Aku membanting pintu kamar dengan kasar. Suaranya terdengar menggelegar hingga ke penjuru rumah. Aku sudah lelah. Setiap kali keluarga besar berkumpul, mereka selalu mendesakku untuk menikah. Mereka bilang umurku sudah tidak muda lagi, dan usia sangat matang untuk menikah. Aku sudah berkali-kali berkata pada mereka, bahwa aku tidak ingin menikah, tidak ingin sama sekali. Setelah saat ini aku sudah mencapai cita-citaku dan memiliki banyak uang yang bisa membahagiakan keluargaku, aku sama sekali tidak ingin menikah.
Aku memiliki ketraumaan dalam pernikahan, walaupun sebelumnya aku belum pernah menikah. Aku trauma karena Ayahku. Ya, Ayahku mengkhianati Ibuku dengan berselingkuh. Lalu meninggalkan kami. Dan itu sangat keterlaluan!
Tok...tok...
Aku tahu itu Ibu. Aku diam, tidak menyahuti. Tadi Pamanku yang memulai pembicaraan yang sangat aku benci ini dengan sedikit candaan yang menurutku keterlaluan.
"Ibu harap ucapan Pamanmu tadi tidak kau masukkan hati." Ibu menghampiriku dan duduk di sisi Ranjang, aku hanya diam.
"Pamanmu tadi hanya bercanda." Ibu masih berusaha menghiburku. Mengelus puncak kepalaku.
"Bercanda tidak seperti itu." Nada bicaraku terlihat kesal.
"Ya sudah, pokoknya jangan diambil hati." Ibu berdiri, kemudian menarik kenop pintu. "Ibu selalu lupa ketika ingin menyampaikannya padamu."
Aku menatap Ibu datar. "Menyampaikan apa?"
"Waktu kamu berusia 17 tahun, kamu berpesan pada Ibu kalau nanti saat usiamu sudah lebih dari 21 tahun dan kamu belum menikah, kamu harus pergi ke belakang rumah." Ibu seperti berusaha mengingat, ingatannya itu sudah tidak bagus seperti saat dia muda.
"Untuk apa?" Aku bertanya malas. Untuk apa diriku saat umur 17 tahun menyuruhku ke belakang rumah? Apakah dia merencanakan sesuatu?
Ibu terlihat berpikir, terbukti karena dahinya mengerut. "Ibu juga tidak tahu, apa kamu tidak ingat?"
Aku menggeleng, itu kejadian 8 tahun yang lalu dan sudah sangat lama sekali. Tetapi memang aku sedikit penasaran ada apa disana. "Nanti aku akan kesana," ujarku kemudian.
Ibu mengangguk dan pergi meninggalkan kamarku.
***
Setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku menutup laptopku. Menyandarkan tubuhku pada kursi kerjaku yang empuk ini. Aku melirik gelas putih di sampingku yang isinya tinggal setengah, dengan segera ku ambil dan kunikmati rasa cappuccino yang membasahi kerongkonganku. Hujan di luar terlihat deras, seketika aku mengingat perkataan Ibu sebelumnya.
Dengan gerakan cepat ku ambil jaket dan payung untuk menuju belakang rumah. Disana, aku melihat sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari kayu dan sedikit lapuk. Rumah itu dulu aku buat bermain bersama adik-adikku. Aku memasuki rumah-rumahan itu, bau kayu yang lapuk tercium dengan khas di hidungku. Aku mengedarkan pandangan, bahkan aku tidak mengingat apapun. Sebenarnya apa mau diriku saat berumur 17 tahun?
Aku melihat sebuah kotak yang ditumpuki banyak debu. Aku membersihkannya dengan tanganku yang berhasil membuatku bersin dan terbatuk-batuk. Kotak itu terkunci dengan kode angka. Aku berusaha menebak, kucoba dengan tanggal lahirku dan tidak berhasil. Setelah semua yang ada di dalam pikiranku kucoba dan tidak berhasil. Aku menyerah, mungkin kotak ini milik adikku. Kemudian dengan pasrah ku letakkan kotak itu di meja.
Tiba-tiba saja aku teringat, pasrah... tidak ada hasil... kodenya adalah angka nol. Ya! Itu dia!
Aku mencobanya lagi, dan klek. Terbuka. Good job!
Ada sebuah amplop di dalamnya. Hanya satu! Aku mengernyitkan dahi, isinya begitu sedehana.
Dear Me.
Hello. Akhirnya kamu ingat. Atau ibu yang menyuruhmu? Well, tidaklah masalah. Aku tebak saat ini kamu belum menikah. Benar kan terbakanku? Aku yang menulis untukmu saat ini karena aku tahu apa yang terjadi padamu, aku tahu kamu trauma. Tapi jangan jadikan ketraumaan itu sebagai rasa takut. Kenapa kamu harus takut pada trauma, seharusnya kamu hanya takut pada Tuhan. Jadikan traumamu sebagai sesuatu yang patut untuk dicoba. Bisa? Kamu harus tahu, bahwa aku yang saat ini juga punya keinginan untuk menikah. Tidak bisakah kamu melakukannya? Aku tidak berniat menjodohkanmu, hanya saja pergilah ke rumah Fadil. Kamu pasti mengingat siapa dia. Dia adalah cinta pertama kita. Dan aku tebak saat ini kamu masih menyukainya. Jika kamu kesana, maka kamu akan mendapatkan kejutan yang tidak terduga.
Aku menutup surat itu, jantungku rasanya ingin keluar dari tempatnya. Kulihat sebuah kertas kecil bertuliskan "Tunjukkan pada Ibu."
Ternyata aku juga ingin menunjukkan surat ini pada Ibu. Aku tidak ingat kapan aku menulisnya, hanya saja aku masih mengingat perasaanku yang ingin hidup bersama Fadil.
Aku berjalan ke kamar Ibu. Ibu terlihat tidur pulas, ku kecilkan suhu AC dikamarnya dan menarik selimut hingga ke lehernya. Aku menatap Ibuku dalam-dalam, wanita inilah yang merawatku dengan penuh kesabaran tanpa bantuan ayahku yang keterlaluan itu. Aku duduk di sisinya, kuceritakan isi suratku padanya walaupun aku tahu dia tidak akan mendengarnya. Aku tidak akan memberitahu Ibu sekarang, akan aku beritahu tahun depan atau 2 tahun kemudian. Aku ingin menata hatiku dengan baik. Dan jika aku merasa siap, maka aku akan menikah.
***
Aku pergi ke rumah Fadil esoknya, rumah itu sama seperti rumah yang dulu sering aku kunjungi. Bedanya hanya terlihat tua. Aku dan Fadil dulu sangat dekat, bahkan keluarga kami saling mengenal. Lalu setelah Fadil memutuskan kuliah di luar kota, kami sudah tidak pernah berhubungan lagi. Aku juga terlalu sibuk untuk membuat diriku sukses hingga seperti sekarang.
"Helen?" Aku menoleh, mencari asal sumber suara.
"Fa-Fadil?" Kerongkonganku terasa tercekat, enggan bersuara.
"Masuk?" Tawarnya, aku menggeleng. Tetapi dia memaksaku dengan halus yang kemudian tidak bisa ku tolak. Aku tidak pernah bisa menolaknya.
Fadil adalah lelaki yang berbeda, aku menganggapnya begitu. Tidak ada laki-laki sepertinya di dunia ini. Sayangnya, dia sudah menikah dan membuatku merasakan sakit itu lagi. Aku menelan ludah susah payah, berusaha menghilangkan rasa sakit yang mulai menggerogoti diriku kembali.
Kami berbicara panjang lebar, hingga kurasa tidak ada jarak lagi diantara kami seperti sebelumnya. Pertemuan kami pun berlanjut di hari-hari berikutnya dan membuat perasaanku kembali padanya. Aku mengutuk diriku sendiri, kenapa pertahananku mulai runtuh saat bersamanya? Padahal bersama lelaki lain tidak begini dan parahnya dengan lelaki orang.
"Gimana rasanya? Enak kan?" Fadil menatapku dengan seksama. Aku mengangguk mengiyakan dan terlihat perasaan senang menghinggapinya.
Saat ini aku sedang mencicipi masakan terbaru yang dia buat untuk restoran miliknya. Fadil adalah seorang pengusaha restoran. Sebenarnya dia seorang koki, kemudian mencoba membuka restoran sendiri dan berhasil. Saat ini dia sudah memiliki 12 restoran di berbagai kota.
"Aku tidak pernah melihat istrimu. Dimana dia?" Aku akhirnya menanyakan pertanyaanku yang selama ini ku pendam. Memang aku tidak pernah melihat istrinya, dan dia juga tidak pernah membicarakannya.
"Aku sudah bercerai." Fadil menjawab ringan. Mataku membelalak kaget. "Tidak, Helen. Tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bercerai dengannya karena dia yang menyelingkuhiku dengan pegawaiku sendiri." Oh, Fadilku yang malang. Dia bernasib seperti Ibuku—dikhianati.
"Helen..." Panggilnya, aku menatapnya dengan tatapan prihatin. "Maukah kamu menikah denganku?" dia mengeluarkan cincin dari sakunya. "Aku selalu menunggu waktu yang tepat, mungkin sekarang waktunya."
Aku menangis, mengangguk tanda menyetujui. Dia memelukku erat, dan memasangkan cincin di jari manisku. Pernikahan kami berlangsung bulan depan dengan sederhana. Saat ini aku sedang menggeledah lemari, mencoba memilah pakaian yang menurutku sudah tidak cukup karena badanku sudah lumayan gemuk karena hamil. Aku menemukan surat itu kembali. Surat yang membawaku pada Fadil. Aku tersenyum menatapnya. Kutulis sebuah balasan di bawah surat itu.
Dear Me.
Untuk diriku saat berusia 17 tahun. Terimakasih.
oI
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Akhir Tahun "Dear Me"
RandomDisini lah awal mula kita untuk menjadikan langkah kita kedepan menjadi lebih baik dari hari lalu. Disinilah awal cerita kita mengapa kita bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. Tulisan ini bisa diibaratkan adalah kaca, cerminan diri kita yang siap u...