DYNA NURMALITA SARI COKLAT YANG KU SEMOGAKAN

86 9 2
                                    

TAKDIR.

Aku tahu, tak seorang pun dapat mengetahui takdir kehidupannya masing-masing, dan tak seorang pun dapat mengubah takdir kehidupannya pula. Terutama diriku sendiri. Sejatinya, kehidupan manusia itu berjalan seperti air yang selalu mengikuti arus. Namun, bukan berarti kita harus pasrah mengikuti arus kehidupan, untuk menciptakan kisah yang indah dalam kehidupan ini setiap manusia harus melaluinya dengan berbagai usaha agar tercapai keinginannya. Walau pada akhirnya tidak tercapai, setidaknya dari usaha tersebut kita telah mendapatkan pengalaman berharga yang tidak dapat dibeli dimanapun.

Kala itu menjelang ujian nasional aku menyibukkan diri mengurus surat-surat berharga untuk mendaftarkan diri menjadi calon siswa polisi negara yang dilaksanakan selepas ujian nasional. Jauh sebelum terlaksananya pendaftaran calon siswa polisi negara, aku telah mempersiapkan fisik untuk menghadapi tes non akademik. Setiap sore sepulang sekolah aku selalu melatih kemampuan berlariku, setiap pagi selepas bangun tidur aku selalu melatih kemampuan push-up dan sitt-up ku, setiap hari Minggu aku selalu melatih kecepatan dalam berenangku. Aku berusaha semampuku demi mencapai keinginan tersebut, yakni menjadi seorang abdi negara bersenjata.

Semangat untuk meraih cita-citaku semakin menggebu ketika bertemu dengannya dikolam berenang. Dia. Laki-laki blok depan yang belum lama tinggal di komplekku. Sejak kedatangannya aku selalu memerhatikannya namun tidak berani mengawali perkenalan. Mungkin ini saat yang tepat mengajaknya berkenalan.

Sedari tadi kuperhatikan, kuakui dia sangat hebat dalam hal berenang. Kolam sepanjang lima puluh meter dan selebar dua puluh lima meter mampu ia kelilingi sebanyak dua kali putaran. Dalam hal gaya berenang pun tak diragukan lagi, laki-laki itu jago dalam segalam macam gaya. Malu rasanya melihat dia mampu, sedangkan aku hanya menguasai satu gaya dengan dayungan kaki yang sangat lambat, bahkan aku hanya mampu menembus jarak sejauh tiga puluh meter saja, sangat jauh jika dibandingkan dengannya.

Tiba-tiba dari belakang. BHAAAAA!!!

"Eh lutung!!! Astaga Icha ngagetin aja lu mah. Sebel deh ih" Nadaku kesal. Icha adalah teman baruku, kita bertemu ketika sama-sama mendaftar sebagai calon siswa polisi negara. Kami latihan renang bersama tiap Minggu.

"Udah sih Dyn, digituin doang marah," ia masih meledekku sambil menyenggol bahuku.

"Gimana nggak marah? Ini dipinggiran kolam setinggi lima meter. Kalo gua kaget terus kecebur emangnya lu mau nolongin? Jago berenang juga belum lu mah," tangkasku masih kesal. Memang, Icha juga baru belajar berenang bersamaku, namun keahliannya tak separah milikku. Sekarang Icha sudah menguasai dua gaya, ya walaupun dayungannya juga sangat lambat sepertiku. Namun setidaknya dia jauh lebih mampu dibandingkan denganku.

"Kalo lu kecebur ya pasti gua ketawain, Dyna. Hahaha gitu. Ntar habis itu gua ledekin, belum hari-H aja udah tenggelem, gimana pas tes beneran nanti ? Gimana menurut lu?" Balas nya dengan penuh pancingan agar aku semakin mengeluarkan emosiku.

"Parah lu mah Cha. Sini lu gua ceburin. Gemes deh ihhh," jawabku lalu beranjak dari pinggir kolam menghampirinya lalu mencubit pipinya yang kenyal seperti jeli.

"Aaaa! Sakit Dyn! Sakit," teriak Icha merengek kesakitan. Dan teriakannya berhasil mengalihkan perhatian banyak orang disekitar kolam. Tanpa kusadari, ternyata sedari tadi ada dua orang lelaki yang memerhatikan tingkah kami berdua dan kemudian menertawai. Karena merasa semakin kesal bin malu, aku pun segera bergegas pergi dari tempat itu namun kemudian langkahku ditahan oleh Icha.

"Mau kemana? Udah sih disini aja."

"Malu ih, pindah aja yuk," pintaku.

"Udah disini aja, orang temen-temen gua ada disini." Sambil mengarahkan pandangannya menuju dua lelaki tadi.

Catatan Akhir Tahun "Dear Me"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang