Revin menepuk pelan bahuku, meminta ku untuk menoleh padanya. Mata sahabatku itu tertuju pada kedua tangannya yang saling meremas di atas meja. Raut wajahnya antara bingung dan sedih. Aku ikut mengerutkan dahi.
"Kamu pernah merasa bahwa apa yang kamu lakukan, yang kamu usahakan, dan kamu perjuangkan saat ini hanya sia-sia belaka?" Revin tetap pada sikapnya saat bertanya padaku. Kali ini kerutan pada dahiku memudar berganti dengan sudut bibirku yang terangkat sebelah.
"Tentu saja. Malah terlampau sering. Kurasa semua teman-teman kita di kelas ini juga pernah merasakan hal yang sama." Aku mengedarkan pandangan ke seluruh bagian kelasku, melihat sekilas kegiatan mereka. "Kamu ada masalah? Mengapa kamu tiba-tiba terdengar pesimis seperti ini?"
Sahabatku itu tersenyum miris, "Aku hanya merasa, semakin aku memikirkan bagaimana aku akan menjalani hidup di masa depan, semakin pula aku merasa bahwa semua itu bukan sesuatu yang luar biasa."
Aku benar-benar merasa bahwa yang saat ini berada di sebelahku bukanlah sahabatku yang biasa. Karena biasanya Akulah pihak yang selalu mengeluh dan Revin menjadi pihak yang penuh semangat yang akan memotivasiku.
"Kamu belum menjalaninya, bagaimana kamu tahu bahwa masa depanmu bukan hal yang luar biasa?" Tentu saja aku protes akan ucapannya yang sedikit-banyak juga menyinggungku. Jika dia yang selalu menyemangatiku saja pesimis, lalu bagaimana aku?
"Bukan itu maksudku." Revin segera menyangkal, mungkin dia menyadari nada bicara ku yang meninggi.
"Seperti yang kamu tahu, sebentar lagi kita akan lulus SMA dan akan mulai menjalani rutinitas yang berbeda sesuai pilihan kita nantinya. Tapi aku tidak merasa hidup kita setelah ini akan benar-benar berbeda.
"Saat ini kita pergi ke sekolah lalu pulang sore hari, mengerjakan tugas, mengulang pelajaran di rumah, setelahnya Ujian Nasional. Lalu apa? Kita pergi ke Bimbel lalu pulang sore, mengerjakan kumpulan soal, mempersiapkan diri untuk SBMPTN atau berharap menjadi yang beruntung menerima SNMPTN, setelahnya kita diterima di Universitas. Lalu apa? Kita pergi ke Kampus lalu pulang sore, mengerjakan tugas, mengulang materi di rumah, lalu ujian, setelahnya skripsi. Lalu apa? Setelahnya kita mencari kerja, bekerja, mencari pasangan, menikah, memiliki anak, lalu? Mati."
Aku menelan ludah. Sahabatku lebih pesimis dari dugaanku. Tak pernah kudengar dia berkata buruk atas usaha yang selama ini dia lakukan. Kini dia bahkan berkata buruk untuk masa depannya.
"Apa kamu berkata begitu karena merasa jenuh? Aku tidak melihat dirimu dalam bayanganmu yang suram itu." Aku hanya penasaran dan mengatakan apa yang kupikirkan, lantas Revin mengangguk, membenarkan ucapanku.
"Aku jenuh dengan rutinitas kita yang terlampau monoton. Aku bahkan sudah lama tidak mengulang pelajaran lagi karena tidak tahu untuk apa aku melakukannya. Untuk sukses? Lantas menjalani rutinitas lagi. Aku butuh sesuatu yang baru, yang segar sehingga bisa menyemangati dan membangkitkan tujuan serta motivasiku. Bukan malah ditekan sedemikian rupa dan dipaksa harus menjadi lulusan yang sukses."
Ucapan Revin cukup membuatku berpikir. Tidak, bukan berarti aku terpengaruh oleh ucapannya. Aku hanya berpikir, "bukankah memang seperti itu hidup?"
"Aku tau," Revin ingin menyela.
"Kalau kamu tidak ingin rutinitas yang monoton, tidak usah hidup." Ucap ku sedikit bercanda. Revin menepuk lenganku hingga meninggalkan rasa perih disana.
"Sebentar lagi, kita akan memasuki tahun akhir kita berada di SMA ini. Alasan kamu menjadi jenuh adalah karena tekanan dari sekelilingmu dan situasimu saat ini. Mereka yang menekanmu pun begitu, karena kamu menjadi pesimis di akhir tahun maka mereka berusaha memacumu. Hanya saja cara mereka tidak sesuai denganmu."
Revin memajukan bibirnya mendengar petuah dari aku yang mendadak menjadi seperti orang paling bijak sedunia. "Karena itu aku merasa jenuh."
"Iya, aku tahu. Lantas karena itu kamu menganggap masa depanmu akan sama saja seperti saat ini? Ayolah Revin, 2017 hampir mencapai akhirnya. Semua orang berlomba untuk menyelesaikan resolusi yang mereka buat saat awal tahun lalu, mengapa kamu malah meletakkannya begitu saja tanpa menuntaskan usahamu?
"Jika kamu merasa jenuh, mungkin kamu baru saja kehilangan tujuanmu? Coba ingat kembali apa yang sangat ingin kau capai hingga beberapa waktu lalu kamu masih bisa tekun. Atau kamu cari tujuan baru saja! Jadikan resolusimu di tahun 2018 nanti, sehingga saat 2018 tiba kamu berada dalam semangat 200% untuk mencapai tujuanmu itu."
Aku mengakhiri petuah panjangku. Sebenarnya aku sedikit takjub Revin tetap memperhatikan ucapanku walau semakin kesini- semakin berbelit saja.
Revin yang awalnya menatapku beralih menoleh ke belakang, mendapati dua teman kami yang duduk disana ikut mendengarkan. "Teman kita ini sudah dewasa." Revin berkata kepada mereka, mencibirku. Teman-temanku itu tertawa mengabaikanku yang jadi bermuka merah karena malu.
"Intinya, berhubung sebentar lagi tahun 2018. Alangkah lebih baik apabila kamu menaruh harapan lebih tinggi pada dirimu agar menjadi sosok yang lebih baik di masa depan." Rini menyimpulkan inti ucapanku menjadi lebih sederhana. Aku mengangguk sebagai bentuk pembenaran.
"Nah, bagaimana dengan kamu sendiri? Tiba-tiba menjadi bijak seperti ini, aku jadi curiga mungkin saja kamu tidak mengerti apa yang kamu katakan dari tadi?" Ucap Revin yang sepertinya telah melupakan rasa bingung dan sedih yang beberapa menit lalu ditunjukkannya.
"Tentu saja aku mengerti! Aku selalu merasa antusias dan penasaran dengan masa depanku, tidak sepertimu!" Aku mencubit lengan Revin dengan pelan, sahabatku itu tertawa.
"Aku ingin kuliah dan ingin mencoba rasanya berdiam diri seharian di perpustakaan. Aku ingin mendalami bidang ilmu yang cocok denganku dan tenggelam di dalamnya. Aku ingin ikut organisasi dan komunitas mahasiswa. Aku ingin melakukan penelitian untuk skripsi. Karena semua itu akan menjadi bukti, bahwa aku berjuang untuk hidup yang lebih baik ke depannya. Dan semoga! Semoga yang ku harapkan ini bisa terealisasikan mulai tahun 2018 mendatang!"
Aku mengatakannya dengan semangat menggebu dan kuharap teman-temanku juga merasakan hal yang sama.
Tahun 2018 nanti, adalah tahun terakhir kami bersama di sekolah ini sebagai seorang siswa. Kuharap saat itu aku dan teman-temanku dapat lulus tanpa penyesalan yang tersisa. Lalu kami dapat melanjutkan perjuangan hidup kami kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, di Universitas yang kami harapkan dan di jurusan yang tepat.
Semoga aku dapat menemukan tujuan utama yang dapat ku capai dengan menggapai cita-citaku, sehingga aku tidak merasa putus asa atau malah menjadi serakah di kemudian hari.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Akhir Tahun "Dear Me"
RandomDisini lah awal mula kita untuk menjadikan langkah kita kedepan menjadi lebih baik dari hari lalu. Disinilah awal cerita kita mengapa kita bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. Tulisan ini bisa diibaratkan adalah kaca, cerminan diri kita yang siap u...