81

602 22 0
                                    

Yudanta duduk bersandar dengan tangan penuh darah. Dia memukul cermin di hadapannya setelah menjawab telepon dari seseorang. Entah dari siapa itu, tapi kabar itu membuat Yudanta marah dan meluapkan kekesalannya di kamar mandi. Tak peduli dengan ketukan yang Dara lakukan, fokusnya pada isi dalam otaknya.

Terlihat tenang, namun otak Yudanta terus berontak. Dia menatap layar ponselnya, mencari nomor seseorang yang bisa membantunya.

"Bantu aku, Juan melaporkanku ke polisi atas dasar penganiayaan. Aku tak bisa membiarkan istriku di sini sendiri saat Galih berharap melenyapkannya," tutur Yudanta.

Juan memang tidak mati, Yudanta hanya membuatnya pergi dari Jakarta, namun yang terjadi. Juan membuat laporan pada polisi dengan menyebutkan Yudanta sebagai pelakunya. Sepertinya ada salah satu anak buah Galih yang membuat laporan itu atau memang Juan berhasil dibawa lagi oleh mereka.

"Setidaknya menjadi berguna saat kau ingin aku melakukan apa yang kalian bahas kemarin. Aku menerima kau menjadikan diriku sebagai bonekamu. Untuk apalagi aku hidup jika bukan menjadi pecundang. Bereskan sisanya. Aku tak mau memberinya kesempatan kedua," tutur Yudanta.

Jika itu memang kakak Dara, Juan seperti tidak hilang akal untuk menghancurkan Yudanta. Kebahagian adiknya akan menjadi duri di hatinya. Salah Yudanta sendiri kenapa tidak langsung membunuh Juan saat itu. Bantuan Galih memang tidak bisa di sepele kan.

"Sayang, buka pintunya aku mohon," ucap Dara dari luar kamar mandi. Dia masih berharap suaminya segera keluar.

"Sayang ...."

Terdengar suara kunci buka dan tak lama Yudanta keluar setelah pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan tangan Yudanta yang terbalut handuk. Sekilas Dara melirik ke arah kamar mandi, terlihat berantakan.

"Ada apa, Mas? Kenapa melukai tangan Mas seperti ini. Apa pertanyaan Dara mengganggu, Mas? Aku hanya bertanya, tak memaksa Mas menjawabnya. Jika memang Juan tiada, aku tidak peduli," jelas Dara yang berjalan mengikuti Yudanta yang duduk di meja kerjanya.

"Mas ...."

"Aku tak membunuh kakakmu. Aku hanya meminta untuk membawanya pergi dari sini agar tidak menganggumu, dan bodohnya aku melupakan jika beberapa anggota genk motor tak lagi sejalan denganku. Mereka membantu Juan agar bisa melaporkan diriku ke polisi atas dasar penganiayaan. Bukankah kakakmu itu memang iblis? Aku masih memiliki hati agar tak membunuhnya, aku berpikir seburuk apa dia juga kakak untukmu, namun yang terjadi dia mempermainkan diriku. Walau kau bilang ingin membunuh kakakmu, tapi di lubuk hatimu tidak. Sorot matamu menandakan itu," jelas Yudanta. Dia menatap Dara yang hanya diam dan menangis di hadapan suaminya. Dia mematung, apa yang dia dengar membuatnya berpikir jika Juan memang sudah tidak waras.

Yudanta tersenyum sinis dan berkata. "Bukankah aku yang bodoh di sini? Jangan berharap lagi, agar kita bisa hidup seperti di Bali, karena itu tak akan terjadi. Suamimu ini hanya berandalan yang tak pantas menjadi baik," imbuhnya.

"Aku selalu memberimu masalah, Mas. Tolong maafkan aku," jawab Dara yang mulai membuka suara. Perlahan langkahnya mengarah pada pangkuan Yudanta yang ada di kursi kerjanya.

"Kau tak akan bahagia bersamaku," ucap Yudanta.

"Apa yang Mas katakan. Aku merasa beruntung hidup bersamamu," sahut Dara.

Yudanta hanya diam ketika istrinya memeluk dengan erat. Entahlah, apapun yang akan terjadi nanti. Bagaimana nanti saja. Yudanta tak bisa lagi berpikir saat 2 beban di pundaknya semakin membuat gila, bukannya berkurang malah terasa sangat berat.

