Senin pagi, masih dalam putaran bulan Novemeber. Aku duduk di kursi lama, sebuah kursi kayu polos tanpa pahatan sedikitpun. Kursi ini selalu setia mempersilahkan siapapun yang akan merebahkan diri mencurahkan setiap isi hati. Bagiku kursi ini adalah makhluk Tuhan paling sabar di sekitaran taman indah ini. Ia tak pernah pergi, tak pernah mengeluh, meski tak sedikit para pencurah hati datang dan pergi hanya sekedar mengadu kekesalan atau melamun sendiri tanpa guna, begitupun aku.
Sebenranya Aku tidak ingin seperti mereka, tidak ingin bersedih dan tidak ingin meratap seperti mereka di kursi ini, tapi apalah daya bila bayangan hari esok masih saja datang dan tidak meyakinkanku. Aku masih teringat pada perjodohan itu, perjodohan yang membuatku tidak siap untuk mempercepatnya, apa lagi bila harus melakukannya di bulan-bulan ini. Aku ingin pernikahan itu akan terlaksa bila tahun 2018 nanti telah tiba.
"Sampai kapankan hatimu hanya kau peruntukkan pada kursi bisu ini, Hafidzah?, bukankan di tempat lain ada cinta yang juga ingi mendapatkan perhatian darimu?" tiba-tiba Azka datang. Kami duduk saling berjauhan, lantas saling menoleh kearah berlainan.
Mataku berkaca-kaca, bibir ini mengajakku untuk menyampaikan sebuah kalimat untuk menjawabnya.
"Sampai hati ini menjadi yakin, sampai cinta itu semakin kuat, bersabar seperti daun-daun di atas sana dan sampai aku puas duduk di kursi ini"
"Tidakkah kamu khawatir, bila suatu nanti cinta itu mempunyai keinginan berpaling meninggalkanmu?"
"Jika memang benar cinta itu mencintaiku, maka tidak ada alasan baginya untuk tidak bersabar menanti kakurangan diri ini," sambil jeda, aku menghirup udara "Aku yakin cinta halal itu akan hadir di awal bulan Januari nanti"
"Semoga saja, Aku akan ikut serta berdo'a untukmu, semoga awal 2018 nanti akan menjadi awal yang indah bagimu dan cinta itu senantiasa bersabar menantimu?" harap Aska, memberi semangat lalu pergi.
Aku hanya berdiam sembari menyelami kalimat-kalimat itu. Sepertinya kalimat itu terucap mewakili ketidak sabaran Azka menungguku dalam menjali cinta berjarak ini. Aku menganggap cinta kami adalah cinta berjarak. Sebab, meskipun perjodohan ini sudah berjalan selama empat tahun, sampai detik ini kami tidak pernah menjalani cinta sebagaimana pada umumnya. Seperti mereka yang saling menatap pada saat bertemu, saling berpegang sembarari tersenyum dan saling memeluk pada saat saling merindu.
Seperti itulah kisah cinta antara aku dan Azka. Sesempit jarak antara dua sisi kursi ini yang selalu menjadi pembentang anatara kami, bahkan sampai di pengujung 2017 ini pun cinta kami seperti itu-itu saja. Duduk saling menjauh meskipun bermacam retorika telah datang silih berganti. Aku hanya ingin bersiap diri menuju hidup yang lebih baik, meskipun pada kenyataannya aku tak pernah mengetahui seperti apa sebenarnya perasaan Aska dalam menyikapi langkah-langkahku ini.
¤¤¤
Sepekan kemudian, di kursi yang sama dan masih meraungi pagi, merenung seperti hari-hari sebelumnya. Semaikin jauh rangkaian sajak-sajak cerita yang ku lalui terus berputar tiada henti. Sepertinya ia masih belum mampu memberi jawaban pada sang harapan agar dapat mengartikan hasil dari sebuah kesabaran. Ia masih belum mau untuk menunjukakan, bahwa sebenarnya hidup adalah penantian menuju kepastian, bahwa hidup adalah perjuangan menuju sebuah klimaks dan bahwa setiap tetesan tinta baru sebenarnya ia tidak luput dari bermacam-macam persoalan. Namun, itu hanya sekedar gumam hatiku, nyatanya sampai saat ini aku tak mampu melalui itu semua.
"Sudahkah ada jawaban?" Aska datang kembali, duduk sebagaimana seminggu lalu.
"Jawaban tentang apa?" Tanyaku, pura-pura tidak tau.
"Untuk mencintai cintamu dengan cinta yang halal?" sergah Azka, lebih serius. Sepertinya kali ini ia tidak main-main.
"Sudikan kamu mendegarkanku sekali lagi?" Aku berdiri, tanpa dirasa ujung mata pun mebasah, lantas meneteskan air mata. Aku masih merasa belum siap untuk menjalaninya.
"Tentang Apa?"
"Berikan aku kesempatan untuk berharap lebih baik lagi?"
"Sampai kapan?" tanya Azka, menyerintai.
"Sudah ku bilang, 2018 nanti kau sudah bisa memiliki aku sepenuhnya"
"Fatin...,Fatin. Aku bukan tidak sabar menantimu dalam masa, yang bagiku masa itu teramat pendek jika dibandingkan dengan masa empat tahun yang sudah kita lalui"
"Lantas?"
"Rencanakanlah masa mendatangmu. Namun, bukan berarti kau harus menyia-nyiakan masa sekarang." Singakat Azka, lantas pergi. Selang bebera langkah dia menoleh kembali.
"Aku siap menunggumu, di bulan Januari nanti" susul Azka, membingungkan.
Aku terdiam tidak bisa menjawab apa-apa. Aku pun berfikir, ternyata sangat benar apa yang disampaikan oleh Azka. Rencanaku di hari esok bukan berarti harus mengganggu kesempatanku di hari ini. Sebab, pada dasarnya memang tidak ada waktu yang lebih baik dibandingkan dengan waktu sekarang. Bukan waktu kamarin bukan pula waktu mendatang. Waktu kemarin hanyalah cerita dan waktu nanti hanyalah sebatas harapan, bahkan aku pun tak pernah mengetahui seperti apa sebenarnya rencana Tuhan di tahun baru nanti.
"Azka?" seruku dari kejauhan.
"Ia" jawab Azka.
"Datanglah kapan kau mau, aku siap menjadi cinta halalmu, kapanpun itu" seruan ini membaut Azka hanya tersemung, lantas melanjutkan langka kakinya kembali.
¤¤¤
Dear me
"Hidupku adalah hari ini dan hari kemaren adalah ceritaku, sedangkan hari esok, bahkan tahun baru nanti adalah rencanaku sebagai penyemangat untuk menjalani ceritaku di hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Akhir Tahun "Dear Me"
SonstigesDisini lah awal mula kita untuk menjadikan langkah kita kedepan menjadi lebih baik dari hari lalu. Disinilah awal cerita kita mengapa kita bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. Tulisan ini bisa diibaratkan adalah kaca, cerminan diri kita yang siap u...