Aku sering bertanya akhir-akhir ini; apakah mimpi memanglah hanya akan menjadi mimpi? Ataukah mimpi hanya sekedar omong kosong? Tapi faktanya hanya satu yang aku tahu. Impian yang tertulis tak akan pernah terjadi hanya dengan bermimpi dan menatapnya. Kerja keras yang terkadang sangat melelahkan justru menjadi kunci pada akhirnya.
Kala itu pembicaran singkat membuat aku tersadar.
Siapa yang tidak mengenal sosok Nathan? Lelaki bertubuh jangkung dengan kacamata bulatnya yang terkadang dia pakai. Culun? Tidak, dia bahkan salah satu sosok yang populer di kampus. Bukan karena ketampanannya seperti pada novel-novel teenlit jaman sekarang. Bukan itu. Nathan adalah lelaki dengan kulit sawo matang yang memiliki beribu prestasi.
"Nath, kok kamu hebat banget sih." Tanyaku suatu saat. Kala itu aku mengajaknya makan bersama di kantin. Kami tidak dekat. Hanya sebatas teman satu kelas.
"Hebat apanya Rin?" dia menyeruput minumannya. "Kamu juga hebat kok."
"Hebat aja. Kamu bisa menggapai semuanya. Menulis? Jangan tanya. Siapa yang gak kenal kalau kamu itu seorang penulis di kampus. Aktivis? Apalagi. Kamu seorang wakil BEM di Fakultas ini. Pintar? Itu sih udah darah daging kamu. Lomba karya tulis, essay, debat udah kamu lewatin satu persatu."
Itu memang terdengar tidak nyaman. Mataku melihat bagaimana Nathan bereaksi. Tapi, kali ini aku dalam keadaan yang sedang sejatuh-jatuhnya. Kamu tahu bagaimana rasanya jatuh? Bahkan hanya jatuh ke aspal saja sudah sakit. Bagaimana ketika kamu jatuh dalam kejenuhan dan kegagalan berulang? Itu jauh lebih menyakitkan.
"Kamu emangnya gak hebat, Ran?"
Pertanyaan Nathan membuatku hampir saja tersedak. Kali ini matanya menelisik mataku yang masih menatap meja kantin. "Bukannya kamu juga hebat?" ujarnya.
"A-aku? Hebat?" suaraku sedikit bergetar.
"Iyah..kamu hebat. Kamu gak sadar?"
Pertanyaan kedua yang keluar dari mulutnya membuatku berani menatap Nathan. Ada rasa penasaran yang tersirat di wajahnya.
Jika aku hebat? Bukankah aku sudah bisa seperti Nathan? Tapi, nyatanya tidak.
"Kamu gak harus kayak aku, Ran. Semua orang punya jalan yang berbeda." Ujarnya seolah tahu bagaimana otakku sedang berpikir sekarang.
Aku masih terdiam. Bukan tidak ingin menyanggah apa yang dikatakan Nathan. Tapi seakan kali ini aku setuju dengan yang dikatakannnya.
"Kamu itu hebat. Kamu pinter? Iya. Kamu aktivis? Iya. Tapi, bukankah manusia tidak akan pernah sama?" Nathan menelisik pandanganku, "Kamu kenapa, Ran? Gagal lagi lolos karya tulisnya? Atau gagal lagi diterima tulisan kamu?"
Kini satu pertanyaan yang ada di benakku; Apakah Nathan seorang peramal?
Sejak tadi kami berbicara satu sama lain, dia seakan tahu apa saja yang ada di pikiranku saat ini. Dia bahkan tau kenapa aku bertanya aneh-aneh kali ini. Ya, memang benar apa yang dikatakannya. Aku gagal lolos karya tulis, bahkan karya ceritaku ditolak mentah-mentah oleh redaksi majalah di kampus.
Kegagalan itu bukanlah satu, dua, bahkan tiga kali seperti bagaimana dengan mudahnya menghitung di jari tangan. Bahkan ini sudah tahun kedua aku mencoba agar karya tulisku bisa lolos, walaupun jika pada akhirnya tidak menang aku akan tetap bangga dengan hal itu. Tapi, nyatanya takdir seperti mengatakan bahwa menulis bukanlah takdirku. Lalu? Kenapa hingga kini aku tetap terus menulis walaupun rasanya kecewa itu selalu hadir setelah kegagalan berulang?
"Kamu peramal ya?" Aku menatap mata Nathan lekat. Mencoba menelisik pikirannya kali ini.
Dia tertawa. Tawa yang mungkin bisa saja membuatmu terpesona. Tawa khas Nathan yang menyombongkan lesung di pipinya. Bukankah jarang buat seorang lelaki?
"Aku cuma nebak ajah. Benar, kan?"
Aku mengangguk entah kenapa. Padahal, Nathan bukanlah orang yang benar-benar dekat denganku. Tapi, rasanya kali ini ingin sekali berbagi cerita dengannya.
"Aku cuma lagi jenuh, Nath. Udah capek ikut kaya gituan, tapi hasilnya sama ajah. Gagal." Ujarku penuh penekanan.
"Tuh kan. Gimana kamu mau berhasil kalau pikiran kamu ajah kayak gitu."
"Kamu sih enak, Nath. Lolos terus bahkan sampai juara. Lah, aku?"
"Rani, dengerin ya. Aku udah belajar karya tulis, essay, dan yang lainnya saat aku duduk di SMP. Gagal? Aku bahkan udah sering. SMP sampai SMA, aku terus gagal. Tapi, nyatanya usahaku berbuah manis sekarang. Aku mulai bisa menghasilkan banyak karya di kampus. Lolos lalu menang. Bahkan, lolos lalu kalah."
Aku tertegun.
Hening.
"Jadi, semua orang punya masanya masing-masing. Gak semuanya harus sama. Mungkin aku bakal liat kamu jadi penulis hebat suatu saat nanti. Kita gak akan pernah tau hasilnya. Yang perlu kamu lakukan sekarang cuma satu. Do it."
Hatiku bergetar.
Berlebihan? Memang. Kata-kata Nathan begitu berlebihan sehingga membuat debaran jantungku meningkat karena ucapannya. Tapi, satu hal yang baru saja aku sadari; perjuangannya ternyata lebih panjang dari perujuanganku. Jadi, inikah yang namanya gagal beribu kali lalu bangkit berjuta kali?
"Oke?" ujar Nathan. Matanya ikut tersenyum.
Aku mengangguk kala itu. Percakapan saat itu mungkin sesingkat kamu menonton satu segmen sinetron di TV. Tapi orang tidak pernah tahu bagaimana sebuah kalimat bisa menyelamatkan seseorang. Sejak saat itu bahkan aku berjanji untuk terus mencoba. Malam setelahnya, di atas secarik kertas berwarna biru, kuberanikan tanganku berirama menulis dengan tinta merah. Pikiran yang masih bercampur tiada henti. Hati yang masih ikut terus bergelora. Kala itu aku menulis sebuah janji pada diriku sendiri.
Dear, Me
Sang Pencipta memberi tahu bagaimana kegagalan dapat menjadi kesuksesan melalui orang-orang yang Dia pertemukan.
Gagal adalah sebuah kumpulan huruf yang terkadang menyematkan luka.
Tapi, sebuah luka akan tetap sembuh jika ia obati.
Hari ini aku menyadari
Tidak ada yang sempurna di dunia ini
Orang yang aku anggap sempurna, bahkan menyimpan masa lalu yang tidak sempurna.
Tidak masalah kamu gagal berulang kali.
Tidak masalah kamu menangis setiap saat kamu gagal.
Tidak masalah kamu kecewa pada dirimu sendiri.
Bahkan, tidak masalah jika kamu marah
Bukankah itu manusiawi?
Tapi satu hal yang pasti harus dilakukan ; Aku harus tetap bangkit dan mencoba.
Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana hasil akhir sebuah kerja keras.
Pada akhirnya kamu hanya akan tahu jika kamu mencobanya.
Karena Hidup itu mengejutkan.
Bogor, 30 November 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Akhir Tahun "Dear Me"
RandomDisini lah awal mula kita untuk menjadikan langkah kita kedepan menjadi lebih baik dari hari lalu. Disinilah awal cerita kita mengapa kita bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. Tulisan ini bisa diibaratkan adalah kaca, cerminan diri kita yang siap u...