Yudanta memilih istirahat di kamar sebelah, beberapa pelayan membersihkan pecahan cermin ulah dari Yudanta.  Dara sendiri hanya menatap suaminya dengan luka di punggung tangannya. Semarahnya Yudanta, hanya membentak yang dia tau. Dia pikir hanya akan sekali dia melihat sifat kasar suaminya, namun sifat seperti ini membuat Dara terkejut.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Kale pada Dara yang turun untuk menyiapkan makan untuk suaminya.

"Dia melukai tangannya dengan memukul cermin di kamar mandi, apa aku bisa mengatakan dia baik-baik saja, Kak? Aku merasa menjadi beban untuknya. Belum lagi Juan melaporkannya atas dasar penganiayaan yang Mas perbuat," jawab Dara.

"Tentang kakakmu. Entah apa yang Yudanta dengar, tapi yang sebenarnya membuat laporan adalah anak buah Galih. Dia membantu Juan untuk lolos dari anak genk motor. Jadi, sekarang kakakmu itu ada bersamanya." Mendengar penjelasan Kale, dia hanya diam. Bagaimana lagi Dara harus bersikap saat Juan masih saja tidak puas dengan ulah yang dia buat.

Setelah kepergian Kaito, bukannya ketenangan yang Yudanta dapat. Dia semakin di tekan oleh masalah yang bukannya pergi, masalah itu malah datang lagi dan lagi.

"Kak, apa Mas Yuda akan baik-baik saja. Maksduku tentang laporkan Kak Yuda?" Dara masih bicara dengan Kale di teras belakang. Tak ingin mengganggu istirahat suaminya.

"Aku tak tau rencana apa yang sedang dia pikirkan. Dia tak mengatakan apapun walau dihubungi oleh seseorang tentang laporan itu. Entah memang sudah ada yang membantunya apa tidak, aku akan pastikan nanti. Sebenarnya apa yang kakakmu cari? Apa dia kurang puas untuk menyiksa kalian berdua." Kale memang tidak berbuat apapun saat Yudanta menjadi samsak kakak iparnya, karena dia bisa apa saat Yudanta melarangnya.

Dara kembali termenung. Dia mengusap perutnya yang sedikit sakit, namuan tak sesakit kemarin. Pikirannya terus tegang, bagaimana dia tak merasa kram. Namun, bagaimana lagi. Yudanta sedang mendapatkan masalag, dan itu dari dirinya.

"Aku harap kau tidak terus memikirkannya. Percayalah pada Yuda, dan coba untuk menerima keputusan yang diambil. Tanpa kau menyalahkannya, dia sudah merasa bersalah," jelas Kale.

"Kebetulan kau di sini. Bisa kau menemaniku keluar?" Saat sedang asyik bicara, orang yang mereka obrolkan berjalan menghampiri mereka dengan penampilan yang lengkap. Mengenakan jaket, topi merah kesukaannya, dan juga sepatu. Walau sederhana, tapi terlihat begitu tampan.

"Mau ke mana, Mas?" tanya Dara.

"Aku harus ke rumah Kakek. Tidak apa-apa kan aku tinggal sebentar. Jangan pergi ke manapun tanpa seizinku," pinta Yudanta.

"Apa Mas merasa lebih baik?" Pertanyaan Dara membuat sang suami lebih dekat dengannya dan mencium bibirnya singkat tanpa perlawanan.

"Aku akan segera pulang." Yudanta mengalihkan pertanyaan istrinya dan mengusapnya pelan pipi kanannya. Walau tanganya terbalut perban, tetap saja Yudanta ingin pergi.

Kale berjalan lebih dulu untuk menyiapkan mobil mereka, di ikuti Yudanta, namun saat baru beberapa langkah, Dara membuatnya menghentikan langkahnya.

"Berhati-hatilah," tutur Dara.

"Aku harap kau bisa menerima ini semua. Maafkan aku tak bisa memberimu kenyamanan. Tapi aku mencintaimu," jawab Yudanta.

Mendengar ucapan sang suami, dia langsung mencium bibir suaminya dengan kaki yang jinjit karena tinggi Yudanta. Tanpa pikir panjang, Yudanta mengangkat tubuh istrinya dan membalas ciumannya dengan melumat pelan.

"Aku percaya jika Mas akan membuat ini semua baik-baik saja. Aku akan selalu bersamamu," tutur Dara sebelum membiarkan Yudanta pergi.

Ada rasa sesak di hati Dara saar membiarkan Yudanta pergi, tapi mau bagaimana lagi. Ini sudah menjadi kewajiban Yudanta, itu yang harus dia tanamkan dalam dirinya.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang