-kami memiliki ras, bangsa, negara dan suku. Bahkan kami memiliki keseharian seperti yang kalian miliki, jadi jangan lupa kalian memang tidak melihat kami, tetapi kami melihat kalian dan kami ada di mana-mana-
-kami hidup lebih dahulu. Tetapi, kami pasti mati. Setan, jin dan iblis. Kami bisa mati, yang tidak bisa mati hanya yang kekal, Allah-
-quote.by.Datuk Danau ****n-
***
Dengan penuh keraguan aku menyentuh air danau, aku melihat ke kiri dan ke kanan tidak terjadi apapun terhadapku.
Ku pikir seperti di sinetron atau di filem aku tersedot atau ada buaya datang lalu di makannya atau aku di bawa ke dimensi sana.
Wanita yang melayang itu terkekeh melihat ku, matanya langsung melebar dan ia menundukan kepalanya.
Sebuah kereta melayang di atas awan berhenti dan itu tepat di depan ku.
Angin dingin berkeluaran, keringat dan badan ku yang tadinya kepanasan langsung menghilang.
Seorang lelaki berpakaian adat keluar dari kereta dan menatapku heran. Lelaki kekar, tegap, tinggi dan kulitnya hitam kini menatapku dengan matanya yang tajam.
'Siapa manusia ini? Auranya...'
'Salah satu manusia yang di undang oleh datuk danau ****n.' Ucap wanita itu masih menundukan kepala.
'Ahhh, manusia yang menolak berkali-kali datang itu?' Ingatnya sambil berwajah cerah. Ia tertawa dan mengelilingiku 'ahahah, pantas, pantas, pantas, anak-anak, biasanya yang beraura seperti ini orang yang sudah uzur dan mendekatkan diri ke langit.'
'Pangeran B*******, apakah anda sedang ingin berkunjung?'
Orang hitam yang di panggil pangeran itu terdiam sebentar dan lalu kembali melihat ku. Ia tersenyum menyeringai.
'Ya, biarkan aku ke da...'
'Tidak perlu.'
Sesuatu yang sangat besar jatuh dari langit, riak air kembali berisik berserta dengan pohon-pohon karena adanya angin ribut yang datang tiba-tiba.
Dari balik angin tampak seorang datuk bersorban putih yang sangat besar dan sangat tinggi. Rasanya waktu itu aku agak pegal di leher karena mendongkak melihatnya.
Wajah pangeran hitam itu langsung tegang dan ia menunduk.
Aku masih bingung, aku harus melakukan apa? Selama bingung aku hanya menatap orang besar yang melayang itu.
'Kau manusia, manusia tidak perlu menunduk kepada kami, bangsa kalian lebih sempurna.'
Kata-kata yang ia keluarkan lebih bermakna dan lebih lembut dari pada yang ku tuliskan. Jadi, jangan di ambil pusing.
Apakah ia bisa membaca pikiranku, batin ku waktu itu.
Ia tertawa pelan 'tentu.'
Aku menyipitkan mata ku dan mulai menilai orang itu.
"Kau yang memanggilku? Kau berbeda dengan yang lain. Kenapa harus repot-repot memanggil ku dari beberapa makhluk yang berbeda?" Perotes ku sambil berdiri menjauh dari pinggiran danau, aku takut akan ada buaya yang memakan ku waktu itu.