01 - 2 : PURNAMA 1998

6.6K 320 2
                                    

Purnama 1998

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Purnama 1998. Pak Gu dan Chanseong, anak laki-lakinya yang berusia sepuluh tahun, duduk di sebuah bangku di hadapan Sungai Han yang membentang, di bawah bintang-bintang yang hanya bagaikan titik-titik tak berarti di langit malam. Pak Gu berkata, “Nak, hari ini kau ulang tahun, tapi Ayah bahkan tidak bisa membelikanmu jajangmyeon.”

“Tidak apa-apa. Lagi pula aku tidak lapar,” kata Chanseong, sambil tersenyum.

Ketika itu, selembar uang sepuluh ribu won jatuh di depan mereka—dari sepasang kekasih yang melintas. Pak Gu buru-buru menginjak uang itu, sebelum dilihat orang lain, dan berniat menggunakannya untuk membeli jajangmyeon, tapi Chanseong tidak setuju. Anak ini menyingkirkan kaki ayahnya dari uang itu kemudian mengembalikannya pada pemiliknya.

Seorang nenek pedagang bunga—yang berparas sama persis dengan Wanita Tua yang bertemu dengan Jang Manwol seribu tahun silam—melihat perbuatan baik itu dan memujinya, “Anak baik! Aduh, manisnya. Kau juga punya dahi yang lebar dan mata yang besar. Garis takdirmu bagus sekali. Hari ini kau ulang tahun ya? Kau lahir di tahun apa?”

“Hey, Nek, kami tidak mau membeli bunga. Pergi saja.” Pak Gu datang melerai.

Nenek Bunga tercengang. “Astaga! Aku turut berduka. Rupanya kau terlahir dari ayah yang seperti ini. Tapi, setidaknya, ini bukan nasib sial. Kehidupan yang sulit di masa kecil akan membawakanmu keberuntungan yang sangat besar di masa yang akan datang. Kau akan sepenuhnya terbebas dari nasib sial.”

Chanseong hanya tersenyum karenanya, sedangkan Pak Gu tidak terima. “Apa? Nasib sial? Nenek terlalu banyak bicara hanya untuk menjual bunga pada seorang anak kecil. Nak, tunggu saja, Ayah akan kumpulkan uang yang banyak dan membelikanmu hadiah yang bagus.”

“Hadiah?” Chanseong berbinar-binar.

“Bunga! Hadiah ulang tahun yang paling bagus itu bunga!” seru Nenek Bunga, sambil mengeluarkan salah satu tangkai bunga dari sekeranjang lily putih yang dibawanya.

“Kami tidak mau beli bunga, Nek. Pergi sana!” Pak Gu marah-marah.

“Bunga juga bagus kok, Ayah,” kata Chanseong, menenangkan. “Tapi tidak usah beli, petik saja dari pohon yang ada. Jadi, Ayah tidak perlu susah payah cari uang dengan melakukan hal yang aneh-aneh lagi.”

“Ya ampun! Baiknya anak ini.”

“Auh, kau ini selalu bilang begitu.” Pak Gu mengelus-elus kepala putranya, dengan penuh perhatian, tapi melotot-melotot pada Nenek Bunga.

Pertengkaran kecil mereka pun terhenti karena suara sirine yang memekakan telinga. Dua mobil polisi dan satu ambulans mengebut melintasi mereka, menuju ke tepian sungai yang sekejap kemudian menjadi sangat ramai oleh orang-orang yang menonton.

Di tengah keramaian itu, suatu kepala dan tubuh penuh lendir menyembul keluar dari dalam air. Dia menyaksikan tubuh sangat pucatnya ditemukan oleh polisi dan diangkut pergi oleh ambulans. Wanita ini telah meninggal. Dia harus menerimanya, tapi sebelum itu dia akan pergi mengikuti sinar bulan yang tenang.

HOTEL DEL LUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang