***
"Hallo, Ta, tadi saya bicara dengan bapak mu sebentar, istri saya yang minggu kemarin Ta bantu." Sapanya membuka pembicaraan.
Aku yang tadi nya ingin istirahat di tarik ke ruang tamu kembali memasang wajah bosan, ini akan lama batin ku.
"Ta, saya ingin minta tolong..."
Aku melihat ke bapak ku, nampaknya bapak ku menjelaskan kemampuan ku kepada tamu satu itu.
"Ya, kenapa?" Tanya ku sambil duduk di lantai seperti biasanya, orang yang pertama kali mendengar perkataan ku itu pasti mikir aku kok judes atau cuek amat kata-katanya, ya tapi itu aku.
"Ah, ***** duduk di bawah saja!" Ajak bapak ku berdiri dan duduk di lantai juga.
Bapak itu menuruti permintaan bapak ku dan duduk tidak jauh di kursi nya.
"Begini nak, saya kan kerja selalu di luar, kadang-kadang ngawal sawit atau ngawal kayu, tapi, akhir-akhir ini saya terkena sial terus menerus,"
"Dengan kata lain sekarang saya tidak punya apa-apa, bahkan sekarang saya sudah menjual mobil dan motor saya, sekarang saya saja kemari di panggil sama pak ***** ini jalan naik angkot." Jelasnya panjang, ia membicarakan sial-sial nya sedangkan Qorin nya berbicara sejujurnya apa yang ia lakukan selama ini.
Mencari uang sampai melupakan adanya keluarga, bahkan sampai membuat keluarga lagi. Entah mau apa orang ini, tapi selanjutnya bapak ku angkat bicara.
"Ta, dia ini anak buah bapak, dulu dia yang paling kaya di antara anak buah bapak lainnya, dia bahkan punya rumah besar, 3 mobil dan banyak motor. Seperti yang kau ketahui istrinya yang kemarin kemarin datang itu." Jelas bapak ku.
"Sejak kapan kaki mu sakit?" Potong ku setelah penjelasan bapak ku.
Bapak itu terkejut dan sedikit bingung.
"Ah, ini entah, tiba-tiba memberat begitu, bahkan sampai kulit kaki saya bersisik begitu dan kebas..." Jelasnya.
Aku melihat ke kakinya, tiba-tiba sesuatu masuk ke rumah ku dengan sambil menangis.
Angin menerpa tempat itu dan aku hanya bisa melotot. Seorang, uhm, sesosok anak kecil, bersisik dan berair menangis sambil menunjuk bapak itu.
'Bukan salah ku, bapak ini yang salah.'
"Kenapa?"
'Dia menabrak ku, andai saja ia menabrak kakak ku yang lebih tua dan berumur ribuan tahun, aku masih kecil.' Tegasnya.
"Kau siluman?" Tanya ku.
'Siluman?' Balasnya tanya.
"Uhm, bangsa jin, suku yang paling bawah." Tungkas ku.
'Ya, orang-orang memanggil ku jin air atau setan air.' Jawabnya 'ah, tolong jangan usir aku, gara-gara orang ini menabrak ku aku sudah tidak memiliki kaki.' Lanjutnya menangis.
Dasar air mata buaya, aku menghela napas dan melihat ke kedua orang dewasa yang bingung tapi tidak ingin menganggu pembicaraan kami.
Aku menjelaskan keberadaan anak kecil itu dan bahkan menjelaskan bentuknya.
Bapak itu mengakui bahwa dia pernah lewat hutan dan jembatan. Lalu tiba-tiba entah kenapa jalan yang lurus dan tidak ada siapapun itu membuat ia kehilangan keseimbangan dan ambruk miring. Seperti menabrak dinding di depannya.