Chapter 94

1K 150 27
                                    

Boboiboy duduk tak tenang.

Baru saja ada orang yang jelas-jelas ditembak mati di depannya, tapi kakek yang ada di seberangnya ini santai aja seperti tidak ada kejadian apa-apa.

MALAH, dia menyempatkan diri untuk menyeduh teh dan menyajikannya untuk Boboiboy.

Dan apa kalian tau? Dengan pengalaman Boboiboy selama ini, Boy udah kapok makan atau minum sesuatu kalau ianya datang dari si penculik.

Ya, gak– Boboiboy gak mau dan gak akan minum teh yang kakek itu buat.

Kakek itu menyeruput tehnya, "Minumlah selagi hangat." katanya tersenyum ramah.

Boy membalas balik senyum itu dengan kekok, hanya menjawab "Aa. . iya." sebagai balasan.

Sadar akan ketidakleluasaannya, kakek itu berinisiatif untuk memulai percakapan duluan.

"Nama saya Retak'ka. Ayah kepada. . ." kakek itu tidak melanjutkan kalimatnya. Tampak berpikir sebentar sebelum menghela napasnya pelan.

"Ah tidak, lebih tepatnya kakek kepada putra-putra Amato."

'Huh? Apa-apaan itu?'

Boy mendelik bingung. Boy rasa dia hampir memperkenalkan nama anaknya, tapi kenapa tidak disambung?

Oh. . . lalu Boy teringat, apa karena dia sudah. . . meninggalkan?

Kalau begitu Boy bisa memahami kenapa sang kakek melakukan hal itu. . .

Kakek itu– Retak'ka, dia tersenyum simpul lagi. "Boboiboy, apa wajah saya mengingatkan engkau akan sesuatu?"

Karena ditanya begitu, Boy melihat wajahnya dalam diam.

Hidungnya yang tak ada memang tak bisa Boboiboy abaikan dari pandangannya. Mata tajam layaknya elang. Kulit sudah agak keriputan dan rambut hampir sepenuhnya putih, itu menunjukkan bahwa dia sudah ada di umur tua.

Namun. . . setelah beberapa waktu Boy gunakan untuk memandangnya, Boy tidak tau bagaimana ia harus menjawab Retak'ka.

Dia tidak kenal. Bagaimana bisa dia mengingatkannya akan sesuatu?

Jadi Boy menggeleng. "Enggak." lirih Boboiboy.

Retak'ka meletakkan cangkir tehnya.

"Sungguh?"

Boy heran, apa seharusnya Boy mengingat sesuatu?

Ditambah lagi, Retak'ka menatapnya menghakimi seperti orang yang sudah berbuat salah. Waspada Boy meningkat kala merasa atmosfer sekitarnya berubah.

Boy mengangguk pelan, "Iya."

Retak'ka menarik napasnya, hela pelan seolah tengah bersabar. Wajah-wajah masam, bisa saja itu bertanda dia tidak puas dengan jawaban Boboiboy.

"Kalau tentang seorang ilmuwan yang berhasil mengubah dunia?"

". . . . . . . ."

Kali ini bukan hanya Retak'ka yang memberi tatapan menghakimi, BOY juga mulai memberinya tatapan menghakimi.

Boy tau itu mungkin tidak sopan, apa lagi kalau dilayangkan ke orang yang tak dikenalnya– tapi serius, Boy coba menahan matanya dari tatapan nge-judge gitu, tapi nampaknya gak bisa.

Alhasil mereka malah saling menatap satu sama lain sambil nge-judge. . . menghakimi satu sama lain.

"Enggak." singkat Boboiboy.

Tatapan Retak'ka tambah tajam lagi, TAMBAH menghakiminya lagi.

"Di sekolah saat mata pelajaran sejarah. . . atau bimbingan konseling, kau tidak mempelajari soal feromon?"

Aku Adik dari Sekelompok Mafia?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang