Hai diri,
Hari ini kamu terhijab oleh ego malasmu. Ingatkah kamu, 5 bulan yang lalu kau menangis dengan pilu dihadapan orang tuamu. Kau memohon agar di kuliahkan oleh mereka, dan merekapun mengabulkan permintaanmu. Meski tak sepeserpun uang mereka genggam. Yang mereka pertimbangkan adalah keseriusanmu menggapai impian, yang mereka inginkan kamu bahagia.
.
Hari ini aku masih seperti ini, jauh dari apa yang kupaparkan kepada orang tuaku bulan lalu. Aku tidak berkembang sama sekali, lebih-lebih prestasiku merosot dari sebelumnya. Bukan tanpa sadar diriku begini. Ku baca kalimat yang sengaja ku tulis waktu awal hidup di kota metropolitan ini "satu detik kemalasanmu sama halnya satu tetes keringat orang tuamu terbuang sia-sia." Aku terduduk lemas disudut ruang dengan baris lurus lemari sebagai pemisah antara kamar satu dengan lainnya. Kupandang kosong ruang ini, ada suara kaki mendekat ke arah ku. Kucari sumber bunyi itu. Kulihat wujud yang kudengar. Kuamati dari pangkal kaki hingga ujung kepala.
"Kau kenapa put?" Tatapannya heran melihatku yang tak seceria biasanya.
"Nin, kritik tentang aku belakangan ini!" pintaku dengan penuh harap pada Nina yang bersebelahan lemari denganku.
"Kamu akhir-akhir ini berubah, optimismu hilang" ujarnya kecewa padaku.
Aku tertunduk lesu mendengarnya. Ternyata orang lain pun berfikir demikian terhadapku. Aku sadar akan semua yang kulakukan, aku malas dan semakin malas.
Android tua digenggamanku bergetar, tanda masuknya pesan baru. Jarang sekali kudapati pesan SMS begini, dengan penuh tanya langsung ku buka pesan itu
"Put, jajannya dihemat ya untuk bulan ini, soalnya padi disawah gagal panen, pekerjaan susah. Bilang dulu sama pengurus asrama kalau uang makannya telat"
Mataku nanar menatap tiap-tiap kata yang terutara di dalam pesan itu. Itu pesan dari ibuku, aku merasa bersalah padanya, aku membenci diriku. Aku harus berubah sekarang juga.
Ku ambil air wudhu untuk menentramkan hati. Air wudhu selain untuk mensucikan badan dari kotoran, pun berfungsi untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakitnya.
Ku ambil mushaf yang tersusun rapih diantara deretan kitab lain. Ku buka halaman-halaman yang memiliki tanda pena padanya. Kubaca ayat demi ayat. Ku ingat kembali apa yang pernah ku ingat. Betapa penuh dosa diriku melupakan ayat-ayat suciMu. Aku harus berubah, kembali menyusun rangkaian mahkota bagi ayah dan ibuku. Tahun depan adalah target finalku.
Aku memang tak bisa membahagiakan kedua orang tuaku dengan harta, karena waktu yang diberikan sang khalik habis kupakai untuk menimba ilmu dan ilmu. Kadang memang aku merasa iri. Aku tak enak hati kepada orang tuaku, saat kudapati tetangga bercerita bahwa ia mendapat kiriman uang dari anaknya dengan nominal yang besar. Dan aku, aku justru sering meminta nominal itu untuk keperluan ku.
Ini lah jalanku. Aku memiliki cara tersendiri untuk membahagiakan orang-orang tersayangku.
Harta tak menjamin kebahagiaan hidup manusia. Karena bahagia tak dinilai dari seberapa banyak harta yang ia miliki, melainkan seberapa besar rasa syukurnya pada harta yang ia punya.
Aku akan jadikan mahkota indah itu di tahun 2018. Ini janjiku dan aku harus menepati itu.
Akan kupakaikan mahkota itu untukmu ayah dan ibuku di alam bahagiaNya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Akhir Tahun "Dear Me"
RandomDisini lah awal mula kita untuk menjadikan langkah kita kedepan menjadi lebih baik dari hari lalu. Disinilah awal cerita kita mengapa kita bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. Tulisan ini bisa diibaratkan adalah kaca, cerminan diri kita yang siap u...