ASSYAROH MEIDINI PUTRIANA "EDELWEIS SAKSI AKADKU"

68 5 0
                                    

Udara dingin menggelitik liar sesukanya, jaket parasut berlapis polar pun mampu ditembusnya. Tubuhku bergelut dengan kelembaban udara menjelang waktu tinggi ini. Lilitan syal sedikit longgar dileher menjadi penghalang bagi pawana yang berusaha mencuri celah menerobos bentengku. Sarung tangan dengan bolong-bolong kecilnya adalah pertahanan agar jariku tak begitu keriput termakan suhu. Bersilahlah aku dibatuan besar sisa aktivitas vulkanik beberapa tahun silam. Dikelilingi bunga-bunga abadi kebanggaan pendaki yang berserak di diatas ketinggian 2597 Mdpl. Dan mulailah aku tertawa senyum sendiri tidak percaya akan begini jadinya.

Akhir tahun ini aku memutuskan untuk pergi dari tugas-tugas kaku yang memasung otak. Mencari titik terang karena kejenuhan yang hampir merajai. Datanglah dua lelaki dan empat perempuan bergamis dengan carrier masing-masing, kemarin saat persiapan pendakian.

"bergamis?" pikirku.

Mereka datang dengan santun dan aku masih tak habis pikir mendaki menggunakan gamis sementara aku paling lain, menggunakan celana cargo lamaku, kemeja hitam lengan seponggol, dan hijab yang masih tipis serta sepatu hiking boots merahku.

Menyegerakan kepergian dan tiba lah di kaki gunung Selasih atau ramah dipanggil Gn. Talang. Kami melewati jalur yang penuh dengan pacet di sepanjang jalannya. Tak ada kaki yang selamat digigit meskipun sudah memakai kaos kaki, sepatu dan celana panjang bahkan mereka yang sudah menggunakan rok. Aku masih tak habis pikir dengan cara berpenampilan perempuan-perempuan itu. Aneh kataku. Kami melewati pohon tumbang yang memotong jalan, mau tidak mau kami harus loncat dan manjat. Aku kasihan dengan mereka yang sepertinya tersiksa oleh rok panjang. Aku berlagak berani di tanah orang, kutanya pada guide tentang bagaimana jalur track selanjutnya, kemudian aku jalan sendiri mencari abangku yang meninggalkan tanpa kata.

Diantara akar-akar dan pepohonan yang menjulang tinggi, sepertinya aku benar-benar berada dalam rimba, yang terdengar hanya jangkrik serta tapak kakiku. Aku jalan antara berani dan kadang ciut sendiri, ingin lari tapi untuk apa? Aku jalan terus hingga bertemu dengan pendaki lain asal Payakumbuh, tiga orang pemuda gagah sedang istirahat. Aku menumpang saja bersama mereka.

Di pos terakhir kami di hadang hujan lebat yang tiba-tiba. Jalur pendakian berbentuk cekungan ini akhirnya membuat kami seolah-olah berjalan melewati sungai kecil yang deras. Jalur sempit ditambah hujan lebat dan banyak kerikil, sudah cukup untuk mematahkan semangat kami menuju ke puncaknya. Baru kali ini aku mendaki gunung yang "kebanjiran". Dan dipastikan, misi kali ini aku gagal. Kami tiba di lapangan yang merupakan kawah datar luas difungsikan sebagai campground di gunung ini. Di sini, aliran sungai kecil membelah tepat di tengah-tengah. Puluhan tenda sudah terparkir rapi. Kabut dengan rinai mulai turun menandakan suhu tidak bersahabat. Aku bermalas-malasan diatas matras bukan milikku sambil melihat-lihat dimana kumpulnya rombonganku tadi. Dan ternyata mereka sudah sibuk mendirikan tenda dibalik ilalang hijau, pergilah aku mendatangi mereka. Ketika sadar bahwa bajuku basah semua, bingunglah aku malam ini dengan kostum apa.

"Kamu ndak ganti ?" Tanya salah seorang perempuan bergamis.

Dengan nyegir-nyengir tidak jelas, kukatakan bajuku basah semua. Aku masih bertahan dengan lumpur yang menempel ntah sampai kapan.

Kak Aisyah datang membawa sekantong plastik hitam, untukku sementara katanya. Kulihat ternyata gamis. Gamis ??? aku berpikir seribu kali untuk memakainya, tapi daripada mati menggigil. Keluarlah aku dari tenda dome muatan empat orang. Mata tertuju padaku. Malu sekali, seperti menjilat ludah sendiri. Subuh harus dijalankan. Walau hujan, akhwat dan ikhwan itu tetap sholat berjamaah disamping tenda, terbesit salut pada mereka. Sebelumnya, kami merencanakan summit attack demi melihat sunrise. Namun apa daya, suhu dingin dan sleeping bag merupakan kombinasi sempurna bagi para pelaku hibernasi. Setelah matahari meninggi, ditengah tanah lapang yang tidak ramai, aku berdiam memandangi sekeliling. Pinus-pinus lahir menjulang vertikal diselimuti kabut. Hutan mati diseberang terlihat menggoda ingin kudatangi dan kawah mengeluarkan asapnya terlihat lebih menawan.

"Lagi apa sih ?" suara lelaki merusak kenyamananku. Aku menoleh, ternyata dia lagi penggangguku. Hanya melihat sekilas kemudian kualihkan kembali pandanganku.

Ditariknya tanganku, dituntunnya ke suatu tempat. Kulihat dia sudah siap dengan kamera melilit tangannya. Sudah kuduga, pasti aku bakal jadi asisten yang harus siaga memegang tas, samyang, mantel, wide, kit, shutter release, atau mungkin tripodnya juga.

Aku jalan lebih dulu sambil bercerita tentang perjalananku, dia hanya tertawa, sesekali belagak menceramahiku. Aku duduk di sebuah batu bekas muntahan gunung Talang dahulu, menjaga barangnya dan melihat dia memotret lautan tenda serta pemandangan yang sayang sekali jika dilewatkan. Aku benar-benar kagum dengan lukisan alam nyata ini.

"Kau cantik seperti itu." Tiba-tiba dia sudah ada dibelakangku, memperlihatkan isi galeri kameranya yang ternyata sudah banyak fotoku tercetak. Foto candid. Dia sangat mahir dalam hal itu. Dia memang tukang potret handal tapi aku malas menyebutnya begitu. Baru kusadari, cantik juga aku menggunakan gamis, dan aku mulai nyaman lebih terjaga. Aku ingat dengan hari-hari yang telah kulalui di pondok, akhwat sempat mengatakan bahwa aku cantik apalagi menutup aurat dengan benar. Tersentuh sedikit hatiku, bergetar. Apalagi bersinggungan dengan dosa serta ayah. Mereka menceritakan sedikit banyak tentang muslimah padaku, kewajiban dan ketentuannya. Mulanya, aku pikir hanya teori dan teori atau bahkan sekedar sesuatu yang menakut-nakuti, tapi ketika Allah membuktikan teorinya disini, saat aku jalan sendiri hendak ke sungai, pemuda-pemuda itu malahan menghormati dan menghargaiku tanpa mengganggu dan bertindak yang aneh hingga ada salah seorang mengatakan," bu, doakan kami ya masuk surga juga". Lalu aku hanya bisa senyum sambil mengotak atik-pikiran. Mendoakan masuk surga? Aku sendiri bagaimana? Kenapa mengatakan itu padaku? Timbul pertanyaan dan penyataan bercabang. Aku teringat bahwa aku sedang menggunakan gamis diantara perempuan bercelana cargo dekat sungai itu. Perasaanku seperti malu, ini hanya sampulnya saja. Sepanjang jalan aku memikirkan hal itu, entah kenapa terus kepikiran dan menghantuiku. Hingga aku duduk disini. Pada diri, kuingat-ingat ulang memori lama, aku serasa hina, dan banyak sekali dosa. Belumlah pantas meminta surga dari Allah sementara jiwa dan ragaku masih sangat berantakan. Aku benar-benar malu, ingin taubat tapi syaitan selalu mengusik. Akan kucoba, aku juga ingin dapat surga dari-Nya sebagai rumahku nanti. Untuk langkah awal dengan hati yang naik turun, kuputuskan menutup aurat dengan benar hingga pulang, kemudian kuusahakan hingga Dia memanggil. Disini, ada Edelweiss yang menjadi saksi akadku tadi.

"Jangan senyum-senyum sendiri," potongnya lagi,

Disini kurasakan banyak nikmat, seperti lebih mengenal Allah, kenikmatan yang dianugerahkan pada kami, dan rasa nyaman yang luar biasa. Ini adalah pertama kalinya aku pergi ke gunung menggunakan gamis, berhijab antara akhwat-ikhwan serta sangat santunnya perkataan. Jujur aku lebih nyaman dan tenteram. Ternyata aku disesatkan di sebuah jalan yang benar. Sebelum berkemas pulang, kami foto bersama dan akhirnya terciptalah fotoku bergamis diatas gunung Talang.

Aku rasa ini jalan Allah, mempertemukanku dengan orang yang aku sebut aneh tapi malah aku sendiri yang jadi aneh. Aneh karena ini tak pernah terlintas sedetik pun dalam benakku. Aku senyum antara terharu atau gembira hingga lupa ada air mata yang sudah bertumpahan dari kelopakku. Kali ini aku merasakan dia adalah benar abangku, menuntun sejauh ini, menyelamatkan pola pikirku kedepannya. Bagaimana mungkin aku akan membencinya lagi. Dan akhirnya, aku benar tak ingin menyelesaikan perjalanan ini. Misiku gagal, misi menaklukan puncak karena hari badai. Yang berhasil adalah aku mampu menaklukan diriku sendiri, karena pada dasarnya mendaki bukan soal puncak melainkan lebih pengendalian pada diri.

Begitulah Allah, Dia selalu punya cara untuk hamba-Nya yang coba-coba melarikan diri dari genggaman. Mengirimkan agen-agen sosial yang datang seperti jurang, bukan malah menjatuhkan melainkan menyelamatkan. Seketika fakirlah aku dari agama dan ilmu yang selama ini sudah berada didekatku namun dengan sombongnya aku berlagak apatis. Sekarang keyakinanku mulai terbentuk kembali bahwa Dia sayang masih sudi menegur dan menuntunku. Aku harap Dia selalu ridho menerimaku, mengizinkanku untuk menjadi lebih baik lagi kedepannya. Cukuplah buku tahun ini kutup dengan seribu cerita kelam dan memulai mempersiapkan buku baru dengan warnanya yang ramai. 

Catatan Akhir Tahun "Dear Me"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang