Yudanta bersandar di dinding belakang tubuhnya, nafasnya berat dengan tubuh penuh lebam akibat Juan menghajarnya tanpa perlawanan. Dia membiarkan Juan meluapkan emosinya agar Dara tidak menjadi sasaran lagi.
"Apa ... kau puas?" tanya Yudanta dengan nafas berat.
"Tidak sebelum kau mati," jawab Juan yang nafasnya memburu. Dia menghajar Yudanta membabi buta. Tak peduli jika orang yang dia hajar akan mati nantinya.
"La-kukan saja. Kau bisa sepuasnya memukulku, tapi jangan kau sentuh tubuh istriku," tutur Yudanta dengan menahan rasa sakit.
"Sudah cukup! Kau hanya akan menuruti apa yang pria gila ini mau. Sadarlah, jika dia tidak akan puas sampai kau benar-benar mati di hadapannya." Brian marah dengan apa yang Yudanta lakukan. Dia membiarkan tubuhnya babak belur karena kakak iparnya.
Kale coba membantu Yudanta untuk berdiri, dia hanya ingin membawa sahabatnya itu pergi dari tempat itu. Jika dibiarkan Yudanta yang akan mati, itu pikirnya.
"Kau tak akan membiarkanku mati sendiri di sini kan? Aku butuh tempat tinggal dan kendaraan yang kakekmu ambil dariku." Setelah menghajar Yudanta, tanpa rasa malu dia meminta. Juan memang sudah hilang akal.
Yudanta tersenyum tipis di balik tubuhnya yang sedang tak bertenaga. "Pulanglah, kau akan mendapatkannya nanti," jawab Yudanta.
"Ya, jika kau tak memberikanku. Aku akan datang dan menyapa istri lemahmu itu," sahut Juan.
Yudanta pergi begitu saja di bantu Kale yang memapah sahabat keras kepalanya itu. Di mobil, Brian terus saja memarahi Yudanta yang hanya memejamkan mata merasakan tubuhnya yang remuk.
"Aku sudah pastikan, jika barang itu sudah dikembalikan oleh Juan. Kau akan pulang atau kembali ke Hotel?" tanya Kale.
"Aku ingin ke Hotel saja. Urus apa yang Juan mau. Jangan biarkan dia bertemu dengan Dara. Dia sedang hamil, nanti dia akan tertekan jika melihat kakaknya," jelas Yudanta.
"Kau selalu saja--"
"Brian, sudahlah. Kau terus saja memarahinya. Apa kau tidak lihat jika dia sedang kesakitan." Kale memotong ucapan Brian yang seperti tidak puas untuk memarahi Yudanta.
Yudanta tak peduli lagi perdebatan yang mereka bahas, dia hanya ingin memejamkan mata sekarang. Dia hanya berharap Dara tidak khawatir melihatnya babak belur seperti sekarang.
Urusannya sudah selesai dengan Bos Mafia itu, dia bisa istirahat sekarang. Sesampainya di Hotel, Kale meminta Dokter untuk mengobati luka Yudanta yang tak berniat membuka mata. Dia membiarkan Dokter itu mengobati lukanya dengan tenang. Seperti tidak merasakan rasa sakit, Yudanta hanya terlelap.
***
2 hari tak pulang, pagi ini Dara di kejutkan dengan suaminya yang sudah berbaring di sampingnya. Dan yang membuat Dara terkejut saat melihat wajah lebam suaminya.
"Apa aku membangunkanmu?" tanya Yudanta dengan mata terpejam. Dia memeluk tubuh istrinya.
"Dan lagi. Mas babak belur lagi," ujar Dara dengan tatapan terkejut.
"Maafkan aku," jawab Yudanta lirih.
Dara mempererat pelukannya pada tubuh Yudanta. Dia belum fokus dengan luka di tubuh suaminya di bagian lain.
"Aku merindukanmu," ucap Dara. Dia bahkan meneteskan air mata saat mengucapkannya. Dia menunggu kabar Yudanta sejak kemarin. Setelah bilang tak bisa pulang, Yudanta tak ada kabarnya lagi. Rasa khawatir terus membayanginya, setiap Yudanta pergi, dia selalu takut suaminya pulang dengan kondisi tak baik.
"Benarkah?" goda Yudanta.
Dara bangun dan menatap suaminya yang terbaring. "Ya Tuhan, Mas. Apalagi yang terluka. Baru juga selesai tangan kiri, sekarang berganti tangan kanan Mas," pungkas Dara.
"Brian sudah habis-habisan memarahiku. Haruskah aku mendapatkan omelan lagi darimu, sayang. Aku hanya ingin berbaring bersamamu." Tangan Yudanta berharap untuk memeluk tubuh istrinya.
"Tidak!" Dara menatap suaminya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Perlahan Yudanta bangun dan bersandar di headboard tempat tidurnya. Menatap Dara yang mulai menangis. "Maafkan aku." Kata itu yang bisa keluar dari bibir Yudanta, saat luka yang dia berikan pada Dara.
"Tidak mau." Dara menolak permintaan maaf Yudanta dengan derai air mata.
"Lalu apa yang bisa menebus kesalahanku agar kau tidak terus menangis?" tanya Yudanta.
"Dara ingin Mas tidak terus melakukan pekerjaan ini." Walau itu mustahil untuk Yudanta kabulkan, tapi hati Dara terasa sakit saat melihatnya terluka.
"Kemarilah, aku ingin memelukmu," ucap Yudanta.
Dengan paksaan, Dara mau dipeluk oleh Yudanta. Dia kemudian semakin terisak dalam pelukan suaminya. "Mas jahat sekali," ucap Dara dengan tangan memukul dada bidang Yudanta pelan.
"Mau jalan berdua lagi?" Yudanta coba membujuk istrinya agar tidak terus menangis.
"Jangan coba mambujukku," gerutu Dara yang kesal dengan suaminya itu.
"Baiklah kalau tidak mau. Sebaiknya aku tidur saja hari ini," jawab Yudanta.
"Jahat sekali."
Yudanta tersenyum dan memeluk tubuh Dara yang semakin terisak. Hari itu Yudanta coba untuk membujuk Dara yang sedang marah karena pulang dengan luka.
"Apa Yudanta tidur?" tanya Kale pada Dara yang baru turun dan berjalan ke dapur.
"Ada apa? Apa Kak Kale mau membangunkannya. Jangan mengganggunya!" tegas Dara ketus. Dia melengos menatap Kale yang hanya ingin bertanya.
"Tenanglah, aku hanya bertanya. Tak perlu ketus seperti itu," sahut Kale.
"Kalian sama saja. Membuatku kesal. Nanti saat pergi lagi, datang juga dengan luka. Akan seperti itu sampai kapan?" Dara malah memarahi Kale yang melirik tajam. Dia salah untuk bertanya pada Ibu hamil yang sedang sensitif.
"Apa Kak Brian akan bertanya tentang Mas Yuda juga?" Brian hanya menatap bingung. Dia baru bangun tidur dan ingin mengambil minum, tapi Dara menyergapnya dengan pertanyaan itu.
"Kau punya masalah denganku?" Brian malah menantang Dara.
"Santai saja kalau bicara tak perlu emosi," sahut Dara yang semakin membuat Brian mendengus kesal. Dia dulu yang bersikap ketus, tapi sekarang bilang begitu.
"Sebaiknya kau pergi. Dia sedang sensitif." Kale menarik lengan Brian agar meninggalkan Dara yang sedang kesal.
Di dapur, Dara menyiapkan makan untuk suaminya. Walau terasa mual tapi dia tetap ingin melayani suaminya. Pulang dengan kondisi terluka memang tidak hanya sekali Yudanta lakukan. Ini sudah kesekian kalinya. Padahal jika Dara tau siapa yang menghajarnya sampai babak belur, dia pasti merasa bersalah.
"Apa Tuan Muda ada?" tanya seseorang yang tak mereka kenal. Dia masuk ke dalam rumah di temani penjaga rumah.
"Siapa Anda?" tanya Dara yang memang ada di ruang tengah.
"Bisakah Anda beritahu Tuan Muda, jika kakeknya meninggal. Saya sudah menghubunginya, namun beliau tidak menjawab." Dia salah satu orang kepercayaan Kaito, dia datang untuk memberitahu tentang kematian Kaito.
"Baiklah, saya akan beritahu dia," ujar Dara.
Setelah orang itu pergi. Dara berjalan ke kamar untuk membangunkan Yudanta. Dia terlihat sedang terlelap dengan tenangnya. Entah kenapa berat sekali Dara untuk menyampaikan berita duka itu. Padahal Yudanta tidak pernah akur dengan kakeknya.
"Sayang," panggil Yudanta sambil mengguncang tubuh sang suami pelan.
"Hmm-" guman Yudanta tapi dengan mata terpejam.
"Seseorang datang dan memberitahu kalau Kakek Mas tiada." Penjelasan Dara membuat Yudanta membuka mata, dia sepertinya terkejut dengan kabar yang Dara sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Budak Nafsu (Ketua Gangster)
Romance⭐️ jangan lupa Budayakan Follow dulu sebelum baca🥰 13/10/2023