32

2.6K 65 0
                                        

"Kau baik-baik saja?" tanya Yudanta pada Dara yang ada di loby rumah sakit, menunggu Brian menjemput mereka.

Dara menatap terkejut ke arah Yudanta yang bahkan melepas gips yang membungkus kakinya. Walau masih berjalan tertatih, Yudanta sendiri yang menjemput Dara di rumah sakit.

"Aku sudah melarangnya. Tapi dia keras kepala," ucap Brian.

Dara langsung memeluk tubuh Yudanta, jujur dia takut tentang ancaman kakeknya, dan terbukti dengan anak buahnya yang datang.

"Kau akan aman. Maafkan aku," tutur Yudanta.

"Aku lama karena dia harus membuka gips kakinya. Kau jangan terus memarahiku." Terdengar Brian sedang membela diri karena Anggun menyalahkan dia yang datang terlalu lama.

"Biarkan saja. Cukup tidak menjawabnya saat dia marah, jika kau menjawabnya, kau akan diterkam," jelas Yudanta saat Dara menatap ke arah mereka berdua.

"Dan kau menurutinya. Baru juga 2 minggu lalu kakinya itu patah, sebenarnya kenapa dengan kalian berdua ini. Kalian sama saja." Anggun yang merasa kesal segera berjalan keluar rumah sakit, diikuti Brian.

Kakek Yudanta merencanakan sesuatu setelah tau Dara hamil. Dia tetap tidak setuju dengan keputusan cucunya untuk hidup bersama Dara, dia harusnya menikahi wanita pilihannya.

"Bukankah masih terasa sakit. Kenapa keras kepala." Dara membantu Yudanta berjalan ke mobil.

"Bagaimana hasil pemeriksaannya? Apa calon bayi kita baik-baik saja?" tanya Yudanta mengalihkan pembicaraan.

"Baik, hanya harus hati-hati saja. Kecelakaan kemarin membuatku harus menjaganya dengan baik," jelas Dara.

"Kau tidak perlu keluar rumah lagi. Tetap di rumah, aku tidak mau orang yang tadi terus mengejarmu," jelas Yudanta.

Dara hanya menggangguk mengerti, dari ekspresi Yudanta, dia tampak sedang menahan emosi. Bagaimana tidak marah saat kakeknya menyuruh orang untuk menjemput Dara. Walau itu gagal, tetap saja, ancaman kakeknya tidak main-main.

Sesampainya di rumah, Yudanta meninggalkan Dara di kamar. Dia sedang bicara dengan seseorang dari sambungan telepon. Awalnya dia tampak tenang, tapi setelahnya terdengar nada bicara Yudanta tinggi.

"Mau Kakek membunuhku, aku tidak peduli lagi. Aku hanya tidak mau Kakek menyetuhnya. Sedikitpun aku tidak akan membiarkannya," ucap Yudanta.

"Ini tentang bisnis kita, bukan tentang wanita itu. Kau hanya harus menikahi gadis itu saja, setelahnya kau bisa meninggalkannya." Dengan entengnya, Kakek Yudanta merencanakan sesuatu yang pastinya merugikan orang lain.

Demi mendapatkan daerah yang dia inginkan, Yudanta harus menuruti perjanjian kakeknya dengan rekan bisnisnya. Daerah itu akan menjadi miliknya saat cucunya menikahi putrinya. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, Kakek Yudanta masih saja berpikir tentang kenikmatan. Bukannya menikmati hari tuanya dengan menebus dosa, dia malah ingin bisnis gelapnya berkembang.

"Akh!!" Teriak Yudanta meluapkan emosinya.

Sang Kakek mengancam untuk membunuh Dara jika Yudanta tidak menuruti kemauannya. Ini memang menjanjikan untuk kakeknya. Itu sebabnya dia memaksa kehendaknya pada Yudanta.

"Jangan biarkan Dara keluar sendiri. Jaga dia saat aku tidak bersamanya. Aku percaya pada kalian. Pilihannya hanya aku yang mati melindungi Dara, atau Dara yang mati untuk melindungiku. Kalian pasti tau apa yang aku pilih, jadi buat penjagaan ketat, minta bantuan anggota genk untuk berjaga. Awasi orang suruhan Kakek yang tadi mengikuti Anggun. Apabila sedikit saja Dara terluka, aku yang akan membunuh kalian." Yudanta marah besar, dia benar-benar kecolongan sampai kakeknya bisa menyuruh orang untuk menculik Dara.

Sikap tegas Yudanta memang jarang terlihat oleh Dara, dia memang bersikap berbeda di hadapa Dara. Tidak seperti sekarang, dia melihat dari tangga, Yudanta yang sedang bicara dengan Brian juga Kale.

Dara yang sejak tadi diam, menghampiri Yudanta. Memeluk kekasihnya itu dari belakang. Mencium lekuk leher Yudanta agar dia merasa lebih tenang.

"Pergilah, aku tidak mau kecolongan lagi," ucapnya pada kedua sahabatnya.

"Kenapa turun? Istirahatlah, bukankah pusing." Yudanta memegang lengan Dara yang memeluknya dari belakang. Sesekali dia menciumnya.

"Aku ingin kau menemaniku. Aku tidak mau Mas sendiri di sini dan memarahi mereka," tuturnya.

"Kau menyebutku Mas? Terdengar aneh, tapi lucu juga." Yudanta tersenyum mendengar Dara memanggilnya Mas karena ini pertama kali untuknya.

"Memangnya tidak boleh? Haruskah aku panggil Kakak? Kak Yuda," goda Dara. Dia sengaja menggoda Yudanta agar tersenyum, melupakan sejenak apa yang mengganggu pikirannya. Percuma saja dia bertanya apa yang membuatnya marah, karena jelas itu tentang kakeknya.

"Oh ya, aku begitu ingin makan sesuatu yang segar," imbuh Dara.

"Katakan apa? Aku akan carikan." Yudanta menarik lengan Dara agar duduk dipangkuannya.

"Aku ingin sop buah," jawab Dara.

"Besok saja bisa tidak? Ini sudah malam, sayang. Atau kita buat sendiri. Di dapur pasti ada banyak buah," ucap Yudanta.

"Tidak mau kalau bikin sendiri. Maunya beli. Kalau tidak boleh juga tidak apa-apa." Dara memasang wajah sedihnya karena Yudanta tidak membolehkannya untuk beli sop buah. Bukan tidak boleh, tapi jam 11 malam mana ada sop buah.

"Sebentar, biarkan aku berpikir. Di mana aku harus mencarinya. Ah ya ...." Yudanta mengambil ponselnya dan coba mengirimkan pesan di grup genk motornya.

[Bisa aku minta tolong?]

[Katakan Bos]

[Beri tau aku, di mana aku bisa beli Sop Buah di jam segini]

[Jam segini mana ada 🤨 jangan kau memberi perintah yang tak masuk akal 😤]

Brian ikut komentar di grup chat itu. Dia bahkan mengirimkan emoji tidak terima.

[Aku beri waktu 10 menit, nanti kirimkan lokasinya]

[Bertarung saja denganku. Istrimu itu ada-ada aja]

[Cari sendiri]

[😒 Kalian ingin mati]

[Hilang]

[Hilang]

Kale juga ikut komen di grup chat itu. Dia malah menyuruh Yudanta mencarinya sendiri. Bagaimana dia bisa mendapatkan Sop Buah tengah malam seperti ini.

"Kenapa malah sibuk dengan ponsel. Apa aku harus minta bantuan Kak Kale? Tapi dia tidak menegurku sejak waktu itu. Sepertinya dia membenciku," tutur Dara. Dia kembali menunjukan wajah sedihnya.

"Memang iya? Kenapa aku baru tau itu. Memangnya masalah apa?" tanya Yudanta.

"Dia bahkan membentakku, lebih dari itu juga." Dara bersikap manja pada Yudanta. Dia mengadukan sikap Kale yang sempat membentaknya.

"Aku hubungi Kale."

"Tidak. Bagaimana jika Kak Kale malah membunuhku. Dia seram sekali saat marah. Aku masih ingin hidup bersamamu, tidak perlu menghubunginya. Lebih baik kita cari Sop Buah saja. Kita berangkat sekarang sayang?" Dara antusias untuk mencari apa yang dia mau.

Yudanta menghela nafas karena Dara masih kembali ingat dengan Sop Buahnya. "Sayang, aku belum mendapatkan kabar dari mereka," jawab Yudanta.

[Adakah?]

Yudanta mengirimkan pesan di grup lagi. Dia berharap mereka dapat kabar Sop Buah. Tapi mereka malah mengirimkan foto gerobak Sop Buah yang sudah tutup.

Yudanta menunjukkan pada Dara. "Besok saja ya?" Dengan hati-hati Yudanta menyampaikannya takut Dara bersedih.

"Baiklah, besok saja. Tapi kalau nanti tidak bisa tidur karena Sop Buah bagaimana?" Kebimbangan Dara membuat Yudanta frustasi. Keingin yang tidak aneh, tapi waktunya tidak tepat.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang