69

593 18 0
                                    

"Mas, tidak bisakah kita mengambil foto berdua? Kita jarang, bahkan tidak pernah. Apa aku ini istrimu?" gerutu Dara. Mereka baru menonton film dan menunggu penonton lain keluar lebih dulu agar tidak berkerumun.

"Maafkan aku," tutur Yudanta. Dia memang bukan pria yang romantis, jadi untuk apa foto bersama saat mereka selalu bersama, itu pikirnya.

"Menggunakan ponsel Mas." Dara menodongkan tangan untuk meminta ponsel Yudanta dan langsung dituruti oleh suaminya.

Dara melirik malu saat wallpaper ponsel suaminya foto mereka berdua saat pernikahan. "Aku pikir Mas tidak menyimpannya," ujar Dara dengan senyum yang tertahan.

Dara bukan istri yang lancang dengan ponsel suaminya. Dia jarang atau bisa dibilang hampir tidak pernah melihat isi ponsel Yudanta. Bukan tidak boleh, hanya dia saja yang tak ingin. Karena Yudanta tidak lancang dengan ponselnya.

"Biar aku yang ambil fotonya." Mereka kemudian berpose dengan Yudanta yang mengambil foto selfie mereka.

Beberapa foto mereka ambil, bahkan foto Yundata mencium pipi istrinya pun tak luput dari jepretannya. Walau malu, Dara merasa senang. Seharian ini Dara menikmati waktu romantis versi Yudanta, dan itu membuatnya senang.

"Kita pulang atau masih ingin ke tempat lain?" tanya Yudanta.

"Kita pulang saja. Kepala Dara sedikit pusing. Bau itu membuatku mual," tutur Dara sambil menunjuk stan makanan.

"Mau aku gendong?" tanya Yudanta.

"Tidak perlu. Sebaiknya pulang saja. Maaf jika aku tidak bisa membuat Mas lega menikmati waktu berdua," pungkas Dara.

"Tidak apa-apa. Yang terpenting kondisi Ibu hamil ini baik-baik saja. Kita pulang."

Mereka berdua kemudian memilih pulang. Kondisinya juga sudah malam, jadi mereka harus pulang. Dalam perjalanan, Dara banyak diam. Dia merasa mual, yang awalnya bersemangat sekarang malah orang seperti mabuk darat.

"Kenapa Mas tersenyum. Hoek ..." Dara langsung menutupi mulutnya saat rasa mual itu dia rasakan. Walau tidak sampai muntah tapi, tetap saja rasanya tidak nyaman.

"Tumbuh sehat di perut Ibu ya, Nak. Ayah tidak bisa membantu banyak, jadi jangan menyusahkan Ibu." Yudanta mengusap perut istrinya dengan satu tangan memegang kemudi.

Dara hanya mengangguk. Dia tidak mau melepaskan masker yang dia kenakan. Akan semakin mual pikirnya.

Sesampainya di rumah, Yudanta perlahan membawa Dara dalam gendongannya karena dia terlelap. Dia kemudian membawa Dara ke kamar diikuti Kale yang ingin bicara dengannya.

Setelah membaringkan Dara di atas tempat tidur dan menyelimuti sebagian tubuh istrinya. Dia berjalan keluar kamar, menutup pintu perlahan dan bicara dengan Kale di ruang tengah yang sudah ada Brian dan juga Anggun.

"Aku sudah mendapatkan cara bagaimana barang itu bisa lolos dari pelabuhan dengan aman," tutur Yudanta. Meski bersama Dara, tapi otaknya tidak berhenti berpikir untuk mencari cara.

"Aku sendiri yang akan mengecoh. Kalian bisa membawa barang itu saat aku bisa membawanya ke perbatasan," jelas Yudanta.

"Itu bahaya. Kau tidak akan bisa lolos dari beberapa Polisi yang berjaga," sahut Brian.

"Itu resikonya. Aku akan coba untuk bicara pada salah satu orang di pelabuhan agar bisa keluar dari petugas pengecekan," ujae Yudanta.

Mereka tidak boleh gagal, karena yang ditaruhkan nyawa Yudanta sendiri. Jika dia gagal, maka semua akan berantakan. Apalagi balasan dari keberhasilan yang mereka lakukan sekarang adalah kematian Galih.

"Kau sudah pikirkan dengan benar apa yang kau putuskan ini?" tanya Anggun.

