99 (Revisi)

391 64 2
                                    



Malam itu terasa dingin di apartemen Seungkwan dan Jeonghan. Lampu di ruang tengah hanya menyala temaram, menciptakan suasana yang seolah membungkus mereka dalam perasaan sendu. Seungkwan duduk di sofa dengan tatapan kosong, menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja. Berkali-kali ia ingin meraihnya, tetapi tangannya seperti enggan bergerak.


Joshua, yang sudah berada di sana sejak sore, memperhatikan Seungkwan dari pintu dapur. Setelah menuangkan segelas air, ia melangkah pelan ke sofa dan duduk di sebelah adiknya.


"Kau kelihatan seperti sedang membawa seluruh beban dunia di pundakmu," ucap Joshua lembut, memecah keheningan.


Seungkwan hanya tersenyum kecil, tetapi matanya tetap kosong. "Aku hanya... aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi ini, Hyung." Suaranya terdengar serak. "Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang seperti Jeje Noona."


Joshua menghela napas panjang. Ia mengerti perasaan Seungkwan lebih dari yang ia ingin akui. "Tidak ada yang pernah siap untuk mengucapkan selamat tinggal," katanya pelan. "Tapi selamat tinggal bukan berarti akhir dari segalanya. Dia akan selalu menjadi bagian dari hidup kita, bahkan jika dia tidak lagi ada di sini."


Seungkwan menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku hanya takut dia akan melupakan kita, Hyung. Melupakan semua kenangan yang kita buat bersama."


Joshua menatap Seungkwan dengan penuh kasih, lalu menepuk pundaknya. "Jeje Noona tidak akan pernah melupakan kita, Kwan-ah. Dan kita juga tidak akan pernah melupakan dia. Kenangan itu akan tetap ada, selamanya."


Sejenak, mereka terdiam. Hanya suara jam dinding yang terdengar, menghitung setiap detik yang terasa semakin berat.


Lalu, Seungkwan menoleh ke Joshua. Ada kebimbangan di wajahnya, tetapi akhirnya ia bertanya, "Hyung, jujur saja, aku penasaran. Perasaan Hyung sekarang bagaimana?"


Joshua terdiam. Pertanyaan itu membuat dadanya terasa sesak. Ia menatap lantai, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, "Hyung rasa... ini salah. Tidak seharusnya Hyung memiliki perasaan ini. Tapi, waktu Hyung tahu kalau Jeje Noona akan benar-benar kembali pada keluarga aslinya, Hyung merasa sedikit... bahagia."


Seungkwan tertegun mendengar pengakuan itu. Joshua melanjutkan dengan suara lirih, "Padahal Hyung tahu, betapa sayangnya Eomma pada Jeje Noona. Harusnya Hyung ikut sedih, karena Eomma akan kehilangan putrinya. Itu berarti Hyung juga akan kehilangan kakak perempuan yang Hyung miliki, meski hanya sebentar. Tapi di dalam hati... ada perasaan lega. Ini aneh, kan? Hyung tidak boleh merasa seperti ini, kan?"


Seungkwan menarik napas panjang. Jawaban itu seperti menegaskan apa yang selama ini ia curigai: Joshua tidak pernah benar-benar melupakan perasaannya pada Jeje. Namun, Seungkwan memilih untuk tidak menyudutkan Joshua.


"Hyung, mungkin perasaan itu wajar," katanya akhirnya. "Bagaimanapun juga, Hyung pernah memiliki perasaan yang... berbeda untuk Jeje Noona."


Joshua tersenyum tipis. "Ya, tapi itu sudah lama sekali. Hyung pikir perasaan itu sudah hilang. Tapi sekarang, semuanya kembali... dan itu membuat Hyung merasa bersalah. Apalagi....." Joshua menjeda kalimatnya. Sorot matanya bertambah sendu.


".... Hyung meminta Wonwoo untuk menahan perasaannya sendiri..... Entah Hyung mengatakan hal itu benar-benar demi Jeje Noona, atau semata-mata untuk diri Hyung sendiri..."


Seungkwan tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengulurkan tangan dan menggenggam bahu Joshua, memberi dukungan tanpa kata.


Joshua memejamkan matanya sejenak, menarik napas panjang untuk meredakan kekacauan di dalam dirinya. Rasa bersalah, lega, dan nostalgia bercampur menjadi satu, membuat dadanya terasa sesak. Ia menatap Seungkwan yang duduk di sebelahnya. Meski lebih muda, adik satu grupnya itu memiliki kebijaksanaan yang sering kali mengejutkannya.


What Kind of FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang