4 Tahun ini, aku tinggal di asrama. Karena bersekolah diluar lingkunganku, aku dikirim untuk tinggal di asrama tempat orang-orang mengaji. Biasa disebut 'Pondok' oleh orang-orang. Kehidupanku biasa-biasa saja. Seperti kebanyakan orang lainnya. Bertemu dengan orang baru, berkenalan, berteman, bertengkar, lalu akur kembali. Permasalahannya juga biasa. Karena debat masalah sepele, karena cowok dan nggak ketinggalan karena contekan. Yah, bukannya sombong atau apa, selama ini aku selalu menjadi pusat perhatian para guru karena aku tergolong anak yang lumayan pintar. Tapi sejujurnya, dibalik itu semua aku punya alasan yang mungkin tidak dipikirkan anak seusiaku kala itu. Akan aku mulai dari kehidupan keluargaku. Aku anak pertama dari 4 bersaudara, dan aku adalah kakak perempuan dari 3 adik laki-laki. Dan sekali lagi, adik pertamaku dan aku mempunyai jarak kelahiran 7 tahun. Ayahku seorang PNS dan 3 tahun lagi beliau pensiun. Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Tidak ada yang unik? Memang. Karena kehidupan keluargaku juga biasa-biasa saja. Bukannya keluargaku tidak punya masalah, keluargaku hanya menjalani setiap masalah dengan santai. Kata Ibu "Berusaha lalu Berserah". Keluargaku adalah Keluarga religious. Sehari-hari , aku dan adik-adiku wajib dan harus mengaji setelah sholat magrib, dan tentunya Shalat wajib tidak boleh lewat. Jika hal itu terjadi, bukan hanya Ayah yang turun tangan tapi Ibu juga. Keluargaku juga mengharuskan belajar. Memang ibuku bukan sarjana, tapi beliau sangat memperhatikan pendidikanku dan adik-adikku. Dan berawal dari itulah aku mulai berjuang menjadi anak pintar. Alasan sebenarnya adalah karena aku memikul beban berat dari urutan kelahiran, sebut saja seperti itu. Semasa SMP, aku hanya anak biasa yang berhasil masuk kelas luar biasa, akan tetapi menjadi anak biasa dikelas karena peringkatku yang biasa. Yah, harus kuakui. Teman-teman SMP-ku dipenuhi dengan anak sportif yang aslinya sungguh pintar, ah... cerdas kurasa. Tapi, karena jiwa sportif dan kompetitif mereka, aku juga terpacu menjadi salah satu diantaranya. Meskipun hasil tidak bisa berbohong. Setelah lulus, aku mulai 'Mondok' di salah satu pondok besar di Jawa Timur. Pondokku melakukan kerjasama dengan beberapa sekolah menengah disana. Dan aku berhasil masuk diSMA terbaik di list itu. Dan 4 tahun kehidupan asramaku dimulai disini.
Seperti anak yang baru dewasa, aku mengambil langkah besar untuk menjadi seorang pendiam disana. Aku sudah bertekad kuat untuk menjadi 3 besar disekolah dan di madrasah tempatku mengaji. Dan itu wajib!. Hal ini menjadi tekad luar biasaku yang sebelumnya belum pernah terpikirkan olehku. Aku hanya berpikir, setidaknya tujuan pertama yang harus aku lakukan adalah membuat orangtua ku bangga, membuat mereka merasa bahwa tidak sia-sia kerja keras mereka untuk menyekolahkanku. Di setiap event lomba seperti olimpiade, aku tak pernah melewatkan. Entah menang entah kalah, aku setidaknya mendapat piagam penghargaan. Dan aku yakin, dengan menjadi aktivis olimpiade dan mendapat peringkat , para guru akan menyukaiku dan membantuku dalam belajar. Dan itu terjadi.
Masa awal SMA, aku benar-benar menjadi pendiam pintar yang pelit. Akan kujelaskan soal 'pelit' ini. Seperti anak SMA pada umumnya, dikelas tentu ada tingkat. Pintar, biasa dan sangat biasa. Tapi, kebanyakan dari yang sangat biasa ini benar-benar membuatku jengkel kala itu. Seperti yang kita ketahui, kebanyakan anak sangat biasa menggunakan kekuatan fisiknya sebagai bahan ancaman untuk anak-anak lain yang berusaha. Dan seperti yang kalian duga , kemampuan mencontek mereka luar biasa. Kebanyakan anak pintar di sekolahku bukanlah orang asli alias hampir 70% adalah anak rantau. Dan dari situlah mereka membentangkan kekuasaan dan kekuatan mereka. Aku yang mempunyai bawaan jiwa sportif dan kompetitif inilah yang belum goyah masa itu. Jadi, mereka menganggapku 'pelit' dan itu menjadi salah satu titik lemah dalam pertemananku.
Diawal SMA, aku menjadi seorang introvert. Teman aku punya, tapi pada awalnya mereka hanya kuanggap kolega. Karena aku dan mereka sama-sama simbiosis mutualisme. Tentu saja mereka anak-anak pintar yang sama-sama mengincar peringkat. Selama 1 tahun, aku hanya berkelompok dengan mereka. Dan lucunya, selama 1 tahun itu pula, anak yang satu asrama denganku tidak ada yang mengenalku walau kami satu sekolah. Setelah 1 tahun berlalu, aku mulai merasa membutuhkan teman. Karena jauh dari orangtua, aku membutuhkan seseorang yang bisa kuajak bicara. Dan sahabat pertamaku adalah kolega pertamaku dulu. Aku dan dia tidak satu kelas, tapi kami mengambil jurusan yang sama. Aku mulai bersahabat dengan tulus kala itu. Aku mulai jadi cerewet, mulai berkelompok dan mulai agak brutal. Aku tidak sepenuhnya brutal. Aku jarang bolos. Aku juga tidak pernah telat atau melanggar. Hanya saja, aku mulai menjadi anak SMA pada umumnya. Saat itu, julukan 'pelit' sudah tidak ada. Aku menjadi manusia yang low profile kepada semua. Karena aku berpikir, "Ini yang disebut solidaritas" Karena kami sama-sama saling membutuhkan. Tapi, meskipun hal-hal yang sebelumnya tidak ada menjadi ada itu terjadi, aku tidak pernah melupakan target awalku. Menjadi yang terbaik. Dan selama tiga tahun masa SMA, aku selalu mendapat peringkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Akhir Tahun "Dear Me"
DiversosDisini lah awal mula kita untuk menjadikan langkah kita kedepan menjadi lebih baik dari hari lalu. Disinilah awal cerita kita mengapa kita bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. Tulisan ini bisa diibaratkan adalah kaca, cerminan diri kita yang siap u...