Salju-salju terangkat kembali menuju bulan. Musim dingin mereka telah berakhir. Sekarang, sudah saatnya bagi mereka untuk berpisah. Chanseong mengantar Manwol hingga ke depan Terowongan Baka.
“Apakah Anda akan baik-baik saja pergi tanpa didampingi oleh Dewa Kematian?” Chanseong khawatir terjadi sesuatu pada Manwol dalam perjalanan.
“Tempat ini berada di bawah pengawasanku sekian lama. Aku akan … menemukan jalanku sendiri,” jawab Manwol, pemberani.
Chanseong tidak mencegahnya pergi.
“Gu Chanseong,” panggil Manwol, getir, “aku … sudah memikirkan banyak hal untuk dikatakan padamu jika saat-saat ini tiba.”
Chanseong mendengarkan baik-baik.
“Maaf, terima kasih, berbahagialah. Aku menyiapkan banyak kalimat bagus, tapi sekarang satu pun tidak ada yang bisa aku ingat.”
Chanseong penasaran.
“Aku … ingin terus berada di sampingmu, ingin terus bersamamu. Aku tidak mau pergi meninggalkanmu,” dan Manwol mulai menangis karena ini. Tapi dia segera menghapus tangisnya dan menjauhkannya dari mata Chanseong.
Chanseong harus bersabar, harus bisa menahan diri. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangannya ke langit-langit terowongan yang kelam. Setidaknya dia harus terlihat kuat di depan gadis ini.
“Ah, padahal begini. Padahal aku sendiri sepayah ini, tapi aku malah menyuruhmu berpura-pura kuat di depanku. Aku bahkan … tidak mengizinkanmu untuk memohon agar aku tidak pergi.” Manwol bersalah atas itu, dan Chanseong mulai goyah karenanya.
“Maaf,” ucap Manwol, dengan menatap dan menyentuh wajah pria yang dicintainya.
Chanseong mendekap tangan Manwol yang dingin, dan menangis singkat di dalamnya. Sebenarnya dia tidak sanggup berpura-pura kuat seperti ini. Tapi, dia segera menghentikan tangisnya dan menghapus tangis yang membasahi pipi gadis yang dicintainya dan berkata, “Di sinilah, Anda berpesan agar aku jangan bersedih saat melepas kepergian Anda. Apakah semua itu juga bohong?”
“Waktu itu aku tidak tahu, kalau aku akan sangat menyukaimu begini. Aku—aku tidak tahu, kalau aku akan bisa jatuh cinta lagi. Bodoh.” Manwol menyalahkan dirinya sendiri akan itu, bukan Chanseong.
Tapi tidak, justru Chanseong-lah yang salah. Chanseong memeluknya untuk yang terakhir, dan tidak akan dengan mudah melepaskannya kali ini—apa pun yang terjadi. Chanseong tidak ingin orang yang sangat dicintainya ini pergi.
“Aku … biasanya tidak pernah memikirkan masa depan dan semacamnya, tapi—yang bisa kukatakan padamu sekarang hanya ini:,” Chanseong mengeringkan air matanya—secepat mungkin—sebelum pelukan ini dilepas. “Kita—harus bertemu lagi di kehidupan yang selanjutnya. Bagaimanapun caranya. Ya? Ya?”
Ya. Chanseong tidak sanggup menjawabnya dengan kata-kata.
“Gu Chanseong,” Manwol tersendat-sendat bicaranya, karena sedih, “selama ini kau selalu mengawasiku, menjagaku, dan membantuku. Terima kasih?”
“Selamat jalan. Selamat jalan, Jang Manwol-ssi.” Tumpahlah tangis dan air mata Manwol karena ucapan Chanseong ini, tapi dia harus bertahan dan berkuat diri—demi pria yang harus melepas kepergiannya ini.
Chanseong berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis. Dia tidak boleh bersedih di depan gadis ini. Dia sudah berjanji. Dia … akan melepaskan pergi, tanpa tangis, meski juga tanpa bahagia terlihat di wajahnya. Semoga perjalanannya lancar hingga ke seberang sana, doa Chanseong untuk Jang Manwol.
Manwol melangkah menuju Terowongan Baka, dan Chanseong tidak bisa mengejarnya. Tidak boleh. Dia harus … benar-benar melepasnya pergi. Dia harus membiarkannya pergi ke jauh di sana yang tidak bisa dicapainya sebelum mati, dan dia harus … menerima semua itu dengan lapang.
Seperginya Jang Manwol, segala sesuatu yang ada di Del Luna pun menghilang tanpa jejak. Mulai dari Terowongan Baka itu sendiri, foto bersama para karyawan Del Luna, papan nama hotel di muka gedung, dan lampu-lampu kecil sekalipun. Del Luna memadam dan menghilang dari penglihatan manusia maupun arwah. Tidak ada lagi yang bisa melihatnya.
Terowongan Baka kini hanya terowongan biasa yang akhirnya dapat dengan jelas dilihat, tapi Chanseong masih berada di depannya dengan penuh harap. Bulan itu menghilang setelah melahap seluruh malam dan mimpi-mimpinya. Chanseong mengucapkan salam perpisahan pada purnama yang sangat dicintainya dan menangis. Selamat jalan, ucapnya, dalam isak.
Tidak ada perpisahan yang tidak disertai dengan perasaan sedih dan sakit. Seperti bunga lalu yang berharap mekar kembali seperti baru, seperti itu pulalah hidup. Terlahir kembali, bertemu lagi, dan saling mengasihi. Semoga itulah jawaban yang kalian pilih atas keindahan cinta yang agung, serakah, dan sombong milik kalian. Perjalananmu masih sangat panjang, bahkan setelah kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOTEL DEL LUNA
FanfictionNovelisasi dari drama Korea yang ditulis oleh Hong Jeongeun dan Hong Miran, penulis drama HWAYUGI dan MY GIRLFRIEND IS A GUMIHO. Del Luna adalah hotel untuk para arwah yang tersesat dan masih memiliki pengharapan atas dunia manusia. Hotel ini membe...