperti tusukan yang Juan lakukan di perutnya itu tidak Juan lepaskan, karena rasanya begitu sakit.

"Mas! Kenapa kalian hanya diam. Panggil ambulan. Cepat!!" Teriak Dara yang sudah ketakutan akan kondisi Yudanta. Tangannya saja sampai bergetar karena takut. Air mata terus menetes membasahi pipinya.

"Jangan takut ... aku ... tidak ingin kau takut. Maafkan
... aku sayang. Bukankah kau percaya ... padaku?Aku mencintaimu." Dara hanya menganggukkan kepala menjawabnya. Yudanta tersenyum di sela rasa sakit yang menguasai dirinya. Mengusap pelan pipi istrinya yang tampak ketakutan, jarinya begitu lembut memegang Dara hingga tangan Yudanta terkulai lemas setelah mengatakan itu pada Dara dengan tersenyum pada sang istri.

"Mas ... Mas. Bangunlah, Mas!!!" Dara sedikit mengguncang tubuh Yudanta yang terkulai lemas dia pangkuannya.

"Kak Kale, bangunkan dia. Bawa dia ke rumah sakit. Aku mohon, Kak." Dara tidak mau jika ini harus menjadi akhir dari Yudanta. Apalagi setelah Yudanta meyakinkan dirinya jika dia akan membalas cinta Yudanta.

"Kak Brian. Kenapa kalian hanya diam. Mas, bangunlah. Aku tidak mau kau pergi. Aku ingin bersamamu." Ini seperti tidak nyata. Dara berharap ini hanya mimpi saat Yudanta terbaring bersimbah dari di pangkuannya. Bahkan suaminya itu terkulai tak berdaya. Wajahnya tampak penuh luka, bekas darah di sebagain wajah dan mulutnya. Wajah tampan pria 29 tahun itu tampak menyedihkan, dengan mata yang terpejam erat, tak ada tanda untuk membukanya lagi.

"Mas Yuda!!" Teriak Dara saat melihat suaminya terkulai dan tak lagi bergerak. Hancurnya diri Dara saat ini karena Yudanta dengan tega meninggalkannya setelah memberi nyaman.

Tangis Dara pecah, kelagaan hatinya ternyata hanya sesaat saja. Yudanta datang dengan kondisi perut tertusuk. Dia menahan rasa sakit itu untuk bertemu dengan Dara. Saat sudah bertemu, dia malah menyerah dengan rasa sakitnya.

Tangan Dara yang bergetar memukul pelan tubuh Yudanta, dengan mulut yang terus memanggil nama suaminya. Bagaimana dia bisa bahagia saat tak ada Yudanta lagi di sampingnya. Tidak ada artinya dia hidup seperti ini, dia tidak mau merasakan luka hatinya sendiri.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Kale saat Dara berlari ke dapur dan mengambil pisau.

"Aku tidak mau hidup tanpanya. Aku ingin pergi bersamanya."

"Apa kau gila!" Kale menarik lengan Dara yang memegang pisau. Berusaha melepaskan pisau itu dari genggaman tangan Dara dan memeluk tubuh ringkih istri sahabatnya.

Dara menjerit, dia meluapkan kesedihannya atas kehilangan yang dia rasakan. Ini kedua kalinya dalam beberapa waktu ini setelah calon bayinya pergi.

***

"Aku sudah melakukan apa yang kau mau. Sekarang pastikan saja dengan anak buahmu apa Yudanta Wijaya sudah mati," ucap Juan.

"Kau memang bisa diandalkan. Aku tidak salah memilihmu. Aku harap kau bisa membantuku nanti," jawab Kakek Yudanta.

"Tapi aku ada yang perlu ku tanyakan padamu," sahut Juan.

"Apa benar kau yang merencanakan kecelakaan yang menimpah orang tuaku?" Pertanyaan Juan seperti ingin membenarkan apa yang Yudanta katakan. Sepertinya dia termakan juga dengan apa yang Yudanta ceritakan.

"Apa anak itu yang mengatakan itu?" tanya Kakek Yudanta.

"Ya, walau aku tidak peduli tentang itu. Hanya saja aku ingin tau kebenarannya. Sudah cukup aku mendapatkan apa yang menjadi keinginanku sekarang. Bukankah yang mati tidak akan bangun lagi, jadi tidak perlu ragu untuk mengatakannya. Aku tidak peduli lagi," jelas Juan.

"Aku hanya melakukan apa yang membuat orang senang saat aku melakukan tugas dengan benar." Dari jawabannya, jadi benar apa yang Yudanta katakan.

END???

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang