72

283 67 13
                                    



Jeje berlari di selasar dengan penerangan minim dan belum terlihat ujungnya. Di bagian kiri dan kanan terdapat deretan pintu yang tertutup rapat dengan kombinasi angka terpasang di bagian tengahnya. Suara langkah kaki Jeje yang berlari terdengar, bergantian dengan derap langkah yang berasal dari balik punggung perempuan itu.


Beberapa kali, Jeje menolehkan kepalanya ke belakang, berusaha untuk mencari tahu siapa gerangan yang sedang mengejar dirinya. Namun temaramnya lampu serta kabut tipis yang menggantung menyulitkan Jeje untuk mengidentifikasi pemilik langkah selain miliknya itu.


Hanya saja, setiap kali Jeje memalingkan kepalanya, denyut jantungnya berdegup lebih cepat. Insting Jeje mengatakan bahwa keselamatan dirinya saat ini sedang terancam. Insting tersebut mendorong Jeje untuk mempercepat larinya guna memperlebar jarak antara dirinya dengan siapapun yang berada di belakangnya itu.


Puluhan pintu telah Jeje lewati, namun dia belum tiba di ujung selasar tersebut. Hanya bunyi sepatu yang beradu dengan lantai yang dilapisi karpet berwarna cokelat tua serta suara napas Jeje yang tersengal-sengal yang memenuhi seluruh penjuru.


Lagi, Jeje menolehkan kepalanya ke belakang. Suara langkah kaki itu masih terdengar namun Jeje masih belum bisa melihat siapa pemiliknya. Tiba-tiba saja, sebuah pintu terbuka dan tanpa aba-aba tangan Jeje ditarik sampai seluruh tubuhnya terlempar masuk ke ruangan yang berada di balik pintu tersebut.


Jeje bisa merasakan rasa nyeri yang menghantam ketika punggungnya beradu dengan lantai. Ketika dia sedang berusaha menetralkan rasa sakit yang menjalar, sesosok bayangan perlahan-lahan mendekati dirinya. Jeje pun mengangkat kepalanya, berusaha untuk mengenali pemilik bayangan tersebut.


Semakin bayangan itu mendekat, sedikit demi sedikit bagian wajahnya dapat terlihat oleh Jeje. Lalu, orang tersebut merubah posisinya, menekuk kedua kakinya dan berjongkok di hadapan Jeje. Wajah yang tadinya samar-samar kini jelas terlihat.


Wajah itu merupakan mimpi buruk untuk Jeje...


Wajah yang tidak akan pernah bisa Jeje lupakan seumur hidupnya....


Jeje berusaha untuk berteriak, namun kedua mulutnya seolah-olah terkunci rapat. Dia semakin panik ketika orang yang berada di hadapanya menyeringai lebar. Satu tangannya terjulur ke arah Jeje dan mengusap wajahnya sambil menatap penuh nafsu.


Jeje kembali berusaha untuk membuka mulutnya dan berteriak, namun tidak ada suara yang keluar. Tangan yang tadinya mengusap wajah Jeje, kini berangsur-angsur turun menyusuri leher Jeje yang penuh dengan keringat. Jeje menundukkan kepalanya. Sedikit lagi tangan itu akan menyentuh bagian tubuhnya yang paling pribadi.



Napas Jeje semakin menderu seiring dengan rasa takut yang semakin memuncak. Dia ingin lari, tapi tubuhnya terasa terkunci dan sama sekali tidak bisa untuk digerakkan. Tangan itu semakin dekat, dan dengan sekuat tenaga yang dia punya Jeje meloloskan teriakan putus asa.


"JANGAAAANNN !!!!!"


"NOONAAAA !!!!"


Panggilan itu melemparkan Jeje keluar dari alam mimpi. Kedua matanya terbuka dan dia langsung mendapati wajah Joshua berada di atas kepalanya, memandangnya dengan cemas.


Jeje lantas bangun dan langsung menubrukkan diri ke dalam pelukan Joshua. Seluruh tubuhnya bergetar. Rasa takut yang tadi dia rasakan masih terasa nyata.


"Maafkan aku, Noona.... Maafkan aku....." suara lembut milik Joshua terdengar di salah satu telinga Jeje seiring dengan gerakan tangannya yang mengusap punggung kakak angkatnya itu.


What Kind of FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang