***
Aku menyadari kini sudah memasuki daerah lain dan penguasa yang berbeda.
Udara nya lekat dan asri sekali udara pohon yang rimbun menutup segalanya.
"Sebentar lagi, ada tempat yang di sebut orang sini dengan sebutan rumah hitam."
Tinnn tinnn, mobil kami berkali-kali mengeluarkan kelaksonnya. Bagi mereka yang mengetahui daerah ini adalah suatu yang wajar apabila ingin melewati jalan ini.
Wuuuussshhh, sesuatu hitam dan berkumpul di satu tempat tampak berlarian ke arah sesuatu yang tampak hangus hitam.
Ada sesuatu di situ? Batin ku melihat semua hitam dan terlihat seperti air yang lengket itu masih berkumpul tidak teratur mengelilingi sesuatu.
Setelah melewati tempat itu ibu pemilik rumah pun kembali cerita.
"Ada yang kamu lihat Ta?" Tanyanya membuka pembicaraan.
"Hmmm, entah," jawab ku ragu, karena sesuatu yang mengelilingi itu aku tidak yakin apa yang kulihat, tidak seperti yang di tengah jalan sewaktu aku masih Sd yang suka menarik anak-anak.
Yang ini berkumpul tidak jelas dan tidak tampak apa yang mereka lindungi.
Lindungi?
Aku tidak berpikiran seperti itu sebelumnya.
"Apakah tempat yang namanya rumah hitam itu sudah tidak ada?" Tanya ku.
"Eh? Kamu tahu dari mana?"
Tampak wajah ibu itu terkejut, jadi benar mereka melindungi sesuatu, tapi aku tidak bisa menembusnya karena banyak sekali segerombolan tidak teratur begitu.
"Hmmmmm." Aku bergumam dan menyenderkan kepalaku ke mobil dan JDAR.
Sangat sakit.
Aku mengelus kepala ku yang terentak dengan dinding besi mobil.
Ibu itu dan yang duduk di dekat ku tertawa saja. Yah, bagaimanapun ini jalan desa.
"Ta tahu dengan sejarah tempat itu?"
"Sejarah?" Tanya ku balik.
"Dulu sekali pada zaman masih perang melawan belanda..."
Tentara di sekitar merasa akan kalah sehingga mereka semua berlarian ke dalam hutan rimba.
Mereka yang hanya bermodalkan sebilah bambu tanpa pikir panjang memberanikan diri mundur ke dalam hutan karrna di kejar menggunakan senjata.
Kebingunggan dengan nasib mereka didalam hutan mereka membuat sebuah camp.
Tentara yang masuk ke hutan satu persatu di bantai mereka berkat camp itu.
Camp mereka hanya sebuah menara. Menara tanpa pintu ataupun jendela. Tidak ada satupun yang bisa keluar ataupun memasuki menara itu, tidak ada yang tahu bagaimana mereka megalahkan pasukan itu, menggunakan senjatakah? Atau masih dengan bambu? Atau dengan taktik lain dan malah tentara yang di bantai di masukan mayatnya ke dalam sehingga mereka keluar mencari sisa-sisa tentara belanda yang lainnya.
Menara itu menjadi menara berisi mayat-mayat. Semua yang meninggal di buang ke dalam sana. Warga sekitar pun bingung bagaimana mereka bisa memasuki semua mayat ke dalam menara itu.
Menara tanpa pintu, tanpa jendela. Menara yang di buat tinggi dan tertutup, yang tadinya untuk tempat berlindung agar mereka dalam keadaan terjaga tidak terkena serangan mendadak menjadi tempat pembuangan mayat semua yang mereka bunuh dan bahkan teman mereka yang tewas.