"Ya, aku harus berhasil walau itu sulit. Aku pikir dia sedang mengujiku sekarang. Dia akan membunuhku dengan senjata yang aku miliki, apabila aku gagal. Aku harap kau bisa membantuku untuk membuat Galih tak ikut campur, akan berakhir hidupku saat dia bertindak sesuka hatinya. Dia berharap aku mati," ungkap Yudanta. Dia tau benar, jika ini semua hanya jebakan untuk Yudanta menjadi umpan.

"Kita undur waktu kita. Jangan sampai Galih tau," ucap Kale.

Kesepakatan sudah mereka dapatkan, tinggal melakukan dengan aman, sampai barang di terima oleh Bos Mafia itu.

***

Masih terlalu pagi saat Yudanta pergi. Sebelumnya dia mencium lama kening Dara yang terlihat tenang dalam tidurnya. Dia tidak terusik sama sekali dengan apa yang suaminya lakukan.

Sejenak Yudanta menatap Dara, dia memejamkan mata dan berharap bisa pulang dengan selamat nanti. Agar bisa berkumpul dengan Dara lagi nanti.

Di dalam mobil, Yudanta bersandar sambil menatap layar ponselnya. Ada foto mereka berdua yang diambil kemarin malam.

"Kau tau apa yang akan kau lakukan saat aku tidak pulang. Aku letakkan surat di laci meja kerjaku. Berikan pada istriku nanti. Kalau kau ingin tau, aku sedang ragu dengan apa yang akan kulakukan ini, jadi aku pasrah keputusan yang aku ambil ini," jelas Yudanta pada Kale.

"Kau akan berhasil, aku yakin itu. Haruskah aku saja yang melakuka itu?" tanya Kale.

"Tidak. Aku sendiri yang akan melakukan ini, karena aku ingin menagih janjinya padaku. Untuk menyingkirkan Galih dariku." Dia sudah muak dengan sikap Galih yang terus saja bersikap jika dirinya yang sangat berpengaruh.

Yudanta tetap harus pergi meskipun dia tidak yakin. Dan pagi itu, Yudanta pergi seorang diri. Kale dan Brian dengan tugasnya, dia sendiri yang akan mengambil barang selundupan itu dari dermaga.

***

Dara membuka mata saat dia merasa haus. Dia menoleh ke sisi kirinya, namun tidak melihat suaminya ada di sana. Dia begitu lelap tertidur, sampai tidak tau Yudanta pergi.

"Apa Mas Yuda pergi sejak pagi?" Dara coba bertanya pada salah satu penjaga rumah.

"Iya, Nona. Tuan Muda berangkat pukul 3 tadi," jelasnya.

"Kenapa tidak membangunkan aku." Dara melirik ke dinding dan melihat jam menunjukkan pukul 7. Tidak biasanya dia bisa tidur senyenyak itu.

Hatinya tiba-tiba merasa sedih. Dia merasa menyesal saat tidak melihat Yudanta pergi untuk melakukan kegiatan berbahayanya. Dara memang tidak tau pekerjaan apa yang sedang suaminya lakukan, namun dia percaya pada suaminya. Memang harusnya begitu, karena mereka harus mengisi satu sama lain.

"Mbak di sini," ucap Dara saat melihat Anggun ada di ruang tengah. Sepertinya dia baru bangun tidur. Dara tak melihatnya tadi saat Anggun berbaring di sofa panjang itu.

"Selamat pagi," sapa Anggun. Dia berdiri dan berjalan ke meja makan. Meneguk air mineral itu.

"Pagi, Mbak. Oh ya, apa Mbak tau ke mana Mas Yuda pergi hari ini?" tanya Dara.

"Aku kurang tau. Seperti kau tidak paham saja. Aku ini mengerti apa dengan pekerjaan mereka." Anggun tak mungkin menceritakan apa yang Yudanta lakukan. Hanya akan membuatnya khawatir.

"Baiklah," jawab Dara malas.

Dara coba untuk ikut duduk di ruang tengah sambil menyalakan televisi besar di hadapannya. Walau terasa mual, tapi rasanya tidak begitu menyiksa.

"Info update. Pihak polisi menggagalkan penyundupan yang dilakukan di Pelabuhan. Dari berita yang kita dapatkan sekarang, masih terjadi pengejaran antara pihak berwajib dengan pelaku ...."

Berita yang terdengar membuat Anggun menatap lebib dekat layar televisi yang begitu besar. Apa dia tidak salah dengar? Bukankah Yudanta ada di Pelabuhan itu.

"Ada apa, Mbak?" tanya Dara yang penasaran pada Anggun yang tampak serius melihat acara berita di televisi.

"Yudanta."

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang