Namaku Mentari, anak kedua dari dua bersaudara alias anak bungsu. Aku tinggal bersama ayah dan ibu. Ayah ku bernama Munawari, "pak Nawar" itulah sapaan akrabnya. Ayah bekerja sebagai teknisi mesin di sebuah perusahaan swasta bonafit. Ayah ku, seorang kepala rumah tangga yang sangat bertanggungjawab, pekerja keras dan tegas. Ibu ku bernama Miftahuliqoh, "bu Iqoh" itulah sapaan akrabnya. Ibu ku, seorang ibu rumah tangga yang sangat sabar, penuh kasih dan cinta. Lalu dimana kakak ku tinggal ? Yahh, satu-satunya kakak laki-laki ku kini telah berkeluarga. Kakak ku dan istrinya berkunjung ke rumah setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Alhasil, sebagai anak bungsu dan belum menikah, aku tinggal bersama kedua orangtua. Melewati hari-hari dengan penuh cerita yang hilir mudik berganti. Senang, sedih, kecewa, bahkan merasa kesepian semua aku rasakan. Aku tahu, hidup itu tidak selalu menyenangkan, ada masa dimana kesedihan dan kekecewaan hinggap dalam hidup. Itu semua adalah hukum alam, agar manusia terus bersyukur dan tidak sombong dalam menjalani hidup.
Ayah ku sering ditugaskan ke luar provinsi selama kurun waktu 1 sampai 2 bulan, wajar rasa rindu sering menyelimuti aku dan ibu. Untuk itu ibu dan ayah berusaha membangun komunikasi yang baik. Setidaknya setiap hari ayah menyempatkan waktu untuk menelpon kami, walau sekedar menyapa dan menanyakan kabar. Itu semua dilakukan untuk menjaga keutuhan keluarga. Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku lebih dekat dengan kedua orangtua terutama ibu. Bersama ibu, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercerita. Ibu selalu terlibat dalam kegiatan yang aku lakukan, walau hanya memantau dan memberikan pendapat. Tidak hanya itu, dikala aku sedih ibu menjadi malaikat bagiku yang selalu menguatkan dan memberikan ketenangan. Jujur, rasa sayang ku teramat besar untuk ibu daripada ayah. Mungkin karena ayah tidak selalu di rumah, pekerjaan mengharuskannya berpindah dari satu provinsi ke provinsi lain.
Suatu hari dari dalam sudut ruang kamar, aku mendengar suara dua orang yang sedang bercengkrama dan tertawa. Aku pun yang tengah asyik berbaring santai sambil menonton acara televisi diselimuti rasa penasaran. Tidak beberapa lama, ibu keluar dari kamar tersebut.
"Mba, ada-ada saja kelakuan ayahmu. Ibu sampai kaget." kata ibu yang mencoba menahan tawa. Ayah hanya tersenyum malu keluar dari kamar . Aku semakin dibuat penasaran melihat tingkah kedua orangtuaku.
"Memangnya ada apa bu, ayah ?" tanyaku dengan wajah bingung.
Ibu yang sedang berias menjawab pertanyanku, "Masa hp ibu di sadap, semua chat WhatsApp ibu ada di hp ayah mu." (Ibu melirik ayah, kemudian mereka tertawa bersama).
Aku hanya tersenyum dan tidak mau berkomentar tentang hal itu. Ibu dan ayah pun bergegas untuk pergi menghadiri pesta pernikahan di TMII. Semenjak kejadian itu, komunikasi diantara ayah dan ibu menjadi kurang baik. Ayah selalu dihinggapi rasa cemburu dan khawatir.
Hingga akhirnya . . . . . .
Di suatu malam tak berarah yang begitu dingin, aku berteman sepi sedang terbaring di atas ranjang yang sangat nyaman. Menyendiri di dalam kamar, hanya cahya lampu yang terus menerangi dan memberikan kehangatan. Aku terbangun dari atas ranjang dan menghampiri sebuah lemari buku. Dengan cekatan aku mencari beberapa buku dari dalam lemari, mata ku terus bergerak ke atas dan ke bawah menjelajahi setiap buku. Akhirnya, pencarian ku berhenti pada 3 buah buku yang sangat menarik. Kemudian, dengan tenangnya aku mulai membaca buku. Tangan ku tak henti membalikkan halaman demi halaman. Tak terasa, waktu terus berputar, suara adzan isya yang dikumandangkan dari masjid menembus dinding kamar aku. Seketika, aku berhenti membaca dan menjawab suara adzan tersebut. Tidak lupa bergegas mengambil wudhu dan melaksanakan ibadah solat.
Usai solat, aku pergi ke supermarket untuk membeli makanan ringan. Perlahan pasti, aku melangkahkan kaki keluar kamar dan meminta izin kepada ibu untuk membeli makanan ringan.
"Bu, aku pergi ke supermarket dulu ya mau beli makanan ringan,hehehe." Ucap aku.
Saat itu, ayah dan ibu sedang duduk di ruang tamu. Ayah asyik menonton televisi sementara ibu sedang menikmati makan malamnya. Aku bergegas ke supermarket, yang letaknya tidak jauh dari rumah. Hanya membutuhkan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Setibanya di dalam rumah, aku duduk di sebuah sofa dan mengeluarkan makanan ringan yang sudah dibeli. Dengan posisi yang sama, ayah dan ibu masih duduk di ruang tamu sambil menonton tv. Aku mendengar secara samar suara menggerutu dari mulut ayah. Saat ibu melangkahkan kaki ke dalam kamar ku, tiba-tiba ayah meminta ibu untuk tetap duduk dan nampaknya ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Aku yang masih duduk di sofa masih diam seribu bahasa, tak sedikit pun kata-kata terucap dari mulut ku. Tiba-tiba terjadilah perdebatan ayah dan ibu. Seperti biasa, ayah dengan sifatnya yang tegas dan tak pernah mau mengalah bahkan mendengarkan pendapat orang lain terus meluapkan kemarahannya. Ibu yang sudah hafal dengan sifat ayah menghadapinya dengan tenang dan sabar. Hanya sesekali ibu merespon dan menjelaskan yang semestinya. Namun, ayah tetap bersikukuh dengan pendapatnya, menyuruh ibu untuk menghapus aplikasi WhatsApp dan tidak lagi berhubungan dengan mantan pacar dan teman laki-lakinya. Aku yang sudah geram mendengar semua perkataan ayah, berusaha membela ibu. Aku yang sedang duduk di sofa, langsung berdiri dan membantah semua perkataan ayah.
"Kenapa yah selalu ribut ? Untuk apa yah ? Ayah dan ibu sudah tua. Tidak perlu cemburu seperti itu. Ayah tidak pernah mendengarkan pendapat orang lain, selalu mau menang sendiri. Ayah pernah tidak sih berpikir, ayah yang selama ini selalu aktif di media sosial (Facebook), line, WhatsApp. Ayah selalu nge-share gambar, lalu mantan ayah komen dan ayah membalasnya. Ibu tidak pernah melarang dan menyadap hp ayah. Sementara ibu Cuma menggunakan WhatsApp dan chat sama teman-temannya dan mantan, itu pun tidak sering yah. Ibu chattingan sama mantan cuma sekedar broadcast saja yah." Ucap ku.
Ayah tetap dengan pendiriannya dan sama sekali tidak mengindahkan pendapatku. Ayah kembali menggerutu dan seakan-akan menyalahkan ibu. Aku pun semakin memuncak.
"Ayah seharusnya berpikir, hidup itu bakal berputar. Aku takut yah, seandainya suamiku seperti ayah. Suami ku dengan asyiknya bisa berbalas komentar dengan mantan dan teman-teman perempuannya. Gimana yah ? Ayah mau aku diperlakukan seperti itu nantinya ? Setiap bertengkar, aku takut untuk melangkah dan berhubungan dengan laki-laki. Ucapku dengan Isak tangis (air mata terus membasahi pipiku).
Kemarahan ayah dengan ku semakin memuncak, kulihat tatapan matanya penuh dengan amarah. Diambilnya sebuah helm dan tangannya siap melemparkan helm itu kapan saja. Aku pun berjalan mendekati ayah, dan berdiri tepat di hadapannya. Walau hujan air mata yang terus membasahi pipiku, tidak sedikit pun kemarahan ayah mereda. Ibu berusaha menenangkan aku, namun aku tak menghiraukan ibu sedikitpun.
"Mau apa yah ? Lempar aja helmnya yah !!! Kalau perlu bunuh aku aja yah sekarang. Biar ayah bahagia, tapi jangan sakiti ibu aku !!!," Ujarku menantang.
Ayah kemudian meletakkan helmnya, namun apa yang terjadi ? Tangan ayah mencekik leherku dan menjambak rambutku. Tapi ibu dengan cepat melepaskan tangan ayah dari leherku.
"Saya ini ibunya, saya yang melahirkan dan membesarkannya. Bagaimana mungkin seorang ibu tega membiarkan anaknya seperti ini. Kamu tega mau membunuh anak kamu ?", Ujar ibu dengan suara meninggi.
Kemudian aku masuk ke kamar. Perasaanku hancur berkeping-keping, kesedihan menutup semua rongga hatiku. Di balik selimut, aku terus menangis. Air mata terus mengalir deras, bahkan kedua kantong mataku tak sanggup lagi menampung kesedihan itu. Seketika ayah yang aku banggakan, kini menjadi orang yang aku benci. Bagaimana mungkin dalam perdebatan itu, ayah dengan ringannya mencekik dan menjambak rambutku. Selama ini, ayah sangat menyayangiku dan tak pernah sedikitpun "main tangan" bahkan ayah selalu melindungiku dalam segala situasi. Aku bertanya kepada diriku sendiri, "apakah aku salah berbicara seperti itu ? Apakah aku salah membela ibu, orang yang teramat aku sayangi ?".
Malam silih berganti pagi, udara sejuk dan pancaran sinar matahari yang seharusnya begitu indah bagiku, namun tidak untuk saat itu. Kejadian semalam masih melekat dalam ingatanku. Aku melihat keluar kamar, ayah dan ibu duduk di depan ruang tamu, mereka sedang menikmati sarapan pagi bersama. Tak terlihat sedikit pun amarah bahkan kesedihan di raut wajah kedua orangtuaku. Ibu melihat aku berdiri di depan pintu kamar, diambilkannya sarapan untukku dengan senyuman penuh cinta. Jujur, aku tak mengerti dengan semua ini. Perasaanku tak dapat digambarkan saat itu, haruskah aku senang, sedih, kecewa, bahkan dendam ? . Sebagai anak, aku tentunya senang melihat ayah dan ibu baik seperti sedia kala, tak ada perselisihan. Namun, di satu sisi, memori terus mengingatkan ku akan perdebatan hebat malam itu. Aku paham, saat itu ayah benar-benar dimabuk cemburu buta, sampai tega hati berlaku kasar kepadaku. Aku berharap yang terbaik untuk keutuhan rumah tangga kedua orangtuaku, perlahan tapi pasti biarkanlah waktu yang mencoba menghapus kekecewaan dalam hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Akhir Tahun "Dear Me"
RandomDisini lah awal mula kita untuk menjadikan langkah kita kedepan menjadi lebih baik dari hari lalu. Disinilah awal cerita kita mengapa kita bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. Tulisan ini bisa diibaratkan adalah kaca, cerminan diri kita yang siap u...