09 - 2 : TUA DAN MUDA

831 91 0
                                    

“Kalau tua, seharusnya kelihatan antik kek

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kalau tua, seharusnya kelihatan antik kek. Kalau kecil,  lucu-lah gitu. Tapi ini apa? Auh. Dilihat dari sisi mana pun, JELEK sekali.” Manwol tidak puas akan bangunan baru untuk hotelnya—yang hanya tua dan sangat kecil.

Kepala Choi, dengan merasa tidak enak, menjelaskan, bahwa, “Hanya ini yang bisa kita dapatkan dengan dana yang ada. Meski begitu, ada pemakaman di atas bukit sana. Tanahnya juga gelap dan lembab. Tidak terlalu buruk,” sebutnya, membesarkan hati Jang Manwol.

“Selain itu, di sini sumber airnya menakjubkan. Desa ini terkenal karena anggur berasnya.” Sarjana Kim menambahkan. “Zaman hotel masih berupa Losmen Purnama, dulu, Anda kan sering minum anggur beras dan kimchi lobak. Ya dari desa inilah anggur beras itu berasal.” Sarjana Kim amat bangga, entah kenapa.

Manwol sinis. “Jangan membicarakan masa-masa itu. Bangunannya sudah jelek, kalau itu dibahas juga, rasanya jadi kayak miskin betulan.”

“Tapi di sini udaranya sangat segar. Sama sekali tidak ada debu halusnya. Huh.” Sarjana Kim puas dan senang sekali, tapi?

“Debu halus? Kalau ada, memangnya itu akan mengganggu pernapasanmu? Hantu kok ngomongin udara, ngomongin air. Apaan? Auh,” dan Manwol melapangkan dirinya tentang lokasi hotel yang baru ini, karena— bagaimanapun kenampakan luarnya—bagian dalamnya akan sama saja. Dia dan Sarjana Kim dan Kepala Choi pun memasuki bangunan.

TING. Mereka tiba di lobi utama. Tidak ada yang berbeda, hanya saja … Manwol mengamati setiap sudut lobi melalui teropong persegi yang dibuatnya dari kedua jempol dan telunjuknya, dan dia merasa kalau, “Sepertinya lobi kita jadi agak kecil, iya kan?”

“Sama saja, Bu Direktur. Itu hanya perasaan Anda.” Kepala Choi mengingatkan.

“Ada banyak keluhan dari tamu, karena tiba-tiba mereka harus berpulang. Jadi, wajar saja kalau hotel tidak terlihat sebagus biasanya.” Sarjana Kim memberi tahu, dan itu sedikit menyinggung keangkuhan Manwol.

“Sebentar lagi purnama, kita akan kedatangan banyak tamu. Ini lokasi yang sangat bagus.” Kepala Choi terus saja mencoba menenangkan suasana.

“Eherm. Tenggorokanku kering. Aku akan ke Atrium Bulan. Bawakan sampanye ke sana.”

“Barang-barang Anda masih di jalan, begitu pula dengan sampanye-nya.”

“Apa?! Kenapa barang-barangku belum sampai juga? Apa yang mereka lakukan? Pemalas! Jangan-jangan mereka melarikan barang-barangku.” Manwol memarahi Ji Hyunjung dan Kim Yuna—yang tidak ada di tempat.

“Kenapa Anda tidak minum anggur beras saja?” Sarjana Kim cemerlang. “Kita minum bersama sambil mengenang masa lalu. Pasti sangat menyenangkan.”

“Hah. Aku kan sudah bilang, aku gak mau ngebahas masa-masa itu.” Manwol mengintimidasi. “Belum lama aku mengatakannya, tapi kau sudah lupa? Jangan-jangan kau juga lupa, kenapa kau masih belum berpulang juga selama 500 tahun ini. Otak udang.” Manwol mengatai Sarjana Kim, TEPAT di depan mukanya.

“Ot-otak udang?” Sarjana Kim tersinggung sedih, sedangkan Kepala Choi menggeleguk. Dia menyarankan agar Sarjana Kim jangan melakukan pembelaan apa pun—dalam diam tak bergeraknya yang tidak disaksikan oleh siapa pun.

Sarjana Kim membela diri, “Aku ini pelajar yang lulus ujian Negara. Aku bangau yang anggun, bukan otak udang.”

“Bangau? Huhuhuhuhuh. Mau bangau, kek, udang, kek, tetap saja kau itu bodoh. Ck.” Manwol pun melenggang pergi setelah mendesis begitu.

“Bodoh, katanya?” Sarjana Kim marah, tentu saja. “Kau lihat itu? Dia begitu kejam dan tidak berperasaan. Bisa-bisanya dia mengataiku begitu.”

“Sabar,” tenang Kepala Choi sambil menepuk pundak Sarjana Kim, “suasana hati Bu Direktur sedang buruk karena kenampakan luar hotel kita yang jelek.”

“Jang Manwol itu luarnya saja cantik, tapi dalamnya PASTI sangat busuk. Manajer Gu saja dia pecat, dan tempo hari dia mengundang manusia ke hotel untuk melakukan sesuatu yang aneh.”

“Bukankah itu yang membuat Pak Manajer dipecat?” Kepala Choi baru ingat dan berpikir.

“Bukan. Katanya, sih, Manajer Gu membuatnya jadi tidak berdaya, makanya Direktur Jang memecatnya.”

Oh, Kepala Choi agak paham, tapi … “Saya takut Bu Direktur akan melakukan hal yang berbahaya lagi, dan sekarang tidak ada manusia yang bisa mencegah itu terjadi. Apa mungkin Bu Direktur membuat Pak Manajer terluka?”

“Mungkin saja. Dia kan berniat untuk melawan Dewa Mago secara terang-terangan. Auh!” Sarjana Kim masih marah tentang ‘otak udang’ tadi.

Sudah ada Nenek Bunga di Atrium Bulan, ketika Manwol datang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah ada Nenek Bunga di Atrium Bulan, ketika Manwol datang. Dia menatap Pohon Bulan dengan berseri-seri, dan melontarkan komentar ini saat tahu Manwol datang, “Hey, lihat. Kukira bunganya akan rontok karena pindahan, tapi ternyata tidak.”

“Apa kau sudah … ‘memperbaiki’ penglihatan Gu Chanseong?” Manwol bertanya dengan gengsi yang tinggi.

“Aku sudah memberinya obat. Kalau obatnya diminum, dia tidak akan bisa melihat hantu lagi.” Nenek Bunga menjawab dengan senang hati.

“Yah, baguslah kalau begitu.” Manwol agak tidak puas atas jawaban itu. Diam-diam dia berharap agar Gu Chanseong tidak pernah meminum obat itu.

Nenek Bunga mengangguk-angguk. “Karena baru kali itu kau meminta padaku secara baik-baik, aku merasa harus mendengarkannya. Tapi, aku tidak bisa memaksanya untuk meminum obat itu. Bagaimana ya? Hihihi.”

“Kau senang, hah? Hentikan itu. Mumpung kau lagi baik, aku akan minta satu hal lagi. Rontokkan bunga-bunga itu.” Manwol mengangguk ke arah Pohon Bulan yang cukup dipenuhi oleh bunga-bunga yang masih menguncup.

“Kalau itu, aku tidak bisa.” Nenek Bunga jelas-jelas menolak. “Pohon itu mencerminkan perasaanmu. Berbunga atau tidak, tergantung padamu.”

Manwol marah pada Nenek Bunga.

“Tunasnya saja sudah begitu cantik. Kalau mereka rontok sebelum mekar, kan, sayang sekali.”

“Jangan berharap. Bunganya tidak akan pernah mekar. Jangan mimpi, kau akan melihat bunga di sini.” Manwol menunjuk-nunjuk—keras—pada Nenek Bunga, lalu pergi begitu saja dengan tangan bersedekap.

“Hohohohohohohoh.” Nenek Bunga hanya tertawa, karena sikap Manwol tadi begitu manis di matanya. Walau bagaimanapun, Manwol hanya seorang anak manusia yang tidak tahu apa-apa.

HOTEL DEL LUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang