Qanita Nur Alfiah "Surat Ingatan"

72 2 0
                                    

Di hari terakhir tahun 2017 ini. Enam jam sebelum hari pertama di tahun 2018. Saat matahari tergelincir pulang menuju gelap. Saat itu langit berwarna oranye dan sedikit merah muda keunguan dengan awan-awan putih berkabut. Aku mengejar waktu untuk pergi ke suatu tempat yang sudah lama sekali semenjak terakhir aku mengunjunginya. Ku harap dia masih disana.

31 Desember. 08.11 WIB

Seseorang mengirimiku surat. Seperti biasa mas-mas yang mengantarkan surat ke komplek perumahanku tidak pernah absen menyapaku. Meskipun ia hanya sekadar lewat. Senyumnya manis, sangat ramah. Namun terkadang aku melihat kesedihan di matanya. Cahaya matanya redup. Sendu. Kira-kira ia seumuran denganku. Setiap kali aku melihatnya, aku akan menyapanya duluan. Karena sepertinya dia sedang patah hati. Seperti habis ditinggal oleh orang yang terkasih. Dan tidak seperti biasanya, pagi ini, ada sebuah surat untukku.

31 Desember, 17.30

Aku hidup sendirian. Sebatangkara. Namun hari ini, orang lain mengirimiku sepucuk surat yang terlihat sudah tua. Siapa ya kira-kira? Aku terlalu terburu-buru untuk menyentuh surat itu tadi pagi.

"Dear me.

Aku adalah dirimu delapan bulan yang lalu. Ingatkah kau? Dulu ada seseorang yang selalu bersamamu. Genta namanya. Kalian selalu bersama sejak masa SMP. Bahkan ia sengaja memilih SMA di pinggir kota yang sama denganmu meskipun sebenarnya ia bisa saja masuk ke sekolah favorit.

Jika kau masih belum mengingatnya, biar aku jelaskan padamu.

Kulitnya tidak terlalu hitam dan tidak putih. Kulitnya kecoklatan seperti orang asia kebanyakan. Jika dia tersenyum, maka kau bisa melihat semua deretan giginya yang putih. Senyumnya sangat lebar. Manis. Tingginya kira-kira 172 cm. Saat aku menulis surat ini, tinggi badanku sejajar dengan bawah dagunya. Seharusnya saat kau membaca surat ini pun begitu, jika pertumbuhannya sudah berhenti. Dia sangat pintar. Wawasannya luas meskipun kau tidak pernah melihatnya belajar di siang atau malam hari. Kau sangat dekat dengannya. Sangat dekat. Bahkan dia lebih mengenalmu dibanding dirimu sendiri. Apa yang kau suka dan tidak kau suka. Ia mengetahui itu lebih dari dirimu sendiri.

Apa kau sudah ingat?

Jika belum, kuberi tau satu hal. Saat bulan juni tahun lalu. Tahun 2016. Kalian bersepeda di taman. Lalu kau menantang dia untuk lomba di jalan kampung menuju pegunungan. Jika kau lupa, jalan itu sangat mulus. Sudah aspal. Namun, berkelak-kelok dan tidak ada pembatasnya. Sedangkan kanan kirinya adalah hutan dan jurang. Kau memaksanya untuk bermain bersamamu. Dan dia akhirnya menyanggupi keinginanmu meskipun setengah hati. Kalian naik mobil dan membawa sepeda warna pink dan hijau. Warna kesukaan kalian. Saat itu lomba dimulai dari atas. Jalan turunan. Dan Genta terjatuh karena remnya tidak pakem. Masuk jurang. Jalanan agak sepi waktu itu. Dan kau sangat takut. Kau memanggil bantuan dan menunggu cemas di pinggir jalan. Bantuan datang, dan kau melihat Genta yang berdarah-darah diangkut oleh petugas. Belum sampai ia ke jalan kau terburu melangkahkan kakimu menjemputnya tanpa pijakan. Dan terjatuh.

Ku harap kau sudah ingat sampai sini."

Tubuhku bergetar hebat. Aku mengingat diriku tahun lalu. Dan suara dokter kembali terngiang. Semuanya berawal saat aku tersesat di jalan menuju kantor. Hingga ada yang mengenaliku. Orang tersebut tersenyum akrab. Aku melangkah mundur. Aku tidak mengenalnya.

Semenjak itu hal-hal aneh terjadi padaku. Terkadang aku berjalan di tempat yang baru pertama kudatangi, entah bagaimana caranya. Terkadang aku lupa jalan rumahku. Dan lupa saat di tengah jalan, kemana aku hendak pergi. Dan lupa jika aku sudah menyelesaikan deadline hingga aku mengerjakannya berkali-kali. Dari situlah aku mendengar kabar yang bahkan tak pernah terlintas dibenakku. "Anda terkena Alzheimer," vonis dokter.

Ternyata keisenganku saat itu membawa hal yang lebih buruk dari maut. Saat terbangun di rumah sakit karena jatuh, aku lega karena tidak ada luka fisik yang fatal.

"Ingatlah, kau tidak sendirian. Ada Genta yang menunggumu. Seperti yang kalian janjikan, kalian akan bertemu setiap hari di bukit kebun teh yang jaraknya 20 menit perjalanan dari rumahmu. Menikmati senja bersama. Meski pun kau tau ia lebih menyukai matahari terbit. Lagi-lagi aku memaksanya untuk memenuhi keinginanku. Genta pria yang baik. Sangat baik.

Aku

Mei 2017"

Tak sanggup aku membendung air mata Genta. Sudah berapa lama ia menunggu?

Tanpa pikir panjang. Aku naik ojek dari persimpangan depan komplek menuju bukit itu. Aku ingat saat aku bersandar dipundaknya sambil memandang matahari yang sinarnya tak lagi memekik mata. Harusnya saat itu aku menyuruhnya untuk tak lagi menjalankan perjanjiankonyol itu. Dan bodohnya, apa dia selalu datang kesana setiap hari? Ku harap tidak.

Tepat 20 menit, aku sampai di sana. Tapi sayangnya matahari benar-benar sudah tenggelam. Aku tidak menghentikan abang ojek yang terus membawaku ke tujuan. Meski pun aku tau aku tidak akan sampai tepat waktu. Hanya saja saat ini berharga. Ingatanku sangat berharga. Tidak ada yang bisa menjamin ingatanku akan tetap kembali besok. Bagaimana jika besok aku melupakannya lagi? Dan hanya mengenalnya sebagai mas pos yang mengantarkan surat setiap hari?

"Aku tau kau pasti datang,"

Aku menoleh ke belakang setelah berlari kecil mencari sosok yang setiap pagi muncul di sekitar komplek. Aku ingat. Setiap kali aku pulang ke rumah setelah menghabiskan waktu senja bersama. Aku selalu menulis surat untuk diriku sendiri. Aku takut akan melupakannya. Setiap hari aku tulis untuk diriku besok. Sampai beberapa waktu lama. Dan karena ingatanku membaik. Aku pikir aku benar-benar baik. Hingga aku jarang menulis. Dan sekali pun menulis, itu di tujukan untuk diriku beberapa bulan ke depan. Terkadang sudah lewat dari beberapa bulan aku masih mengingat Genta. Dan Mei kemarin. Aku pikir aku akan bisa mengingatnya setidaknya sampai akhir tahun ini. Tapi ternyata malam saat aku menulis surat. Keesokan paginya. Aku melupakannya.

"Maaf." Tangisku pecah. Air mataku mengalir deras. Jika langit sedang hujan, maka itu adalah hujan terhebat yang pernah ada. Yang hanya bisa ku ucapkan adalah maaf. Berjam-jam terus begitu. Dan ia selalu menjawab maafku dengan kata, "tak masalah asal kau kembali."

Catatan Akhir Tahun "Dear Me"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang