Siska Yulianti "Diriku yang semakin menua "

61 2 0
                                    

Ketika matahari masih menerbitkan cahaya nya di ufuk timur, ia tak pernah bosan. Begitupun dengan membenamkan dirinya di ufuk barat, ia pun tetap sama. Dia setia, dengan sabarnya ia tetap mengitari bumi untuk memberikan kehangatan kepada umat manusia di planet ketiga ini. Tuhan memang luar biasa, adakah kata-kata yang lebih indah yang pantas aku katakan untuk memuji-Nya? Karna nyatanya aku adalah manusia yang seharusnya paling bersyukur diantara manusia yang lainnya, mengapa demikian? Siapa aku? Diriku hanyalah perempuan biasa yang sempat berada di posisi paling terpuruk. Tapi Tuhan selalu ada, menguatkanku dan memelukku lewat ketenangan hati yang selalu aku pertahankan dalam setiap syair do'a ku. Aku bangga menjadi diriku, yang tetap setia dan percaya disaat orang lain pergi meninggalkan ku pada situasi tersulit. Tahun 2014 tepatnya tiga tahun yang lalu aku resmi menjadi seorang mahasiswi di salah satu universitas swasta di Bandung, ujian demi ujian aku hadapi penuh dengan air mata, bimbang menentukan pilihan ke universitas mana akan aku pijakkan kaki ini, ternyata Tuhan memiliki rencana yang tak terduga. Ketika aku di sulitkan dengan beragam pilihan dan biaya yang pas-pas an serta perizinan orang tua, aku gagal mencapai keinginan ku untuk masuk jurusan Psikologi di salah satu universitas negri di Yogyakarta. Ibu memang tak pernah mengizinkanku masuk jurusan itu, apalagi harus pergi jauh ke luar kota karena aku memang anak perempuan sulung di rumah. Ibu kadang merasa kesepian jika aku belum pulang dari sekolah, apalagi jika aku memang di takdirkan untuk menempati kursi di fakultas itu, mungkin saat ini ibu sedang sendiri menikmati tawarnya secangkir teh hangat di sore hari. Aku bersyukur, aku masih disini melihat Ibu menikmati tehnya di depan televisi. Aku disini Ibu.

Entah rencana apa yang Tuhan recanakan pada saat itu, aku masih bertanya-tanya sambil menatap langit-langit kamar yang penuh dengan debu pada saat itu. Aku berfikir, "Mau jadi apa aku ini?" aku sempat berputus asa, kehilangan arah dan tujuan, terpuruk dalam satu keputusan yang tak pernah aku harapkan sebelumnya. Pada suatu kesempatan aku memberanikan diri untuk mengikuti test di salah satu Universitas swasta di Bandung, di jurusan Ilmu Komunikasi Karna memang pada dasarnya aku menyukai bidang itu, dan aku merasa bahwa aku memiliki kemampuan di bidang itu dan aku yakin akan berhasil dengan mengambil langkah awal di jurusan ilmu komunikasi. Aku ingat, sepulang sekolah aku mendapat surat dan surat itu menyatakan bahwa aku lulus di jurusan tersebut, dengan terburu-buru ibu langsung merebut dan membaca surat itu. Ibu menangis, dan mengatakan bahwa mengapa aku bersikeras dengan keingan ku untuk melanjutkan kuliah, padahal pada saat itu keuangan keluarga sangatlah sulit. Memang salahku, aku tak pernah bercerita bahwa aku mengikuti tes itu. Ibu pun tak mengizinkannya dengan alasan tak ada biaya, "uang dari mana? Uang kost? Uang saku? Uang semester? Uang praktik?" dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang beliau lontarkan dengan bertubi-tubi. Aku sempat berada pada ambang frustasi, aku bimbang menentukan pilihan kembali. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak kuliah di tahun itu, walaupun berat rasanya hati untuk mengendapkan keinganan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Pagi itu ibu memanggil ku dan bertanya kepada ku perihal rencana setelah lulus SMA, aku menjawab "Aku menyerah. Kita tak punya cukup banyak uang untuk menempuh pendidikan itu" Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca, aku tahu Ibu kecewa dengan jawabanku bahkan merasa paling berdosa karna tidak bisa melihat anaknya duduk di bangku kuliah. Ingin aku teteskan bulir air mata di pipi, namun aku tahan. Aku berusaha menguatkan hatiku untuk tidak menitihkan air mata di hadapan Ibu, namun Ibu mengerti, ada duka di balik senyum dan ketegasan kalimatku waktu itu. Ibu bertanya kepadaku sekali lagi, namun kali ini ibu memperlihatkanku secarik kertas berisikan brosur, bingung sekaligus terhentak dengan apa yang ibu perlihatkan padaku, keningku mengernyit tak paham dan mataku melihat ibu dengan tajam, menandakan bahwa aku tak mengerti dengan maksud beliau pada saat itu. Ibu mencoba menjelaskan sekaligus menawarkannya padaku, namun aku ragu. lagi-lagi aku mengatakan bahwa "Kita tak punya cukup banyak uang" Ibu tersenyum dan mengatakan bahwa universitas itu terjangkau dan tak perlu banyak biaya untuk kuliah disana, akhirnya aku setuju dan memilih jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di FKIP atau kepanjangan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Tak pernah terbesit sedikit pun untuk memijakkan kaki di fakultas itu, tak pernah ada niat menjadi seorang guru. Tenyata Tuhan memiliki rencana paling indah, jurusan yang aku inginkan dapat aku pelajari di fakultas ini meskipun tidak serinci mereka, namun aku mendapatkannya. Tahun 2014 setelah lulus SMA aku resmi menjadi Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris hingga saat ini yang menjadi tahun ketiga ku, banyak pengalaman yang aku alami, dari mulai berjualan di kampus, menjadi guru bahasa inggris honorer di sekolah dasar dan menengah pertama, mengajar private serta menjadi pegawai laundry paruh waktu pun pernah aku alami. Aku tahu, banyak hal yang dapat aku pelajari waktu yang telah aku lewati bahkan ujian-ujian yang menguatkanku, mampu membuat diriku menjadi seseorang yang paling bersyukur. Aku bahagia menjadi diriku, berada di sekeliling orang yang menyayangiku, menerima dan menguatkanku disaat aku jatuh. Dear me, kini usiaku sudah semakin bertambah. Ibuku sudah tak lagi muda, umurnya sudah lebih dari setengah abad. Aku berharap tahun depan adalah tahun bersejarah bagiku. Akan ku buktikan perjuanganku selama ini akan berbuah hasil yang baik, aku harap di usiaku yang menuju dewasa ini mampu bertahan dalam situasi apapun. 

Catatan Akhir Tahun "Dear Me"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang