Choirin Fitri "Rindu Tangisan Bayi"

68 2 0
                                    

Tatapanku nanar. Butiran air mata mengalir tak mampu terbendung. Ada goresan luka, seberkas kecewa, dan setumpuk tanya tanpa jawaban, "Apakah aku tak pantas menjadi seorang ibu?"

"Bersabarlah sayang, mungkin Allah belum berkenan menitipkan amanah pada kita karena kita belum layak menjadi orangtua. Atau mungkin Allah punya rahasia lain dibalik dicabutnya amanah itu dari tangan kita." Sekelumit kata dari kekasih hati memainkan satu rasa dalam harap yang tersembunyi. Ah, dia memang selalu berbaik sangka pada Rabbnya, Rabb kami.

"Yakinlah, suatu saat nanti Allah pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik. Ikhlaskanlah ia! Insyaallah ketika kita ikhlas, Allah akan pertemukan kita dengan anak kita kelak di surga." Semburat senyum terlukis di bibir imam kehidupanku. Pelukannya dan kecupan kening yang ia berikan membawaku dalam alam kedamaian tanpa ujung.

* * *

Lebih kurang satu tahun berlalu sejak peristiwa keguguran itu. Ketika langit pagi masih merah merona. Ia merasa malu menyambut datangnya sang surya.

Dua sejoli tanpa kata, tanpa suara menikmati deru mesin roda dua. Kuda mesin itu melaju menyusuri jalanan yang berkelok. Tepat di depan sebuah klinik bersalin kendaraan yang mereka tumpangi berhenti.

"Bu, selamat ya, Anda hamil." Seorang bidan desa mengabarkan satu rasa yang indah.

"Benarkah aku akan menjadi ibu?" Sekelebat tanya tercurah dalam dada. Rasanya aku masih berada dalam alam mimpi.

"Nyatakah ini?" hatiku bertanya.

"Alhamdulillah." Pangeran surgaku tersenyum. Ia meyakinkan bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata.

* * *

Ujian itu punya sifat unik. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Ia biasa menyapa kehidupan dalam keadaan manusia siap atau masih bersiap atau malah belum siap. Ya, itulah ujian.

Amanah itu pun diuji. Di ujung trimester pertama pendarahan itu terulang kembali. Tak ada kata yang mampu terucap selain, "Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun." Beruntung buah cinta kami masih bisa diselamatkan. Opname. Ya, kami harus bersedia menginap di sebuah klinik bersalin untuk mempertahankan amanah ini.

"Bapak, ibu, maaf, kami sudah berusaha memberikan perawatan dan obat terbaik, tapi kondisi ibu dan janinnya masih seperti ini. Hanya keajaiban Allah yang bisa menyelamatkan janin ibu," Seorang bidan meluncurkan kabar yang membuat hati teriris sembilu.

Wanita dicipta memiliki stok air mata tanpa batas. Dalam sedih ia menangis. Dalam bahagia pun ia teteskan air mata.

Kuraih tangan imamku. Kuletakkan tangannya yang kokoh di atas rahimku. Dengan bibir terkecat, aku berucap, "Mas, jika Mas siap memperjuangkan anak ini bersamaku, aku siap memperjuangkannya dengan segala resiko untukmu."

Laki-laki tangguh itu jarang terlihat menangis. Tapi kini, matanya sembab entah karena rasa apa. Aku hanyalah manusia biasa yang tak mampu membaca isi hati orang. Aku hanya mampu mendengar kata singkatnya yang tegas dan penuh keyakinan, "Insya Allah Mas siap."

Bedrest total menjadi satu-satunya pilihan ketika kami harus mempertahankan buah cinta kami. Terkadang harus keluar masuk klinik hanya untuk mengecek kondisi kesehatan atau karena kondisi drop.

Hanya tangisan dalam do'a dan harap yang mengiringi setiap langkah. Bukan langkah gontai. Tapi, langkah penuh keyakinan bahwa di setiap kesulitan ada kemudahan. Dan satu keyakinan bahwa Allah tidak akan menguji melebihi kemampuan hamba-Nya.

* * *

Tangis bayi memecah malam yang pekat. Bayi merah merona telah lahir ke dunia. Seorang putra tangguh yang telah berhasil berjuang selama sembilan bulan di rahim ibunya. Ialah simbol perjuangan dalam darah dan air mata.

"Allahuakbar. Alhamdulillah. Aku telah menjadi seorang ibu," pekikku dalam hati. Air mata kebahagiaan mengalahkan rasa sakit akibat sayatan operasi sesar. Ya, aku tak bisa melahirkan normal. Terlalu lama terbaring saat hamil membuat janinku tak mampu berputar dan memasuki jalan lahirnya.

Senyum Ayah baru itu terlihat mengembang. Ia menatapku dengan segenap cinta yang terus berlipat ganda. Meski terlihat kaku ketika menggendong putra kami, ia amat menikmatinya.

"Allah, terima kasih, Engkau telah memberikanku kesempatan untuk memberikan hadiah terbaik baginya. Bagi imamku." Kata tanpa suara hanya untuk Allah Yang Maha Mendengar.

* * *

Menatap para lelaki ketika tidur adalah keasyikan tersendiri. Ada beribu rasa yang berkecamuk ketika menatap keduanya. Syukur, harap, asa, dan untaian do'a meluncur tanpa terbendung.

Lelaki kecilku bukan bayi lagi. Ia tumbuh menjadi manusia kecil dengan berbagai kisah yang telah dijalaninya. Nanti, tepat 17 Januari 2018 ia genap berusia 5 tahun.

"Mush'ab mau adik," celotehnya suatu saat.

"Pak ini, bu itu, mbak ini, mas itu sudah nambah momongan lho dek," rangkaian kata lelaki besarku seakan mengabarkan harap bahwa ia siap menjadi bapak untuk anak kami berikutnya.

Aku? Bagaimana dengan aku? Ya, dua lelakiku berharap, akupun hanya mampu menggantungkan harap pada Rabb semesta alam.

* * *

Waktu terus berjalan. Ia tak pernah mau berhenti meski hanya sekejap mata. Waktu pun akhirnya menjawab kembali. Aku hamil. Ya, aku hamil untuk kesekian kalinya. Berharap kisah berdarah-darah itu takkan terulang. Tapi, sekali lagi Allah menguji. Kisah itu seperti siaran ulang. Hanya 8 pekan janin itu bersemayam di rahimku. Ia tak mampu bertahan.

Bukan tangis bayi yang menjadi nada di rumah sepetak ini. Tapi, tangisan ngilu karena rasa sakit yang teramat dahsyat akibat kontraksi janin yang belum saatnya keluar.

"Maafkan aku mas! Aku....." hanya kata itu yang sanggup keluar dari mulut ini. Lisan ini tercekat. Ada gumpalan rasa sakit dan ketakutan mengecewakan yang membungkam kata. Sakit fisik yang terhempas lebih ringan dari rasa sakit hati yang belum mampu menerima takdir seketika.

"Bersabarlah sayang! Allah tahu kita mampu." Seulas senyum, ya senyum yang tak pernah berubah dari penyokong hidupku. Pelukan hangatnya kembali mengingatkanku pada berbagai peristiwa dicabutnya amanah kami yang ingin memperbanyak keturunan.

"Mas, berapa ya anak-anak surga kita?" tanyaku satu waktu dengan mutiara bening di sudut mata.

* * *

Mungkin ada ribuan wanita yang mampu melahirkan dan memperbanyak keturunan dengan mudah. Tapi, mungkin ada ratusan wanita yang sedang berjuang untuk meraih simpati Rabbnya agar mereka dipercaya mengemban tugas menjadi ibu. Jika aku bukanlah termasuk ribuan wanita itu, mungkin aku bagian dari ratusan wanita itu.

"Lihatlah mereka yang belum punya momongan sekian tahun dek! Jangan melihat yang sudah punya momongan banyak agar tak kecewa! Allah sudah menitipkan satu untuk kita. Bersyukurlah!" Sekelumit kalimat pendamping hidupku adalah angin segar dan mata air yang menyejukkan dikala hati gersang.

Biarlah rindu bersambung rindu. Bukan rindu pada kekasih hati yang kan membuat hati ini terus hidup. Tapi, bagi seorang wanita rindu tangisan bayi adalah kenikmatan tersendiri. Kenikmatan yang terkadang terasa aneh tapi nyata dirasa.

Biarlah kerinduan ini menanti akhirnya. Pasti ada akhir di setiap ujung kisah. Sad ending atau happy ending, Allah lah pen-skenario terbaiknya. Kita hanyalah manusia biasa. Tugas kita hanya percaya bahwa Allah telah memberikan naskah terbaik untuk kita lakoni dalam drama kehidupan ini. 

Catatan Akhir Tahun "Dear Me"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang