36

1.8K 51 1
                                    

Dara menangis dalam pelukan Yudanta. Brian yang tau Dara ketekutan sampai membasahi dengan air kembang api yang menyala. Rencana Yudanta kacau karena Dara ketakutan.

"Minumlah dulu." Anggun memberikan segelas air pada Dara yang masih menangis.

"Ingat dengan kondisi bayi di perutmu. Kau harus tenang. Perutmu akan kram lagi nanti. Aku bersamamu, jadi tenanglah," tutur Yudanta sambil membantu Dara untuk minum.

"Kenapa tidak bilang jika kau trauma dengan suara keras. Yuda juga bodoh, dia malah asyik menyalakan kembang api itu." Anggun kesal dengannya yang malah asyik dengan main daripada Dara.

"Aku sendiri juga tidak tau. Aku pikir trauma itu sudah hilang. Aku juga mau melihat kembang api itu. Maaf membuat Mbak khawatir," jawab Dara yang mulai tenang.

"Jantungku hampir lepas dari tempatnya karena mu. Apa perutmu tidak terasa sakit?" tanya Anggun.

"Tidak. Hanya tadi terkejut saja. Maafkan aku."

"Sudah tidak apa-apa. Aku malah berpikir Kale membentakmu. Nyatanya kau ketakutan suara kembang api itu." Yudanta menatap tajam ke arah Kale tadi. Padahal Kale sendiri juga khawatir melihat Dara yang terkejut.

"Mas, harus minta maaf padanya," ujar Dara.

"Kau memanggilnya Mas? Apa aku tidak salah dengar?" Anggun memotong ucapan Dara yang mau Yudanta meminta maaf pada Kale.

"Iya, memangnya itu salah?" Yudanta mendengus kesal pada Anggun yang tertawa menghina. Dia tidak habis pikir Dara memiliki panggilan sayang pada Yudanta.

"Aku bukan adiknya, saat aku memanggilnya Kak Yuda. Kalau aku memanggilnya nama, aku tidak mau kurang ajar seperti itu. Lucu saja memanggilnya Mas Yuda." Dara menambahi, membuat Anggun semakin terbahak-bahak. Dia tidak biasa memanggil Brian dengan Mas ataupun Kak. Dia pasti memanggilnya nama. Gadis polos seperti Dara tetap merasa tidak sopan saat dia harus memanggilnya nama.

"Apa!" Bentak Yudanta saat melihat Brian yang berdiri di ambang pintu.

"Tidak bisakah Mas kecilkan suara itu," sahut Dara dengan wajah kesalnya. Suara Yudanta menggema di telinganya.

"Maafkan aku. Iya, ada apa?" Dengan lemah lembut dia menatap Brian yang menatapnya aneh. Yudanta begitu tunduk pada Dara.

"Aku hanya mau bertanya. Kembang apinya mau di apakan?" tanya Brian.

"Buang saja," jawab Yudanta.

"Jangan! Sayang kalau di buang. Nyalakan saja," sahut Dara yang masih ingin melihat kembang api itu.

"Tidak ... tidak. Kau itu ketakutan." Anggun yang merasa khawatir melarang Brian untuk menyalakannya.

"Aku mau coba melawannya. Satu kali saja, bolehkan?" Dara menatap Yudanta dengan mata yang memohon agar dibolehkan.

Yudanta menggeleng pelan. "Bukankah ada kau yang bersamaku. Satu kembang api saja. Aku mohon." Yudanta tidak bisa menolak permintaan Dara, tapi dia merasa khawatir jika kondisi Dara akan kembali seperti tadi.

"Nyalakan saja. Aku melihat dari balkon kamar bersamanya."

"Entahlah, kalian berdua memang sama. Keras kepala." Anggun berjalan keluar kamar Yudanta diikuti Brian yang antusias menyalakan kembang api.

Dara dan Yudanta berjalan ke balkon. Membiarkan Dara duduk di pangkuannya. Tangan Dara terasa dingin saat menggenggam Yudanta, tapi dia masih saja penasaran.

"Lihatlah, aku akan menutup telingamu. Aku bersamamu, jangan pernah takut." Yuda meminta Dara untuk berdiri di hadapannya. Kemudian menutup kedua telingan Dara.

Saat petasan pertama terdengar, Dara memejamkan mata dan langsung berbalik badan untuk menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Yudanta. Telinganya masih ditutupi dengan kedua tangan Yudanta.

Dihiasi letusan kembang api. Tubuh mereka berdua begitu dekat dengan Dara yang meneluk erat tubuh Yudanta. Perlahan Yudanta membuat kepala Dara mendongak dan langsung mencium bibir wanita pujaannya itu, melepaskan kedua tangannya dari telinga Dara.

Dara mempererat pelukannya saat dia mendengar suara letusan kembang api mengisi gendang telinganya. Yudanta tak melepaskan ciumannya di bibir Dara. Dia memainkan bibir Dara, membuat kenyamanan untuk Dara agar bisa mendengar suara itu dengan tenang. Cara yang Yudanta lakukan sepertinya berhasil, Dara hanya fokus dengan bibir Yudanta. Tidak merasa ketakutan berlehih seperti tadi.

Perlahan Yudanta melepaskan ciumannya. "Tidak perlu khawatir. Aku bersamamu di sini, bukankah kau sedang memelukku erat. Sekarang coba buka matamu. Lihat begitu indah kembang api itu." Tubuh Yudanta perlahan berbalik agar Dara bisa melihat kembang apa itu tanpa rasa takut.

Yudanta berpindah posisi dengan memeluk tubuh Dara dari belakang. Dan langsung digenggam erat oleh Dara. "Tenang saja. Tidak akan terjadi apa-apa. Bukankah tadi juga tidak apa-apa." Yudanta coba mensugesti Dara agar lebih tenang. Entah apa jadinya jika Dara tidak menerima keberadaan Yudanta. Siapa yang akan membuatnya tenang seperti ini? Juan tidak mungkin mampu, yang ada dia malah menyiksanya.

"Hidupku akan hancur tanpamu. Trauma ini membuatku tersiksa. Terima kasih," tutur Dara yang mulai tenang.

"Senang mendengarmu mengatakan jika kau tidak bisa hidup tanpa diriku. Semoga apa yang kita rasakan tidak akan pernah pudar. Akan bertambah setiap waktu," jawab Yudanta. Awalnya Dara memang membenci Yudanta karena sudah tega mengambil hal berharga dari dirinya, namun lelaki mana yang mau bertanggung jawab saat dia sudah mendapatkan kepuasan. Hanya Yudanta yang mau mengakui kesalahannya, walau dia sempat menjadi budak nafsu Yudanta.

Merasa lebih tenang, Dara kembali menatap Yudanta dan mencium bibir Yudanta. Tak berhenti di sana, dia melingkarkan tangannya dia leher Yudanta, saat dia membuat tubuh Dara duduk di pangkuannya.

"Kau tidak lupa dengan yang di sini?" Yudanta mengingatkan Dara agar dia tidak semakin jauh membuat nafsunya membara.

"Tapi aku masih mau," jawabnya sambil tersenyum.

"Kau jahat sekali. Apa kau tidak kasihan adikku sudah berdiri di sana. Menjengkelkan sekali. Sayangnya, Ayah, yang kuat ya, Nak. Kau harus tumbuh di sana dengan sempurna." Yudanta mengusap pelan perut Dara.

"Aku lupa tentang itu. Maafkan aku, sayang." Dara langsung menghentikan kegiatannya dan turun dari pangkuan Yudanta yang merasa kesal saat Dara berani membangunkan gairahnya, saat dia tidak bisa melakukan itu karena janin di perut Dara.

Dara tersenyum puas menatap Yudanta yang kesal. "Kita coba dengan hati-hati kalau Mas mau," ejek Dara.

"Kau menggodaku? Sebaiknya aku turun saja." Yudanta memilih turun dan menemui mereka di bawah, Dara hanya menatap jahil melihat Yudanta yang menggerutu di bawah.

Di balkon Dara tiba-tiba merasa perutnya yang terasa kram, tapi dia tidak merasa ada darah yang keluar. Dia memilih duduk dan mengusap perutnya. "Jika kau bisa bertahan, Ibu mohon tetaplah bertahan walau sulit. Anak baik," tutur Dara sambil mengusap pelan perutnya yang kram. Dia memang harus istrihata total, tidak boleh memaksakan diri.

Dara menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Dia harus tetap tenang, dan melakukan apa yang Yudanta katakan. Menjaga janin dalam kandungannya.

Ingatan Yudanta yang bersikap baik padanya membuat perasaan Dara semakin dalam. Hal yang mungkin tidak bisa dia dapatkan dari orang lain. Perhatian dari Yudanta.

Budak Nafsu (Ketua Gangster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang