101

768 19 4
                                    

"Kau sudah bangun, Dar. Apa ada yang terasa sakit?" Suara seorang wanita yang sangat Dara kenal sedang bertanya khawatir padanya karena beberapa saat lalu pingsan di ruang ICU.

Bukannya menjawab, Dara malah menangis dan langsung memeluk Anggun yang duduk di sampingnya. Dia meluapkan kesedihannya dengan menangis. Rasanya begitu sesak saat ingat kakak dan suaminya sedang terbaring lemah.

"Kau harus tenang. Ini semua sudah kehendak Tuhan. Kau harus relakan," tutur Anggun ragu. Namun, dia tetap ingin mengatakannya.

"Merelakan? Apa maksud Mbak?" Dara melepaskan pelukannya dan menatap Anggun yang langsung memegang kedua tangan teman dan juga adik untuknya itu.

"Maaf, tapi kau harus tau. Ini memang berat, namun--"

"Ada apa, Mbak? Apa terjadi sesuatu pada Mas Yuda? Ada apa, Mbak? Jangan buat aku takut," sahut Dara yang menyelai ucapan Anggun.

Anggun sebenarnya enggan untuk mengatakannya, tapi Dara tetap harus tau. "Berjanjilah untuk tenang saat kau mengetahui semua ini. Semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Kau harus merelakannya, maafkan dia. Ingat putrimu, kau tetap harus kuat demi dia. Jangan merasa sendiri, karena kita akan selalu ada untukmu," jelas Anggun. Jujur dia bingung mulai dari mana, tapi dia tetap harus mengatakannya.

"Sebenarnya ada apa, Mbak? Ini pasti karena Mas Yuda. Aku ingin menemuinya." Dara yang tak sabar dengan penjelasan Anggun, coba melepas infus yang menancap dilengan. Berusaha untuk pergi. Akan tetapi, Anggun menghentikannya.

"Aku ingin bertemu dengan Mas Yuda, Mbak. Aku bersalah padanya. Aku ingin melihatnya." Dara berusaha lepas dari Anggun. Dan dia berhasil karena Anggun juga tak mampu menahan Dara.

Segera Dara berjalan ke ruang ICU untuk melihat kondisi Yudanta. Dia tak peduli lengan kirinya berdarah karena dia melepaskan jarum infus itu begitu saja.

"Anda mau ke mana?" tanya salah satu petugas medis pada Dara yang masuk tanpa izin.

"Saya ingin bertemu dengan pasien atas nama Yudanta. Dia--"

"Bukankah Anda keluarga Tuan Juan." Seorang perawat dari belakang Dara menyelai obrolan mereka.

"Ya, saya. Apa ada perkembangan dari kakak saya?" tanya Dara.

"Maafkan saya, tapi pasien atas nama Juan Indrayaksa sudah berada di ruang jenazah beberapa menit lalu. Sepertinya kerabat yang lain masih mengurus administrasinya." Bagai tersambar petir, hati Dara seketika terasa begitu sakit mendengar kabar kakaknya tiada setelah bertemu dengannya.

Tubuh Dara melorot begitu saja saat mendengar kabar duka dari petugas medis itu. Harapan Dara agar kakaknya bisa bertahan dan menjadi lebih baik lagi ternyata tidak terjadi. Seketika itu juga dia kembali menangis. Juan adalah keluarga satu-satunya, dan sekarang dia tiada. Bukan bahagia karena dia tidak akan lagi di ganggu oleh kakaknya, tapi kehilangan yang dia rasakan.

"Tidak mungkin. Dia tidak boleh meninggalkanku pergi setelah dia membuat orang tua kita pergi. Dia selalu jahat padaku. Tidak boleh!!" teriak Dara. Dia tidak bisa menahan lagi. Bagaimanapun kakaknya yang tiada.

"Kau harus tenang, Dar." Kebetulan ada Kale yang kembali ke ruang ICU untuk mengembalikan berkas. Dia segera membawa Dara pergi dari ruang ICU takut mengganggu pasien yang lain. Membiarkan Dara menangis.

"Kak Juan!!" Sejenak dia lupa akan Yudanta. Padahal tadi dia pikir Yudanta yang mengalami penurunan, tapi dia malah dibuat terkejut dengan kabar duka.

Kale membawa Dara ke kamar jenazah untuk melihat kakaknya. Tubuhnya tak kuat untuk sekedar berdiri sendiri. Kale menopang tubuh Dara agar tidak jatuh.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang